Sebuah kisah
perjuangan hidup Si Petarung Renta.
Peluhnya deras mengucur dari sela-sela uban tipis di
kepalanya, mengalir menyeruap dari keningnya yang mengkilap terkena terpaan
terik matahari. Terus mengalir membasahi badan dan sekujur tubuhnya. Untuk
ukuran lelaki setua itu, kedua tangan dan tubuhnya masih begitu kuat mendorong
gerobak kayu yang penuh dengan barang dagangan. Bahkan saking sering dan
jauhnya ia berjalan mendorong gerobaknya yang cukup berat itu,
otot-otot kakinya pun seperti akan mencuat keluar menembus kulit tuanya
yang tak pernah kering dari keringat. Tak pernah bersih dari adukan debu dan
keringat.
Ia berjalan dan terus berjalan terseok-seok sambil
sesekali berteriak serak.
“Sapu, sulak,
keset, perkakas rumah - sapu, sulak,
keset, perkakas rumah!”
Tak peduli seberapa banyak sisa suara di
tenggorokannya, ia tetap terus berteriak dengan nada dan ritme yang teratur.
Berharap para ibu-ibu rumahan mendengar suaranya, untung kalau beli barang satu
atau dua barang dagangannya yang masih terlihat memenuhi gerobak kayunya.
***
Sadirin. Lelaki kurang beruntung yang masih giat
bertarung untuk hidup di usianya yang cukup senja. Semenjak beberapa tahun yang
lalu, ia hidup berdua dengan istrinya
yang sakit-sakitan. Anak-anaknya telah meninggalkan mereka berdua, memilih
tinggal dan hidup bersama suami atau
istri mereka ketimbang merawat kedua orang tuanya yang telah renta itu.
Dulu, Sadirin hanya seorang buruh di sebuah pabrik tekstil.
Semenjak pensiun belasan tahun silam, tak ada lagi yang dapat dikerjakan
dengan pesangon yang pas-pasan. Tiada jalan
lain untuk hidup, ia memilih berdagang perkakas rumah keliling dari satu kampung
ke kampung lain atau satu-dua komplek
perumahan pinggiran kota yang boleh ia masuki. Mendorong gerobak
kayu berukuran sedang, sepanjang hari sepanjang siang. Sedang istrinya hanya
pembantu rumah tangga sebelum pada akhirnya terpaksa tak lagi bekerja karena
kesehatannya yang mulai rentan.
Suami istri itu
tinggal di sebuah rumah warisan turun-temurun dari moyang Sadirin. Sebuah gubuk
gedhek kecil di sebuah kampung
pinggiran kota. Sebuah gubuk yang usianya tak lebih muda dari usia empunya, Sadirin. Hanya
beberapa kali direnovasi. Itu pun hanya dengan menambal genteng atau bagian gedhek yang bolong. Jangankan untuk
merenovasi rumah menjadi lebih layak ditempati, bisa makan sekali sehari dan
bisa hidup sekian ini pun sudah syukur. Semenjak istrinya jatuh sakit,
kebutuhan hidup keduanya kian bertambah. Tak lagi hanya butuh makan biar tetap
hidup, obat untuk istrinya harus rutin dibeli tiap pekan. Atau sakit istrinya kian
menjadi tak kunjung sembuh dan masuk rumah sakit, konsekuensi yang amat pahit.
***
Terik matahari siang bolong makin menyayat setiap kulit yang ada di
bawahnya. Waktu seperti itu bagi sebagian orang dihabiskan untuk ngaso dari
aktivitasnya, tidur siang atau berteduh sambil menikmati es kelapa muda. Namun itu
hanya mimpi bagi Sadirin. Di bawah terik matahari, di tengah kepulan asap dan
debu ia masih terseok berjalan mendorong gerobak kayunya. Suara seraknya makin berat
keluar dari mulutnya, tenggorokannya keronta dari ludah dan air. Hanya keringat
yang mengucur dari sekujur badannya. Menambah kulitnya makin coklat mengkilap. Sebagian
orang yang dilewati dan melewatinya hanya memandang iba, sebagian lainnya acuh, hanya peduli
dengan kerjaan masing-masing.
Di jaman yang makin modern seperti ini mana ada yang tertarik untuk membeli perkakas rumah, atau barang dan alat lain ke pedagang kecil seperti Sadirin. Orang lebih tertarik dan suka membeli segala barang dan alat kebutuhan di swalayan atau toserba yang lebih higienis, serba ada, dan praktis. Hanya satu-dua orang saja yang tertarik melirik dan membeli barang pada Sadirin, juga mungkin pedagang kecil lain seperti Sadirin.
