Sabtu, 14 Mei 2016

Rindu

Sebuah romansa tentang rindu

Jangan kira rindu hanyalah pekerjaan seorang wanita. Rindu, bahkan kerap menggelayuti pikiran, menggantungi jiwa setiap lelaki. Seperti yang aku rasakan saat ini.


Entah bagaimana mulanya hingga aku menjadi sewanita ini saat rindu tengah menggejolak hati, mengitari pikiran. Mungkin bukan hanya aku saja yang seperti ini, dia dan dia atau mereka sebagai lelaki yang tak diragukan kegagahannya bukan mustahil menjadi layu saat rindu menghadang. Bagai ‘kanebo’ kering yang kaku dan keras lalu menjadi lembek seketika saat tersentuh oleh air.

***
Aku masih mengingat dengan sangat jelas bagaimana beberapa tahun lalu Rani, kekasihku mulai meninggalkanku. Ia harus pulang ke rumahnya di seberang pulau dan menetap di sana, ayahnya sedang sakit keras dan tak ada yang merawat.

Tak ada pertemuan dan perbincangan sebagai tanda perpisahan kami, kecuali hanya dengan surat kecil yang ditinggalkannya di dasbor motorku yang terparkir di parkiran Fakultas Sastra.

“Maafkan aku Al. Tanpa kabar sebelumnya, aku harus pulang.  Meninggalkan kota ini. Ayahku sedang sakit dan aku harus merawatnya....”

Sepetik kalimat itu yang mengawali tulisannya dalam surat itu, sebelum kalimat-kalimat doa yang ia tulis untukku. Surat yang akhirnya kusimpan dengan baik sampai saat ini. Surat tentang rindu.

Sejak saat itu, sama sekali aku tak pernah mendengar kabar Rani. Apalagi mendengar merdu suaranya, melihat cantik wajahnya dengan senyum yang begitu madu. Hari-hari kosong yang kulalui selama ini sepertinya tidak akan dapat mengikiskan ingatanku tentangnya, tentang kecantikan dan segala kelembutannya. Sungguh aku rindu.

Tak terasa sudah hampir tiga tahun sejak saat itu, tak pernah kutemui Rani kekasihku. Mengapa ia tak pernah menghubungiku? Apakah Rani telah melupakanku? Tak rindukah ia padaku? Setiap noktah pertanyaan itu, pertanyaan yang selalu berputar mengitari lurung benakku. Aku heran mengapa pertanyaan-pertanyaan itu tak pernah lelah menemaniku. Seperti tak pernah lelahnya aku merindukan Rani.

Entah apa yang sebenarnya aku inginkan. Seberapa kuat pun aku berusaha untuk melupakan Rani, melunturkan genangan rindu dalam kalbuku, sekuat itu pula aku tak mau melupakan Rani. Aku tak ingin rasa rinduku sirna begitu saja. Biar kudekap rindu ini sekuat aku mempertahankan cintaku padanya, Rani.

***

Pertama kali  aku melihat Rani adalah juga pertama kali benih cinta dalam kalbuku tumbuh, kian bersemi seiring berdegupnya jantungku tiap kali memandang wajahnya dalam dekat atau mengingatnya dalam jarak.

Ospek tiga tahun lalu, saat aku melihatnya tampil membacakan sajak-sajak puisi indahnya di depan seluruh mahasiswa baru peserta Ospek Fakultas Sastra 2013 adalah kali pertama rasa itu menyengat kalbuku. Sebuah rasa yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Syair yang ia baca saat itu perlahan menyihirku begitu saja. Sihir yang membuat wajahnya tak pernah lepas dari pandangku, dalam dekat maupun dalam jarak.

Karena sengatan rasa itu aku dapat mengingat setiap ekspresi wajahnya saat membaca puisi itu. Setiap kerdip matanya, setiap gerak bibir dan tangannya. Bahkan aku bisa menghafal dengan jelas setiap bait yang ia lantunkan, begitu juga segala intonasi irama dan nada yang keluar dari bibir merah alamiahnya. Semua itu kini menjelma menjadi rindu.

Sejak saat itulah aku mulai  menyukai puisi, menyukai Rani, menyukai rindu. Dan kini aku mulai terbiasa dengan rindu.

Tak ada yang spesial dalam hidupku sebelumnya. Dengan cinta dan rindu yang diajarkan oleh Rani melalui puisinya, seluruhnya kini menjadi sangat spesial dan sempurna.

Hari-hari setelah Ospek tahun 2013 itu adalah romansa dalam hidupku. Hari-hari yang perlahan mulai mendekatkanku pada Rani, mendekatkanku pada puisi, dan mendekatkanku pada rindu. Sampai akhirnya terjalin sebuah ikatan antara aku dan Rani, sebuah ikatan romansa tentang rindu.

“Al... aku tak mampu mengungkap rasa ini, sebuah rasa yang aku rasakan padamu, selain melalui sajak-sajak yang aku tuliskan untukmu. Aku cinta padamu, Al.” Kalimat yang sempat ia ucap saat aku pegangi dengan erat halus tangannya, kutatap dalam kedua matanya yang membiaskan rasa yang juga aku rasakan. Di bawah pohon trembesi depan Fakultas Sastra aku dengannya memainkan romansa, melantunkan puisi-puisi tentang cinta. Tentang rindu.

“Betapa indah lukisan Tuhan tentang gegunung yang menjulang tinggi, luas samudra dengan beriak ombaknya, paduan putihnya awan dan birunya langit yang terkadang tetesan itu jatuh membentuk warna-warna indah pelangi. Betapa indah segala yang terlukis pada kedua matamu Rani. Rasa cinta yang aku rasakan adalah semua  tentang keindahan lukisan itu. Aku cinta padamu Rani.” Ucapku padanya sambil mendekapnya erat. Karena sejak pertama aku melihatnya aku telah tahu bahwa hari-hariku tak pernah bisa lepas dari rindu padanya.

***

Aku tak khawatir, tak juga takut berapa lama lagi aku harus bersabar menanti datangnya kabar dari Rani. Aku tak takut berapa lama waktu yang aku butuhkan sampai aku dapat berjumpa dengannya. Yang aku khawatir dan takutkan saat ini hanyalah satu, kalau-kalau rindu ini perlahan pudar. Karena jika rindu ini pudar, aku tak tahu lagi apakah aku dapat mengingat setiap hal tentang Rani, tentang puisi-puisinya, juga tentang janji yang telah kuikhrarkan bersama dengannya.

Saat ini, di tengah kesibukan perkuliahanku yang telah menginjak smester akhir, waktu yang habis dengan tumpukan buku dan diksi-diksi dalam merakit tugas akhir, aku juga sibuk memperkuat rindu.  Menahan rindu.

Rindu, jangan pernah berlalu. Sebelum puncak buncahnya rindu ini, aku berharap semoga kabar dari Rani dapat menjawab semua kerinduan ini. Aku rindu.

Selesai....
Yogyakarta, 14 Mei 2016.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.