Sebuah Cerpen
Sebagaimana
umumnya aktivis mahasiswa, akhir-akhir ini hasratku sedang puncak-puncaknya
dalam mengkaji wacana-wacana sosialis. Rak buku di kamar asramaku pun penuh
sesak dengan buku-buku berbau sosialis – marxisme. Ada beberapa buku karangan
Karl Marx, nabinya kaum sosialis. Juga koleksi buku karangan Pramoedya Ananta
Toer, baik karya ilmiah maupun karya-karya fiksinya yang memang sarat akan
wacana sosialis, pemerjuang kaum kelas bawah. Aku juga mengkoleksi buku-buku
tulisan Tan Malaka, hapal betul aku dengan ulasan dalam ‘MADILOG’. Juga buku-buku lain yang
bermuatan ajaran sosialis.
Dulu,
awal aku menyandang status sebagai mahasiswa, saat-saat awal aku ikut sebuah
organisasi kemahasiswaan eksternal kampus, salah seorang kakak seniorku pernah
berkata padaku, “tak ada salahnya kok kita mengkaji wacana-wacana solialis,
marxis, bahkan komunis sekalipun. Asal jangan sampai menyentuh tataran iman,
tataran aqidah Islamiyah yang telah terpatri dalam lubuk kalbu. Tak masalah. Asal
tidak kemudian kita jadikan pedoman keyakinan di atas aqidah. Kita mengkaji dan
mempelajari wacana seperti itu untuk kita gunakan sebagai pisau, sebagai alat. Untuk apa kira-kira alat itu
kita pakai?” tanyanya setelah cukup panjang memberikan pengertian padaku.
“Memangnya untuk apa Bang?” Timpalku polos.
“Memangnya untuk apa Bang?” Timpalku polos.
“Kita
gunakan sebagai alat untuk menganalisis segala problematika sosial di sekitar
kita, selanjutnya untuk membebaskan kaum-kaum mustadz’afin, kaum tertindas.”
**
Sampai
saat ini pun, aku masih rutin mengikuti kajian-kajian dan berbagai gelaran
diskusi. Materi yang dibahas dan didiskusikan juga beragam, lebih banyak tidak
jauh dari isu-isu terkait wacana kaum sosialis, umat pengikut Marx.
“Pembangunan
hotel di Jogja misalnya, apakah hanya mengundang manfaat dan keuntungan bagi
rakyat, bagi pribumi kalangan menengah
ke bawah?” Ujar Fahri yang sore ini ditunjuk sebagai pemantik diskusi.
“Saya
rasa tidak Bung, lagi-lagi hanya para investor baik domestik maupun
non-domestik yang banyak diuntungkan, para kapitalis itu. Sedang pribumi
bertaraf ekonomi rendah, hanya semakin terjepit dalam kerugian dan kesulitan. Keringnya
sumur mereka misalnya,” aku membuka mulut untuk menyampaikan komentar. Sambil
membenarkan posisi duduk, aku melanjutkan, “alih-alih untuk menambah pendapatan
pemerintah dengan bertambahnya wisatawan yang datang, justru lihat saat ini,
kemacetan di mana-mana. Beberapa tahun lalu mungkin hanya saat hari-hari libur
saja Jogja dirundung
macet, sekarang, tiap
sore kita dihadapkan dengan kemacetan. Seperti itu sedikit pandangan menurut
saya.”
“Saya
satu pendapat dengan Bung Andi, sedikit saya akan menambahkan. Selain masalah
kemacetan yang tadi sudah disebutkan, lihat sekitar kita juga dibangun berbagai
mall sebagai penunjang. Apa yang terjadi? Pedagang kecil semakin melemah dan
tergeser, tak jarang menjumpai kebangkrutan.” Tambah Ridha.
Suasana diskusi pun mulai nampak dinamis dengan satu-persatu dari peserta turut menyampaikan pendapat dan argumentasinya. Sampai di penghujung diskusi sore itu, akhirnya diskusi diakhiri. Namun bukan makin sirna kegelisahanku selama ini, justru makin membara. Beberapa kawanku telah kembali ke asrama dan kos masing-masing. Hanya tersisa aku dan dua kawanku - Bagas dan Fahri – yang tetap tinggal di kedai kopi tempat kami biasa berkumpul untuk sekedar bertemu dan ngobrol ringan maupun juga diskusi seperti itu.
