Jumat, 13 Mei 2016

Petarung Senja

Sebuah kisah perjuangan hidup Si Petarung Renta.




Peluhnya deras mengucur dari sela-sela uban tipis di kepalanya, mengalir menyeruap dari keningnya yang mengkilap terkena terpaan terik matahari. Terus mengalir membasahi badan dan sekujur tubuhnya. Untuk ukuran lelaki setua itu, kedua tangan dan tubuhnya masih begitu kuat mendorong gerobak kayu yang penuh dengan barang dagangan. Bahkan saking sering dan jauhnya ia berjalan mendorong gerobaknya yang cukup  berat itu,  otot-otot kakinya pun seperti akan mencuat keluar menembus kulit tuanya yang tak pernah kering dari keringat. Tak pernah bersih dari adukan debu dan keringat.

Ia berjalan dan terus berjalan terseok-seok sambil sesekali berteriak serak.

“Sapu, sulak, keset, perkakas rumah - sapu, sulak, keset, perkakas rumah!”

Tak peduli seberapa banyak sisa suara di tenggorokannya, ia tetap terus berteriak dengan nada dan ritme yang teratur. Berharap para ibu-ibu rumahan mendengar suaranya, untung kalau beli barang satu atau dua barang dagangannya yang masih terlihat memenuhi gerobak kayunya.

***

Sadirin. Lelaki kurang beruntung yang masih giat bertarung untuk hidup di usianya yang cukup senja. Semenjak beberapa tahun yang lalu,  ia hidup berdua dengan istrinya yang sakit-sakitan. Anak-anaknya telah meninggalkan mereka berdua, memilih tinggal dan hidup  bersama suami atau istri mereka ketimbang merawat kedua orang tuanya yang telah renta itu.

Dulu, Sadirin hanya seorang buruh di sebuah pabrik tekstil.  Semenjak pensiun belasan tahun silam, tak ada lagi yang dapat dikerjakan dengan pesangon yang pas-pasan. Tiada jalan lain untuk hidup, ia memilih berdagang perkakas rumah keliling dari satu kampung ke kampung lain atau  satu-dua komplek perumahan pinggiran kota yang boleh ia masuki. Mendorong gerobak kayu berukuran sedang, sepanjang hari sepanjang siang. Sedang istrinya hanya pembantu rumah tangga sebelum pada akhirnya terpaksa tak lagi bekerja karena kesehatannya yang mulai  rentan.

Suami  istri itu tinggal di sebuah rumah warisan turun-temurun dari moyang Sadirin. Sebuah gubuk gedhek kecil di sebuah kampung pinggiran kota. Sebuah gubuk yang usianya tak lebih muda dari usia empunya, Sadirin. Hanya beberapa kali direnovasi. Itu pun hanya dengan menambal genteng atau bagian gedhek yang bolong. Jangankan untuk merenovasi rumah menjadi lebih layak ditempati, bisa makan sekali sehari dan bisa hidup sekian ini pun sudah syukur. Semenjak istrinya jatuh sakit, kebutuhan hidup keduanya kian bertambah. Tak lagi hanya butuh makan biar tetap hidup, obat untuk istrinya harus rutin dibeli tiap pekan. Atau sakit istrinya kian menjadi tak kunjung sembuh dan masuk rumah sakit, konsekuensi yang amat pahit.

***

Terik matahari siang bolong  makin menyayat setiap kulit yang ada di bawahnya. Waktu seperti itu bagi sebagian orang dihabiskan untuk ngaso dari aktivitasnya, tidur siang atau berteduh sambil menikmati es kelapa muda. Namun itu hanya mimpi bagi Sadirin. Di bawah terik matahari, di tengah kepulan asap dan debu ia masih terseok berjalan mendorong gerobak kayunya. Suara seraknya makin berat keluar dari mulutnya, tenggorokannya keronta dari ludah dan air. Hanya keringat yang mengucur dari sekujur badannya. Menambah kulitnya makin coklat mengkilap. Sebagian orang yang dilewati dan melewatinya hanya memandang  iba, sebagian lainnya acuh, hanya peduli dengan kerjaan masing-masing.

Di jaman yang makin modern seperti ini mana ada yang tertarik untuk membeli perkakas rumah, atau barang dan alat lain ke pedagang kecil seperti Sadirin. Orang lebih tertarik dan suka membeli segala barang dan alat kebutuhan di swalayan atau toserba yang lebih higienis, serba ada, dan praktis. Hanya satu-dua orang saja yang tertarik melirik dan membeli barang pada Sadirin,  juga mungkin pedagang kecil lain seperti Sadirin.

