Sebuah romansa tentang rindu
Jangan kira rindu hanyalah pekerjaan seorang wanita. Rindu, bahkan
kerap menggelayuti pikiran, menggantungi jiwa setiap lelaki. Seperti yang aku rasakan
saat ini.
Entah bagaimana mulanya hingga aku menjadi sewanita ini saat rindu
tengah menggejolak hati, mengitari pikiran. Mungkin bukan hanya aku saja yang
seperti ini, dia dan dia atau mereka sebagai lelaki yang tak diragukan
kegagahannya bukan mustahil menjadi layu saat rindu menghadang. Bagai ‘kanebo’
kering yang kaku dan keras lalu menjadi lembek seketika saat tersentuh oleh air.
***
Aku masih mengingat dengan sangat jelas bagaimana beberapa tahun
lalu Rani, kekasihku mulai meninggalkanku. Ia harus pulang ke rumahnya di
seberang pulau dan menetap di sana, ayahnya sedang sakit keras dan tak ada yang
merawat.
Tak ada pertemuan dan perbincangan sebagai tanda perpisahan kami, kecuali
hanya dengan surat kecil yang ditinggalkannya di dasbor motorku yang terparkir
di parkiran Fakultas Sastra.
“Maafkan aku Al. Tanpa kabar
sebelumnya, aku harus pulang. Meninggalkan
kota ini. Ayahku sedang sakit dan aku harus merawatnya....”
Sepetik kalimat itu yang mengawali tulisannya dalam surat itu, sebelum
kalimat-kalimat doa yang ia tulis untukku. Surat yang akhirnya kusimpan dengan
baik sampai saat ini. Surat tentang rindu.
Sejak saat itu, sama sekali aku tak pernah mendengar kabar Rani. Apalagi
mendengar merdu suaranya, melihat cantik wajahnya dengan senyum yang begitu
madu. Hari-hari kosong yang kulalui selama ini sepertinya tidak akan dapat
mengikiskan ingatanku tentangnya, tentang kecantikan dan segala kelembutannya. Sungguh
aku rindu.
Tak terasa sudah hampir tiga tahun sejak saat itu, tak pernah kutemui
Rani kekasihku. Mengapa ia tak pernah menghubungiku? Apakah Rani telah
melupakanku? Tak rindukah ia padaku? Setiap noktah pertanyaan itu,
pertanyaan yang selalu berputar mengitari lurung benakku. Aku heran mengapa pertanyaan-pertanyaan
itu tak pernah lelah menemaniku. Seperti tak pernah lelahnya aku merindukan
Rani.
Entah apa yang sebenarnya aku inginkan. Seberapa kuat pun aku
berusaha untuk melupakan Rani, melunturkan genangan rindu dalam kalbuku, sekuat
itu pula aku tak mau melupakan Rani. Aku tak ingin rasa rinduku sirna begitu
saja. Biar kudekap rindu ini sekuat aku mempertahankan cintaku padanya, Rani.
***
Pertama kali aku melihat
Rani adalah juga pertama kali benih cinta dalam kalbuku tumbuh, kian bersemi
seiring berdegupnya jantungku tiap kali memandang wajahnya dalam dekat atau
mengingatnya dalam jarak.
Ospek tiga tahun lalu, saat aku melihatnya tampil membacakan sajak-sajak
puisi indahnya di depan seluruh mahasiswa baru peserta Ospek Fakultas Sastra
2013 adalah kali pertama rasa itu menyengat kalbuku. Sebuah rasa yang tak pernah
kurasakan sebelumnya. Syair yang ia baca saat itu perlahan menyihirku begitu
saja. Sihir yang membuat wajahnya tak pernah lepas dari pandangku, dalam dekat
maupun dalam jarak.
Karena sengatan rasa itu aku dapat mengingat setiap ekspresi
wajahnya saat membaca puisi itu. Setiap kerdip matanya, setiap gerak bibir dan
tangannya. Bahkan aku bisa menghafal dengan jelas setiap bait yang ia
lantunkan, begitu juga segala intonasi irama dan nada yang keluar dari bibir
merah alamiahnya. Semua itu kini menjelma menjadi rindu.
Sejak saat itulah aku mulai
menyukai puisi, menyukai Rani, menyukai rindu. Dan kini aku mulai
terbiasa dengan rindu.
Tak ada yang spesial dalam hidupku sebelumnya. Dengan cinta dan
rindu yang diajarkan oleh Rani melalui puisinya, seluruhnya kini menjadi sangat
spesial dan sempurna.
Hari-hari setelah Ospek tahun 2013 itu adalah romansa dalam
hidupku. Hari-hari yang perlahan mulai mendekatkanku pada Rani, mendekatkanku
pada puisi, dan mendekatkanku pada rindu. Sampai akhirnya terjalin sebuah
ikatan antara aku dan Rani, sebuah ikatan romansa tentang rindu.
“Al... aku tak mampu mengungkap rasa
ini, sebuah rasa yang aku rasakan padamu, selain melalui sajak-sajak yang aku
tuliskan untukmu. Aku cinta padamu, Al.” Kalimat yang sempat ia ucap saat aku pegangi dengan erat halus
tangannya, kutatap dalam kedua matanya yang membiaskan rasa yang juga aku
rasakan. Di bawah pohon trembesi depan Fakultas Sastra aku dengannya memainkan
romansa, melantunkan puisi-puisi tentang cinta. Tentang rindu.
“Betapa indah lukisan Tuhan tentang
gegunung yang menjulang tinggi, luas samudra dengan beriak ombaknya, paduan
putihnya awan dan birunya langit yang terkadang tetesan itu jatuh membentuk
warna-warna indah pelangi. Betapa indah segala yang terlukis pada kedua matamu
Rani. Rasa cinta yang aku rasakan adalah semua
tentang keindahan lukisan itu. Aku cinta padamu Rani.” Ucapku padanya sambil mendekapnya erat. Karena sejak pertama aku
melihatnya aku telah tahu bahwa hari-hariku tak pernah bisa lepas dari rindu
padanya.
***
Aku tak khawatir, tak juga takut berapa lama lagi aku harus
bersabar menanti datangnya kabar dari Rani. Aku tak takut berapa lama waktu
yang aku butuhkan sampai aku dapat berjumpa dengannya. Yang aku khawatir dan
takutkan saat ini hanyalah satu, kalau-kalau rindu ini perlahan pudar. Karena jika
rindu ini pudar, aku tak tahu lagi apakah aku dapat mengingat setiap hal
tentang Rani, tentang puisi-puisinya, juga tentang janji yang telah kuikhrarkan
bersama dengannya.
Saat ini, di tengah kesibukan perkuliahanku yang telah menginjak
smester akhir, waktu yang habis dengan tumpukan buku dan diksi-diksi dalam
merakit tugas akhir, aku juga sibuk memperkuat rindu. Menahan rindu.
Rindu, jangan pernah berlalu. Sebelum puncak buncahnya rindu ini, aku
berharap semoga kabar dari Rani dapat menjawab semua kerinduan ini. Aku rindu.
Selesai....
Yogyakarta, 14 Mei 2016.
0 komentar:
Posting Komentar