“Bung, dari hasil diskusi kita tadi kok aku semakin merasa galau ya?” Ungkapku.
“Apa
yang membuatmu galau, Andi?” Tanya Fahri penasaran.
“Mungkin
kegalauanku ini sedikit keluar dari topik diskusi kita sore ini. Namun
esensinya sama, permasalahan sosial yang terjadi di sekitar kita. Tidak usah
jauh-jauh, di Jogja ini misalnya ada satu tempat prostitusi kondang, Sarkem.
Sebenarnya para pekerja di sana, maaf – para tuna susila itu – apa yang melatarbelakangi sehingga mereka
mengambil keputusan untuk menempuh jalan yang menurut sebagian orang dianggap
sebagai pekerjaan hina itu. Apa ya kira-kira?”
“Kalau
menurutku Bung, alasan dan penyebab itu sangat beragam. Lagi-lagi tak bisa kita
lepaskan dari permasalahan ekonomi. Atau
mungkin lebih luas lagi juga bisa disebabkan oleh faktor pendidikan. Namun itu
bagian kecil dari presentase yang ada. Yang lebih dominan ya itu tadi, alasan
ekonomi.” Tangkas Bagas yang serius menyimak perkataanku sebelumnya.
“Begini
saja kawan-kawan, bagaimana kalau kapan-kapan kita pergi ke Sarkem?” Usulku.
“Wah
ngawur kamu Andi, memangnya etis kita sebagai mahasiswa, apalagi aktivis
mahasiswa Islam pergi ke tempat seperti itu? Kamu pengen nyoba? Hahaha”
“Bukan
begitu Gas, kita ke sana bukan untuk nyobain. Tujuan kita ke sana untuk
pengamatan dan analisis sosial, lalu dari situ kita bisa cari solusi atas
permasalahan yang ada. Kita cari satu atau dua sampel pekerja di sana yang
nanti kita wawancarai. Bukan untuk kita coba.”
“Aku
setuju sama Andi. Gampangnya gini, kalau dakwah hanya disampaikan pada
orang-orang yang sudah cukup saleh misalnya, lalu kapan orang-orang yang belum
saleh ini akan tersentuh? Sekarang ini para pemuka agama hanya fokus pada kalangan
yang sudah cukup baik menjalankan perintah agama, orang-orang yang sudah
sedikit banyak tahu agama. Lantas orang-orang yang jauh dari agama, yang sama
sekali belum mengenal agama, belum menjalankan perintah agama, dijauhi dan
dilupakan begitu saja. Lalu kapan mereka akan tercerahkan? Nah, kalau bukan
kita sebagai generasi muda yang mengawali itu, lalu siapa lagi?” Fahri
menimpali dengan ekspresi serius.
“Gimana
Bagas kamu ikut?” sambil mematikan rokok, “kalau kamu ikut, ayo kita atur
jadwal. Kapan kira-kira kita ke Sarkem?” Tambahku.
Bagas
nampak bingung dengan pernyataan yang aku dan Fahri sampaikan. Suasana hening
sejenak. Menanti jawaban Bagas.
“Emmmm,
oke aku ikut!” Kami pun tertawa dan saling memandang satu sama lain mendengar
jawaban Bagas itu.
“Kalau
gitu, kapan kita ke Sarkem? Tanyaku sambil menepuk bahu Fahri.
“Gimana
kalau malam Minggu besok? Jawab Fahri penuh semangat.
“Sepakat!”
jawabku dan Bagas serentak.
**
Tibalah
pada hari yang telah kami sepakati. Malam Minggu. Tidak seperti malam-malam
biasanya, malam ini ada rasa aneh yang aku rasakan. Bagaimana tidak, malam ini
kami hendak pergi ke tempat yang sama sekali belum pernah kami kunjungi. Tempat
yang sebenarnya sangat tabu untuk dikunjungi oleh mahasiswa
seperti kami ini. Sarkem, tempat prostitusi kondang yang ada di Jogja. Saking
kondangnya tempat ini, bukan hanya warga Jogja dan para pelajar dari luar
daerah atau wisatawan yang tahu satu nama ini. Sarkem, bahkan cukup familiar di telinga banyak orang di luar
Jogja.
