Kamar kenangan,
2016
Ketika aku mengingat masa kecilku,
tersimpul kepaduan senyum pada kedua bibirku.
Ketika aku mengingat masa kecilku,
satu kesimpulan yang bertata adalah kesyahduan,
adalah kerinduan.
Syahdu kurasa tiap mili memoriku,
tangisku di masa kecil adalah tawaku,
tawaku di masa kecil adalah bahagiaku.
Rindu kusangat tiap putaran memori masa kecilku,
ketika aku dengan para kawanku,
ber-riang lari di pematang sawah belakang rumah kakek-nenek
kami,
yang kami kejar adalah tawa tak berbeban,
sambil tangan kananku erat memegangi benang layangan,
benang kenangan,
benang panjang dengan muatan riang tak berputus.
Gambaran masa kecilku tentang alam adalah keasrian
dua lengkuk coretan jemariku dengan krayon,
pada sebuah kanvas putih yang halus,
membentuk keserasian yang indah.
Satu putaran kecil yang digaris jemariku,
membentuk sebuah sinar abadi,
sebuah sinar dengan senyum lugu yang teramat indah.
Kelipatan tiga garis pendek dekat lingkaran sinar itu,
membentuk kenari-kenari kecil,
berterbangan mengawal senja.
Garis-garis paduan biru dan jingga yang teratur,
melukiskan kenangan indah tentang langit,
tentang mimpi-mimpi di masa depan.
Aku masih ingat betul kenangan itu,
ketika dhuha datang,
kereta waktu pengawal antara pagi dan siang,
aku dengan kedua kakak sebayaku,
menghentak kaki di lantai sungai kecil,
sungai tak berbatu,
sungai pengalir rindu.
Hentak-hentak kaki-kaki kecil kami,
menumpil gemercik cipratan air pada wajah mungil kami,
mengalir pada pipi dan bibir,
menyemai tawa yang begitu riang.
Aku rindu masa kecilku,
ketika tiap senja menjelang maghrib,
pemantik malam dengan rembulan berlukis kasih ibu,
di lapangan tanah liat,
kami lari kejar-kejaran,
memainkan sebuah semarak yang kini hampir terlupakan,
gobak sodor dan engklek yang teramat dirindu.
Kemana kawan masa kecilku kini?
ketika rinduku akan masa kecil membuncah tak
tertahankan,
kemana tongkat egrangku dibuang?
ketika kedua kakiku teramat kaku,
terlampau lama bersila di depan televisi.
Kemana sawah tempat bermain masa kecilku?
ketika mataku terlanjur pedih menatap wajah kota,
ketika tangan dan jemariku gemetar kesemutan,
ingin kembali memegang tongkat kayu dan benang
layangan.
Kemana bentangan tanah lapang itu?
tanah lapang yang biasa kami gunakan bermain kasti,
bermain petak umpet dan kejar-kejaran.
Kemana langit senja itu bergeser?
hamparan jingga yang biasa dipenuhi warna-warni pelangi,
warna-warni layang-layang yang kadang nyaring
bersuara.
Rembulan purnama halus putih itu pun telah lama tak perpendar,
pendaran yang biasa temani malam-malam riang kami,
di bawah pijar dan pendaran lembut putih itu,
kami biasa bercerita kesana-kemari,
kami biasa terkekeh memandu tawa,
di atas padang rumput hijau,
kami menatapnya hingga termimpi-mimpi dengan senyuman.
Begitu pula sungai dengan ketenangan dan kejernihan
airnya,
air segar yang sirnakan dahaga,
tempat bermandi dengan kerbau-kerbau putih milik
pamanku,
di mana hulunya? di mana hilirnya?
di mana sungai masa kecilku?
saat dahagaku menjadi-jadi,
saat keringatku melebihi derasnya,
airnya semakin tenang namun mengundang kebisingan,
bentangnya semakin luas namun sama sekali tak dapat
digunakan.
Jangan hapus ingatan masa kecilku,
agar aku ingat bagaimana cara tersenyum,
tertawa riang,
berlari-lari,
bermain asri,
jangan hapus kenangan itu.
0 komentar:
Posting Komentar