Senin, 18 Januari 2016

Guru Iqra’ Itu Nur Namanya

Cerpen: Irfan Anas


Nur...
Cahaya yang selalu aku rindu
Berpendarlah sepanjang malam dan jangan dulu berlalu
Seperti kumbang kepada kembang di taman merbabu
Begitulah butuhku akanmu
Sentuh cahyamu cerahi sedu gelapku


Nur...
Binar jingga senja yang selalu aku ingin
Hangatilah aku ketika malam semakin dingin
Bila hembus adalah isyarat akan adanya angin
Adanya dirimu adalah isyarat yang ingin kujalin
Mendekatlah perlahan biar kudekap engkau tiada tersalin

Nur...
Kemilau indahmu sungguh ingin kusentuh
Jangan pernah redup dan jangan kau menjauh
Bagaimana bisa aku tanpamu, aku pasti terjatuh
Berpijarlah Nur engkau secara utuh
Hanya dengan pijaranmu asaku selalu tumbuh;
tak pernah runtuh

Nur, adalah sebuah puisi yang sengaja kurangkai setelah sekian lama aku hanya dapat memperhatikanmu tanpa sepengetahuanmu. Wujud kekagumanku padamu. Bertahun-tahun yang lalu aku menulis puisi itu, yang kemudian kutitipkan kertas putih bercoret sajak-sajak harmoni asmaraku padamu itu pada si kecil Hafsah, murid mungilmu di TPA al-Hikmah.
Nur, singkat namamu yang kutahu dari muridmu waktu itu. Engkau yang selalu aku rindukan. Bahkan sampai saat ini, setelah aku berhasil mengalahkan jutaan lelaki lain yang bersaing untuk dapat meminangmu di atas hamparan sajadah panjang Masjid atau mungkin rumahmu. Wanita yang tak pernah lepas dari kekagumanku. Selalu memikat hatiku.
Aku masih sangat ingat ketika pertama kali aku melihatmu di serambi Masjid al-Hikmah. Ketika pertama kalinya rasa kagumku padamu mulai tumbuh, hingga selalu bersemi sampai saat ini.
**
Sore itu aku melihatmu yang dengan telaten dan sabar mengajarkan Iqra’ pada anak-anak kecil kampung di Masjid al-Hikmah yang tak jauh dari tempat kosku. Seakan melihat bidadari yang sengaja turun ke bumi untuk menebar risalah Ilahi, manis sekali, sungguh mendamaikan hati. Setiap sore seusai ashar saat aku keluar dari Masjid al-Hikmah, aku selalu melihatmu telah stand by di serambi Masjid. Menunggu murid-murid mungilmu yang satu-persatu mulai berdatangan demi ilmu yang engkau ajarkan, juga pasti demi berjumpa denganmu yang selalu mereka rindukan. Aku sangat yakin, engkau adalah guru ngaji, guru Iqra’ favorit mereka. Terlihat dari pancaran bahagia pada wajah murid-murid mungilmu saat tengah engkau ajari mengaji.
Tapi apalah dayaku, aku hanya mampu meluapkan rasa kekagumanku padamu saat itu justru dengan tidak mendekatimu, tidak meminta perkenalan darimu. Biar saja Tuhan yang mengaturnya untukku, agar aku sampai pada puncak kekagumanku padamu, menjadikanmu sebagai mempelaiku dunia dan akhirat.
Namun Nur, semakin aku melihatmu saat mengajar Iqra’ di serambi Masjid al-Hikmah, aliran kekagumanku padamu semakin pula mengucur deras. Menjelma menjadi kecintaan dan kerinduan yang hanya restu dari-Nyalah yang aku harapkan. Engkau yang kulihat begitu manis, begitu tulus dan halus, sungguh begitu mempesona. Semoga jawaban atas tiadanya satu tulang rusukku adalah engkau, adalah dirimu Nur.
Hingga hari demi hari berganti minggu, minggu demi minggu berganti bulan, sampai pada akhirnya aku tak lagi kuasa membendung rasa kagum yang bersemi dalam hatiku. Aku pun memberanikan diri untuk menuliskan sajak kagumku padamu, Nur. Sajak yang memulai perkenalkanku denganmu.
Sore itu, usai ashar saat aku keluar dari Masjid al-Hikmah aku melihat ke setiap sisi serambi Masjid. Namun engkau yang biasanya telah stand by di sana ternyata sore itu absen dari penglihatanku, atau mungkin belum hadir. Hingga akhirnya si kecil Hafsah berlari ke arahku. Memberikan amplop putih dengan gambar mawar merah padaku. Aku yang kaget setengah senang dan penasaran dengan apa isi amplop itu, segera pulang ke kos. Tak sabar membuka apa yang ada dalam amplop itu. Sesampainya di kamar kos, segera aku membuka amplop itu dan mendapati sebuah kertas warna-warni di dalamnya yang berisi puisi singkat tulisan tanganmu.
Terhanyut aku dalam buaian kata yang kau tulis untukku. Entah siapa gerangan dirimu yang aku pun tak tahu.
Apabila engkau dengan mahirnya bak pujangga menenun kata, maka aku hanyalah pembaca yang tak mahir merangkai kata.
Terimakasihku padamu wahai siapa. Semoga bait yang kau tulis untukku menambah semangatku menempa putra-putri yang diharap agama.
Salamku yang tak tahu siapa dirimu
~Nur Jannati Aufa
Nur Jannati Aufa, akhirnya aku tahu namamu. Aku pun mencari tahu siapa dirimu sebenarnya dan dari mana asalmu, mungkinkah engkau takdir yang dirimkan-Nya padaku?
Lagi-lagi tanpa sepengetahuanmu, aku telah mengetahuimu lebih jauh. Nur Jannati Aufa, mahasiswi jurusan Pendidikan Agama Islam yang juga sekampus denganku. Nur Jannati Aufa, mahasiswi yang terpaut tiga semester di bawahku yang ternyata kakak sepupu si kecil Hafsah dari Solo. Tetangga kotaku, Klaten.
Sejak saat itu, aku semakin terbuai dan terpikat denganmu. Dari kejauhan aku memperhatikanmu, hanya itu yang berani kulakukan saat itu. Agar rasa kagumku padamu tak ternoda oleh cinta yang buta lagi dusta. Agar kemudian cintaku padamu bermuara pada keridhaan-Nya. Hingga pada akhirnya setelah aku menamatkan pendidikanku dan mendapatkan profesi yang aku idam-idamkan sejak kecil, aku pun memberanikan diri untuk mengirimkan satu surat yang lebih serius padamu yang lagi-lagi kutitipkan pada si kecil Hafsah. Yang selang beberapa hari setelah surat itu kau terima, si kecil Hafsah menjadi perantara jawabanmu atas pertanyaanku dalam surat itu. Jawaban singkat yang membuatku melayang hebat, “iya.” Kata Hafsah dengan rona senyum dari wajah mungilnya.
Dari jawaban singkat itu, aku pun memberanikan diri untuk berkunjung ke rumahmu di hari yang telah kita sepakati bersama. Ujung perlabuhan kagum dan cintaku padamu selama ini yang bermuara pada restu kedua orang tuaku dan kedua orang tuamu. Rasa kagumku padamu selama ini Nur, guru Iqra’ yang diam-diam tak lepas dari perhatianku akhirnya berlabuh dan bermuara pada restu-Nya. Restu Sang Maha Puitis. Ternyata benar adanya bahwa engkau adalah jawaban atas pertanyaanku selama ini, engkaulah satu rusukku yang hilang itu. Nur.
SELESAI
Yogyakarta, 18 Januari 2016.

1 komentar:

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.