Kami sepakat untuk berangkat bersama-sama dari kedai kopi biasa kami berkumpul. “Kita musti minum kopi dulu sebelum berangkat, biar mental kita makin membaja.” Celoteh Fahri siang harinya saat kami menentukan titik kumpul sebelum berangkat bersama.
“Oke mumpung belum terlalu larut, kita berangkat sekarang ya?” Ajakku pada kedua kawanku, Fahri dan Bagas.
“Kamu
udah siapin amunisi Bung?” Tanya Bagas padaku.
Tanpa
bertanya lagi, aku segera meraih kantong plastik di dalam tas selempang kecil
yang aku bawa, membuka isi bungkusan itu, lalu mengambil sesuatu di dalamnya,
“ini kan yang kau maksud?” Jawabku sambil menunjukka satu bungkus rokok pada
Bagas. Aku paham betul, amunisi yang dimaksud adalah rokok ini. Supaya tidak
canggung kami berada di gang-gang Sarkem nanti.
Tanpa komentar lebih, aku segera memancal starter motorku. Fahri duduk membonceng di belakangku. Sedang Bagas, sendiri menaiki motor maticnya. Kami pun berangkat ke Sarkem.
Selama
perjalanan yang hanya seperempat jam dari kedai kopi, kami hanya diam tanpa
satu komentar pun. Mungkin apa yang Bagas dan Fahri rasakan sama dengan apa
yang aku rasakan. Was-was.
Sampai
di tempat parkir depan gang masuk Sarkem, kami segera memarkir motor sesuai
dengan arahan tukang parkir.
“Lima ribu bayar sekarang ya Mas, motornya jangan dikunci stang.”
Setelah
membayar parkir, kami pun melangkah pelan memasuki gang pintu masuk Sarkem. Dari jarak dua puluh meter, terlihat
tiga orang lelaki berbadan gempal duduk berhadapan dengan satu meja kecil di
depan mereka. Preman sekaligus penjaga loket masuk Sarkem.
Langkah kami pun semakin dekat dengan para penjaga loket itu, tiba-tiba langkah Fahri yang berjalan paling depan terhenti. Aku dan Bagas di belakangnya pun spontan ikut menghentikan langkah.
“Kenapa
berhenti?” Tanyaku penasaran.
“Sebenarnya
aku deg-degan banget nih, jangan aku ya yang depan?” Jawab Fahri kikuk.
Terlihat ada titik-titik keringat di dahi Fahri. Aku tahu betul bagaimana
perasaan Fahri.
“Alah
pada cemen kalian, padahal ini ide kalian lo!” Tangkas Bagas sedikit kesal,
“sini biar aku aja yang duluan, cemen!” Tanpa komentar dan aba-aba, Bagas
segera melangkah ke depan.
“Satu
orang bayar tiga ribu ya bos!” Kata salah satu penjaga tegas.
Setelah kami menyodorkan uang pas kepada penjaga itu, kami segera dipersilahkan untuk masuk oleh penjaga lainnya.
Jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Suasana di dalam gang-gang Sarkem ramai lalu-lalang para pengunjung yang rata-rata para lelaki usia di atas dua puluh tahun dan para lelaki paruh baya. Di depan warung-warung dan tempat karaoke sepanjang gang, duduk berbaris perempuan berusia muda. Mereka mengenakan pakaian serba terbuka. Sebagian ada yang duduk sambil memainkan hape, ada juga yang merokok sambil mengamati tiap lelaki yang lewat, atau sekedar duduk menanti langganan atau lelaki hidung belang yang rindu belaian. Kami adalah pengecualian dari para lelaki itu. Niat kami datang bukan untuk menikmati tubuh-tubuh molek mereka. Namun, mana tahu para perempuan itu kalau niat kami hanyalah numpang lewat, mengamati aktivitas mereka, atau mungkin kalau kami berani nanti, kami hendak menyewa satu-dua perempuan untuk kami wawancarai seputar kehidupan mereka.
Bau wangi terpancar sepanjang jalanan gang yang kami susuri, ada beberapa titik yang juga memancarkan bau yang tak jelas. Perpaduan antara bau wangi dan amis.
Tiga puluh menit berlalu kami menyusuri tiap gang-gang Sarkem. Pemandangan yang ada sama saja. Para perempuan yang duduk menanti lelaki penawar tubuh meraka, para lelaki yang berjalan sambil memilih mana yang sesuai dengan apa yang mereka inginkan, juga beberapa preman bertatto dan bertubuh gempal.
