Sebuah Cerpen
Sebagaimana
umumnya aktivis mahasiswa, akhir-akhir ini hasratku sedang puncak-puncaknya
dalam mengkaji wacana-wacana sosialis. Rak buku di kamar asramaku pun penuh
sesak dengan buku-buku berbau sosialis – marxisme. Ada beberapa buku karangan
Karl Marx, nabinya kaum sosialis. Juga koleksi buku karangan Pramoedya Ananta
Toer, baik karya ilmiah maupun karya-karya fiksinya yang memang sarat akan
wacana sosialis, pemerjuang kaum kelas bawah. Aku juga mengkoleksi buku-buku
tulisan Tan Malaka, hapal betul aku dengan ulasan dalam ‘MADILOG’. Juga buku-buku lain yang
bermuatan ajaran sosialis.
Dulu,
awal aku menyandang status sebagai mahasiswa, saat-saat awal aku ikut sebuah
organisasi kemahasiswaan eksternal kampus, salah seorang kakak seniorku pernah
berkata padaku, “tak ada salahnya kok kita mengkaji wacana-wacana solialis,
marxis, bahkan komunis sekalipun. Asal jangan sampai menyentuh tataran iman,
tataran aqidah Islamiyah yang telah terpatri dalam lubuk kalbu. Tak masalah. Asal
tidak kemudian kita jadikan pedoman keyakinan di atas aqidah. Kita mengkaji dan
mempelajari wacana seperti itu untuk kita gunakan sebagai pisau, sebagai alat. Untuk apa kira-kira alat itu
kita pakai?” tanyanya setelah cukup panjang memberikan pengertian padaku.
“Memangnya untuk apa Bang?” Timpalku polos.
“Memangnya untuk apa Bang?” Timpalku polos.
“Kita
gunakan sebagai alat untuk menganalisis segala problematika sosial di sekitar
kita, selanjutnya untuk membebaskan kaum-kaum mustadz’afin, kaum tertindas.”