“Sapunya, sulak perkakas rumah!”

Di persimpangan jalan langkahnya terhenti. Ada satu suara yang menghentikannya.

“Ada sapu lidi Pak?” Tanya seorang wanita padanya.

“Oh ada Bu, mau yang kecil atau sedang?” Jawabnya sambil mengorek isi gerobak kayunya, lalu mengambil satu sapu lidi berukuran kecil dan satu berukuran sedang. Mengacungkan keduanya pada wanita di hadapannya.

“Yang ini saja cukup,” jawab wanita itu sambil  mengambil sapu lidi berukuran kecil, “berapa ini Pak?”

“Itu sepuluh ribu saja Bu, ada yang lain?” 

Wanita itu menjawab dengan senyuman, mengeluarkan secarik uang kertas dua puluh ribuan dari dompetnya, meraih sapu lidi itu sambil menyerahkan uang pada Sadirin.

“Sebentar saya ambilkan kembaliannya Bu,” beberapa saat ia mengorek tas kantong yang terikat di pinggangnya,  mengaduk uang recehan di dalamnya, menghitung-hitung beberapa detik. Mengaduh lalu menghela napasnya. “maaf kembaliannya kurang,  saya tukarkan dulu di warung depan.”

“Sudah tak usah Pak, kembaliannya buat Bapak saja.” Jawab wanita itu ramah.

“Lho jangan Bu, sebentar saya tukarkan uangnya. Sampean tunggu sini ya?”

“Sudah tidak apa-apa, lain kali saja bisa kalau Bapak lewat sini lagi.”

Kebingungan, Sadirin berusaha hendak menukar sapu lidi kecil itu dengan sapu lidi sedang yang ia pegang, “atau  diganti ini saja Bu, harganya dua puluh ribu.”

“Tak usah Pak, saya hanya butuh yang kecil ini kok. Ambil saja kembaliannya.” Wanita itu tersenyum.

Belum sempat menjawab, wanita itu bergegas pergi menuju rumahnya di seberang jalan.

“Te..terima kasih banyak Bu.”

Wanita itu menoleh ke arah Sadirin, lantas tersenyum simpul padanya. Kemudian Sadirin kembali berjalan mendorong gerobak kayunya.

Cukup lama ia berjalan dan berjalan. Tak ada lagi orang baik yang tertarik dengan barang dagangannya. Seharian hanya satu barang yang laku terjual. Karena waktu semakin sore, tiada pilihan lain ia harus segera pulang. Berjalan beberapa kilo kembali ke gubuk kecilnya.

***

Setelah cukup lama berjalan, terseok-seok, ia sampai di gubuk kecilnya. Kalau dulu saat istrinya masih sehat tiap kali pulang jualan keliling istrinya selalu menyambut dengan segelas teh manis  untuknya, kini istrinya hanya bisa menyambutnya dengan senyuman. Sepanjang hari istrinya hanya bisa terbaring di atas ranjang di salah satu sudut gubuk kecilnya. Hanya ada satu kamar tidur,  satu kamar mandi sederhana, dan satu ruang sedang yang berfungsi sebagai dapur sekaligus tempat membuat barang-barang dagangan di dalam rumahnya, gubuk kecilnya itu.

Setibanya di gubuk kecilnya, Sadirin bergegas menaruh gerobaknya di depan. Seperti tak merasa lelah seharian berjalan mendorong dan membawa beban, seakan ia tak butuh istirahat, ia mengambil piring plastik lusuh di dapur lalu menghampiri istrinya yang tengah terbaring di kamar kecilnya. Membuka bungkusan plastik hitam kecil yang ia beli sepanjang perjalanan pulang dan mengeluarkan isinya. Sebungkus nasi sayur berlauk krupuk tepung. Setelah membenarkan posisi istrinya dengan duduk, pelan-pelan ia menyuapi istrinya dengan amat sabar.

Semenjak jatuh sakit, istrinya tak banyak bicara karena memang cukup sulit untuk membuka mulut. Termasuk untuk makan. Tubuhnya lunglai tak berdaya. Tanpa bantuan suami gigihnya itu, tak ada kemungkinan baginya untuk tetap bertahan hidup.