Setelah cukup lelah kami hanya mondar-mandir menyusuri setiap gang yang ada, kami pun duduk di sebuah bangku kosong di depan sebuah warung sepi yang di dalamnya hanya terlihat satu wanita yang sibuk bersolek.
“Gimana, cukup kita mengamati dan keluar mencari tempat mendiskusikan kesimpulan yang kita dapat di sini. Atau kurang, dan kita jadi menawar satu-dua perempuan untuk kita wawancarai?” Sambil mengambil sebatang rokok dan menyalakannya, lalu memberikan bungkus rokok pada Bagas, aku bertanya memulai pembicaraan.
“Kalau
aku sendiri kok merasa kurang ya, daripada kesimpulan yang kita dapat hanya
terkaan ngawur. Gimana kalau kita wawancarai satu perempuan saja?” Fahri
menanggapi.
“Beneran
nih, emang kalian pada berani?” Tanya Bagas menggoda.
“Aku
sih nurut kalian aja baiknya gimana. Kita keluar ayo, kita lanjut wawancara pun
oke!” Jawabku santai.
“Oke
kalau gitu kita lanjut wawancara ya!” Ajak Fahri sambil menunjukkan arah, di
sebelah mana perempuan yang akan kami pilih dan wawancarai.
Ternyata Fahri yang sejak tadi hanya diam, justru ia cermat mengamati dan telah menentukan satu perempuan di antara puluhan perempuan yang ada. Perempuan itu duduk di depan sebuah warung berlampu kuning remang di salah satu gang yang cukup sepi. Di gang itu tidak ada lelaki bertubuh gempal yang kulihat. Hanya beberapa perempuan yang duduk di depan warung-warung, dan beberapa lelaki paruh baya yang menurutku mereka hanya lelaki hidung belang yang hendak njajan.
Setelah
kami melakukan negosiasi yang cukup alot dengan perempuan pilihan Fahri, perempuan
itu pun berkenan dengan tawaran kami. Dengan bayaran yang sama dengan harga
memakai jasa tubuhnya. Harga yang kami sepakati dengan ketentuan satu perempuan
untuk kami wawancarai bertiga.
Kami pun diajak perempuan itu memasuki warung tepat di mana ia duduk di depannya. Di dalam warung yang dari depan terlihat kecil itu ternyata terdapat beberapa ruangan kamar ukuran 2x3 meter dengan ranjang, kursi, dan meja yang masing-masing terdiri dari satu buah. Perempuan itu memasuki salah satu kamar yang masih kosong. Wangi, aroma dalam kamar itu. Perempuan itu pun mempersilahkan kami untuk masuk dan duduk di atas ranjang, sedang ia sendiri duduk di kursi yang ada.
Setelah basa-basi perkenalan, kami pun tahu nama perempuan itu. Sebut saja Mawar, karena ia tak mau nama aslinya disebut.
Jujur saja, hatiku berdegup kencang. Perasaan yang jelas juga dirasakan dua kawanku, Bagas dan Fahri. Ini pengalaman pertama dan mungkin terakhir bagi kami. Pengalaman yang sangat berbeda dari apa yang biasa memenuhi rutinitas kami sebagai mahasiswa.
Satu-persatu pertanyaan yang kami sodorkan, dijawab dengan santai, jelas, dan santun oleh Mawar.
“Sekarang umurku dua puluh dua tahun, Mas. Sudah lima tahun sejak umurku tujuh belas tahun aku ada di tempat ini. Dulu awalnya aku hanya membantu bulik membuat kopi, berbagai minuman es dan hangat, juga membuat makanan pesanan para tamu yang datang. Bulikku yang punya warung ini. Sebelumnya aku tinggal di salah satu kampung di Surabaya bersama orang tuaku. Karena himpitan ekonomi, akhirnya aku pun ditawari bulik untuk membantunya di sini. Yang aku dan orang tuaku tahu, di Jogja bulik hanya berdagang kopi di salah satu kios di Malioboro. Awalnya aku juga kaget kalau ternyata warung bulik ada di tempat ini, di Sarkem.” Jelas Mawar sayu mengenang kisah perjalanan hidupnya hingga sampai di titik ini.
“Lalu
kok Mbak Mawar bisa jadi, maaf – tuna susila – di sini Mbak. Gimana ceritanya?”