“Sapunya, sulak perkakas rumah!”
Di persimpangan jalan langkahnya
terhenti. Ada satu suara yang menghentikannya.
“Ada sapu lidi Pak?” Tanya
seorang wanita padanya.
“Oh ada Bu, mau yang kecil atau
sedang?” Jawabnya sambil mengorek isi gerobak kayunya, lalu mengambil satu sapu
lidi berukuran kecil dan satu berukuran sedang. Mengacungkan keduanya pada
wanita di hadapannya.
“Yang ini saja cukup,” jawab
wanita itu sambil mengambil sapu lidi
berukuran kecil, “berapa ini Pak?”
“Itu sepuluh ribu saja Bu, ada
yang lain?”
Wanita itu menjawab dengan senyuman, mengeluarkan secarik uang kertas dua puluh ribuan dari dompetnya, meraih sapu lidi itu sambil menyerahkan uang pada Sadirin.
Wanita itu menjawab dengan senyuman, mengeluarkan secarik uang kertas dua puluh ribuan dari dompetnya, meraih sapu lidi itu sambil menyerahkan uang pada Sadirin.
“Sebentar saya ambilkan kembaliannya
Bu,” beberapa saat ia mengorek tas kantong yang terikat di pinggangnya, mengaduk uang recehan di dalamnya, menghitung-hitung
beberapa detik. Mengaduh lalu menghela napasnya. “maaf kembaliannya
kurang, saya tukarkan dulu di warung
depan.”
“Sudah tak usah Pak, kembaliannya
buat Bapak saja.” Jawab wanita itu ramah.
“Lho jangan Bu, sebentar saya
tukarkan uangnya. Sampean tunggu sini ya?”
“Sudah tidak apa-apa, lain kali
saja bisa kalau Bapak lewat sini lagi.”
Kebingungan, Sadirin berusaha
hendak menukar sapu lidi kecil itu dengan sapu lidi sedang yang ia pegang, “atau diganti ini saja Bu, harganya dua puluh ribu.”
“Tak usah Pak, saya hanya butuh
yang kecil ini kok. Ambil saja kembaliannya.” Wanita itu tersenyum.
Belum sempat menjawab, wanita itu
bergegas pergi menuju rumahnya di seberang jalan.
“Te..terima kasih banyak Bu.”
Wanita itu menoleh ke arah
Sadirin, lantas tersenyum simpul padanya. Kemudian Sadirin kembali berjalan
mendorong gerobak kayunya.
Cukup lama ia berjalan dan
berjalan. Tak ada lagi orang baik yang tertarik dengan barang dagangannya. Seharian
hanya satu barang yang laku terjual. Karena waktu semakin sore, tiada pilihan
lain ia harus segera pulang. Berjalan beberapa kilo kembali ke gubuk kecilnya.
***
Setelah cukup lama berjalan,
terseok-seok, ia sampai di gubuk kecilnya. Kalau dulu saat istrinya masih sehat
tiap kali pulang jualan keliling istrinya selalu menyambut dengan segelas teh
manis untuknya, kini istrinya hanya bisa
menyambutnya dengan senyuman. Sepanjang hari istrinya hanya bisa terbaring di
atas ranjang di salah satu sudut gubuk kecilnya. Hanya ada satu kamar
tidur, satu kamar mandi sederhana, dan satu
ruang sedang yang berfungsi sebagai dapur sekaligus tempat membuat
barang-barang dagangan di dalam rumahnya, gubuk kecilnya itu.
Setibanya di gubuk kecilnya,
Sadirin bergegas menaruh gerobaknya di depan. Seperti tak merasa lelah seharian
berjalan mendorong dan membawa beban, seakan ia tak butuh istirahat, ia mengambil
piring plastik lusuh di dapur lalu menghampiri istrinya yang tengah terbaring
di kamar kecilnya. Membuka bungkusan plastik hitam kecil yang ia beli sepanjang
perjalanan pulang dan mengeluarkan isinya. Sebungkus nasi sayur berlauk krupuk
tepung. Setelah membenarkan posisi istrinya dengan duduk, pelan-pelan ia
menyuapi istrinya dengan amat sabar.
Semenjak jatuh sakit, istrinya
tak banyak bicara karena memang cukup sulit untuk membuka mulut. Termasuk untuk
makan. Tubuhnya lunglai tak berdaya. Tanpa bantuan suami gigihnya itu, tak ada
kemungkinan baginya untuk tetap bertahan hidup.
“Su...su...su...dah cukup Pak.”