“Su...su...su...dah cukup Pak.” Dengan sulit istrinya berkata pelan. Hanya beberapa suap istrinya makan. Selain karena sangat sulit untuk membuka mulut dan mengunyah makanan, istrinya juga tahu kalau Sadirin belum makan seharian.

Istrinya kembali dibantunya untuk berbaring. Kemudian ia memakan sisa nasi di atas piring yang ia pegang. Saat sedang makan sembari mengistirahatkan tubuhnya sejenak. Terdengar suara gaduh dari depan gubuk kecilnya. Teriakan lelaki yang memanggil-manggil namanya.

“Riiiiin, Sadiriiiin keluar kau!”

Sadirin pun segera menaruh piring di atas meja kecil dalam kamarnya. Segera ia keluar. Di depan sudah terlihat cukup gelap. Matahari kembali ke peraduannya, malam mulai menjelang.

“Maaf Pak, belum ada Pak maaf.” Kata Sadirin mengiba pada seorang lelaki yang tengah berdiri menunggunya di depan gubuk kecilnya itu.

Tatapan lelaki itu tajam, kumisnya tebal melingkar menambahnya makin terlihat sangar. Lelaki itu berdiri tegak malang kerik tepat di hadapan Sadirin.

“Sudah berapa kali kau minta maaf sampai berbusa mulutmu Sadirin! Bukan maaf yang aku minta, aku minta uangmu. Minta bayaran hutangmu!” Jawab lelaki itu teriak ringan sambil mengacungkan tangan kanannya pada Sadirin. Tanda mengancam.

“Tapi memang belum ada Pak.” Jawab Sadirin makin memelas.

Mau tak mau, Sadirin membuka tas pinggang yang masih terkait di pinggangnya. Mengeluarkan beberapa lembar uang, dengan tangan gemetar ia serahkan pada lelaki itu.

Bukannya menerima, lelaki itu malah menampik tangan lemah Sadirin, “apa ini! Ini tak cukup untuk menyicil hutangmu!”

Beberapa lembar uang itu pun jatuh ke tanah.

Membungkuk, Sadirin mengambil satu-persatu uang itu. Lelaki di hadapannya masih sibuk mengoceh, sesekali mengeluarkan kata-kata kasar pada Sadirin. Kejadian seperti itu seperti dejavu baginya, saking seringnya ia alami, berkali-kali terulang terjadi dan terus terjadi hingga malam itu.
Karena tak ada pilihan lain, lelaki itu akhirnya merebut beberapa lembar uang yang telah kembali terkumpul di genggaman Sadirin.

“Awas saja ya, tiap hari aku bakal ke sini menagih hutangmu. Jangan sampai tak ada sepeser uang pun yang kau berikan padaku. Mengerti!” Lelaki itu segera pergi meninggalkan Sadirin, berjalan hingga ditelan gelapnya jalanan.

Sebelum kembali masuk gubuk kecilnya, Sadirin berdiri lemas di depan pintu sambil menghitung sisa uang di dalam tas pinggangnya. Hanya tersisa beberapa untuk ia tabung untuk beli obat istrinya beberapa hari ke depan setelah persediaan obat habis, untuk beli roti sarapan istrinya sebelum minum obat pagi, juga untuk jaga-jaga kalau saja besok barang dagangannya tak laku satu pun,  untuk beli sebungkus nasi yang ia makan berdua dengan istrinya.

Sadirin kembali masuk gubuk kecilnya, mengambil piring yang tadi ia taruh dan menghabiskan nasi yang tersisa. Istrinya terlihat telah tertidur. Semoga ia tak dengar apa yang baru terjadi, harapnya dalam hati.

Belum waktunya bagi Sadirin untuk beristirahat, untuk tidur. Ia masih harus menyelesaikan membuat beberapa sapu ijuk dan sulak yang telah ia cicil malam sebelumnya.

Setelah selesai pun, ia tak mungkin bisa tidur tenang. Banyak beban yang mengganjal pikirnya. Seberapa jauh ia harus berjalan mendorong gerobaknya yang tak enteng itu? Lakukah dagangannya besok? Bisa makankah ia dan istrinya besok? Dengan apa ia harus membayar hutangnya kalau-kalau besok kembali datang ditagih? Segala pertanyaan itu perlahan mengantarnya terlelap. Dalam tidur pun, bunga hitam berduri yang menjadi bunga tidurnya. Ia masih harus tetap kuat dan berjuang untuk hidup. Bertarung di usianya yang telah senja.

Selesai....
Yogyakarta, 13 Mei 2016.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.