Tanyaku hati-hati, takut menyinggung perasaannya.
Mawar diam sejenak. Terlihat air mata mulai keluar dari kedua celah matanya. Mengalir ke bawah, membasahi pipinya yang terbungkus bedak putih tipis. Kulit Mawar sebenarnya tak hitam. Tanpa bedak pun sebenarnya sudah cukup kuning kecoklatan sawo matang. Gincu yang ia pakai pun mulai sedikit memudar akibat air matanya yang dengan cepat mengalir dari kedua matanya.
“Tiga tahun yang lalu, bapakku di kampung sakit parah dan butuh banyak biaya pengobatan. Orang tuaku hanya punya dua anak, satu kakak laki-lakiku yang bekerja sebagai TKI di Taiwan, dan aku anak kedua sekaligus bungsu. Ibuku hanya pembantu rumah tangga yang penghasilannya hanya cukup untuk makan ala kadarnya tiap hari. Kiriman dari kakakku pun tak begitu banyak karena ia juga harus menghidupi istri dan tiga anaknya di kampung. Dengan sangat terpaksa akhirnya aku pun mengambil keputusan untuk bekerja menjadi wanita malam di sini. Tentu awalnya bulik sangat keras melarangku. Tidak ada penyamun yang mau anak dan sanaknya ikut jadi penyamun bukan? Tapi apa boleh buat, aku tak ingin bapak menderita dengan penyakit yang bapak derita,” Mawar bercerita dengan isakan kecil, “alhamdulillah Mas, sekarang kondisi bapak di kampung mulai membaik. Bapak dan ibuku sebetulnya hanya tahu aku di sini bekerja sebagai pelayan di restoran. Aku tak mau meraka tahu apa yang sebenarnya dikerjakan anaknya. Pekerjaan ini terlampau hina Mas.”
Kami bertiga hanya diam mendengarkan kisah Mawar. Tak berani berkomentar. Tak kuasa, juga tak tega sebenarnya mengingatkan kisah susah hidupnya.
Suasana pun hening. Hanya isakan kecil Mawar dan gelak tawa dari luar yang terdengar.
Setelah
cukup lama ruangan 2x3 itu senyap. Akhirnya Mawar kembali bercerita cukup
panjang. Tak hanya kisah hidupnya sendiri yang ia
ceritakan pada kami, ia juga menceritakan berbagai alasan yang menjadikan sebab
teman-temannya menjadi wanita malam di Sarkem.
Selain karena alasan ekonomi seperti yang dialami Mawar, ada alasan lain yang dialami teman-temannya. Seperti saking bebasnya kehidupan masa remaja yang dilalui, brooken home, atau alasan lain seperti pemerkosaan dan pelecehan seksual lain. Alasan mereka untuk memilih jalan hidup sebagai wanita malam – sebagai tuna susila – cukup beragam.
Kami cukup mengecam kebijakan pemerintah maupun ulah sekelompok aliran masyarakat radikal yang semakin menyudutkan posisi perempuan-perempuan seperti Mawar yang cenderung tanpa solusi. Akhirnya, bukan makin memperbaiki keadaan, namun menambah rumit dan kelam permasalahan yang ada di negeri ini yang teramat kompleks. Yang rumit tak disederhanakan, namun diperumit. Kisah Mawar dan Sarkem ini, hanya bagian yang sangat kecil dari besarnya problematika sosial yang ada di negeri ini.
Karena waktu yang juga menuntut kami untuk segera mengakhiri pembicaraan. Dengan kesimpulan matang yang kami dapatkan. Kami pun segera menyampaikan terimakasih, permohonan maaf, dan salam pamit kepada Mawar dan buliknya yang diam-diam menyimak percakapan kami dari luar kamar ukuran 2x3 itu.
“Terimakasih banyak Mas, hati saya cukup lega setelah bercerita pada sampean-sampean malam ini. Sudah tak usah dibayar saya Mas. Justru saya berterimakasih banyak pada sampean-sampean.” Ucap Mawar mengakhiri pembicaraan sambil mengusap matanya dengan kain kecil yang ia genggam. Tanganku yang menyodorkan satu amplop kecil pada Mawar pun urung dan aku tarik kembali karena Mawar bersikukuh menolak amplop itu.
Selesai.....
Yogyakarta, 25 April 2016.
Yogyakarta, 25 April 2016.
0 komentar:
Posting Komentar