Dengan sulit istrinya berkata pelan. Hanya beberapa suap istrinya makan. Selain
karena sangat sulit untuk membuka mulut dan mengunyah makanan, istrinya juga
tahu kalau Sadirin belum makan seharian.
Istrinya kembali dibantunya untuk
berbaring. Kemudian ia memakan sisa nasi di atas piring yang ia pegang. Saat
sedang makan sembari mengistirahatkan tubuhnya sejenak. Terdengar suara gaduh dari
depan gubuk kecilnya. Teriakan lelaki yang memanggil-manggil namanya.
“Riiiiin, Sadiriiiin keluar kau!”
Sadirin pun segera menaruh piring
di atas meja kecil dalam kamarnya. Segera ia keluar. Di depan sudah terlihat
cukup gelap. Matahari kembali ke peraduannya, malam mulai menjelang.
“Maaf Pak, belum ada Pak maaf.”
Kata Sadirin mengiba pada seorang lelaki yang tengah berdiri menunggunya di
depan gubuk kecilnya itu.
Tatapan lelaki itu tajam,
kumisnya tebal melingkar menambahnya makin terlihat sangar. Lelaki itu berdiri
tegak malang kerik tepat di hadapan
Sadirin.
“Sudah berapa kali kau minta maaf
sampai berbusa mulutmu Sadirin! Bukan maaf yang aku minta, aku minta uangmu. Minta
bayaran hutangmu!” Jawab lelaki itu teriak ringan sambil mengacungkan tangan
kanannya pada Sadirin. Tanda mengancam.
“Tapi memang belum ada Pak.”
Jawab Sadirin makin memelas.
Mau tak mau, Sadirin membuka tas
pinggang yang masih terkait di pinggangnya. Mengeluarkan beberapa lembar uang,
dengan tangan gemetar ia serahkan pada lelaki itu.
Bukannya menerima, lelaki itu
malah menampik tangan lemah Sadirin, “apa ini! Ini tak cukup untuk menyicil
hutangmu!”
Beberapa lembar uang itu pun
jatuh ke tanah.
Membungkuk, Sadirin mengambil
satu-persatu uang itu. Lelaki di hadapannya masih sibuk mengoceh, sesekali
mengeluarkan kata-kata kasar pada Sadirin. Kejadian seperti itu seperti dejavu
baginya, saking seringnya ia alami, berkali-kali terulang terjadi dan terus
terjadi hingga malam itu.
Karena tak ada pilihan lain,
lelaki itu akhirnya merebut beberapa lembar uang yang telah kembali terkumpul
di genggaman Sadirin.
“Awas saja ya, tiap hari aku
bakal ke sini menagih hutangmu. Jangan sampai tak ada sepeser uang pun yang kau
berikan padaku. Mengerti!” Lelaki itu segera pergi meninggalkan Sadirin,
berjalan hingga ditelan gelapnya jalanan.
Sebelum kembali masuk gubuk
kecilnya, Sadirin berdiri lemas di depan pintu sambil menghitung sisa uang di
dalam tas pinggangnya. Hanya tersisa beberapa untuk ia tabung untuk beli obat
istrinya beberapa hari ke depan setelah persediaan obat habis, untuk beli roti
sarapan istrinya sebelum minum obat pagi, juga untuk jaga-jaga kalau saja besok
barang dagangannya tak laku satu pun,
untuk beli sebungkus nasi yang ia makan berdua dengan istrinya.
Sadirin kembali masuk gubuk
kecilnya, mengambil piring yang tadi ia taruh dan menghabiskan nasi yang
tersisa. Istrinya terlihat telah tertidur. Semoga
ia tak dengar apa yang baru terjadi, harapnya dalam hati.
Belum waktunya bagi Sadirin untuk
beristirahat, untuk tidur. Ia masih harus menyelesaikan membuat beberapa sapu
ijuk dan sulak yang telah ia cicil
malam sebelumnya.
Setelah selesai pun, ia tak
mungkin bisa tidur tenang. Banyak beban yang mengganjal pikirnya. Seberapa jauh
ia harus berjalan mendorong gerobaknya yang tak enteng itu? Lakukah dagangannya
besok? Bisa makankah ia dan istrinya besok? Dengan apa ia harus membayar
hutangnya kalau-kalau besok kembali datang ditagih? Segala pertanyaan itu
perlahan mengantarnya terlelap. Dalam tidur pun, bunga hitam berduri yang
menjadi bunga tidurnya. Ia masih harus tetap kuat dan berjuang untuk hidup. Bertarung
di usianya yang telah senja.
Selesai....
Yogyakarta, 13 Mei
2016.
0 komentar:
Posting Komentar