Cerpen: Irfan Anas
Nur...
Cahaya
yang selalu aku rindu
Berpendarlah
sepanjang malam dan jangan dulu berlalu
Seperti
kumbang kepada kembang di taman merbabu
Begitulah
butuhku akanmu
Sentuh
cahyamu cerahi sedu gelapku
Nur...
Binar
jingga senja yang selalu aku ingin
Hangatilah
aku ketika malam semakin dingin
Bila
hembus adalah isyarat akan adanya angin
Adanya
dirimu adalah isyarat yang ingin kujalin
Mendekatlah
perlahan biar kudekap engkau tiada tersalin
Nur...
Kemilau
indahmu sungguh ingin kusentuh
Jangan
pernah redup dan jangan kau menjauh
Bagaimana
bisa aku tanpamu, aku pasti terjatuh
Berpijarlah
Nur engkau secara utuh
Hanya
dengan pijaranmu asaku selalu tumbuh;
tak
pernah runtuh
Nur, adalah sebuah puisi yang sengaja kurangkai setelah sekian lama
aku hanya dapat memperhatikanmu tanpa sepengetahuanmu. Wujud kekagumanku
padamu. Bertahun-tahun yang lalu aku menulis puisi itu, yang kemudian
kutitipkan kertas putih bercoret sajak-sajak harmoni asmaraku padamu itu pada
si kecil Hafsah, murid mungilmu di TPA al-Hikmah.
Nur, singkat namamu yang kutahu dari muridmu waktu itu. Engkau yang
selalu aku rindukan. Bahkan sampai saat ini, setelah aku berhasil mengalahkan
jutaan lelaki lain yang bersaing untuk dapat meminangmu di atas hamparan
sajadah panjang Masjid atau mungkin rumahmu. Wanita yang tak pernah lepas dari
kekagumanku. Selalu memikat hatiku.
Aku masih sangat ingat ketika pertama kali aku melihatmu di serambi
Masjid al-Hikmah. Ketika pertama kalinya rasa kagumku padamu mulai tumbuh,
hingga selalu bersemi sampai saat ini.
**
Sore itu aku melihatmu yang dengan telaten dan sabar mengajarkan
Iqra’ pada anak-anak kecil kampung di Masjid al-Hikmah yang tak jauh dari
tempat kosku. Seakan melihat bidadari yang sengaja turun ke bumi untuk menebar
risalah Ilahi, manis sekali, sungguh mendamaikan hati. Setiap sore seusai ashar
saat aku keluar dari Masjid al-Hikmah, aku selalu melihatmu telah stand by di
serambi Masjid. Menunggu murid-murid mungilmu yang satu-persatu mulai
berdatangan demi ilmu yang engkau ajarkan, juga pasti demi berjumpa denganmu
yang selalu mereka rindukan. Aku sangat yakin, engkau adalah guru ngaji,
guru Iqra’ favorit mereka. Terlihat dari pancaran bahagia pada wajah
murid-murid mungilmu saat tengah engkau ajari mengaji.
Tapi apalah dayaku, aku hanya mampu meluapkan rasa kekagumanku
padamu saat itu justru dengan tidak mendekatimu, tidak meminta perkenalan
darimu. Biar saja Tuhan yang mengaturnya untukku, agar aku sampai pada puncak
kekagumanku padamu, menjadikanmu sebagai mempelaiku dunia dan akhirat.
Namun Nur, semakin aku melihatmu saat mengajar Iqra’ di serambi
Masjid al-Hikmah, aliran kekagumanku padamu semakin pula mengucur deras.
Menjelma menjadi kecintaan dan kerinduan yang hanya restu dari-Nyalah yang aku
harapkan. Engkau yang kulihat begitu manis, begitu tulus dan halus, sungguh
begitu mempesona. Semoga jawaban atas tiadanya satu tulang rusukku adalah
engkau, adalah dirimu Nur.
Hingga hari demi hari berganti minggu, minggu demi minggu berganti
bulan, sampai pada akhirnya aku tak lagi kuasa membendung rasa kagum yang
bersemi dalam hatiku. Aku pun memberanikan diri untuk menuliskan sajak kagumku
padamu, Nur. Sajak yang memulai perkenalkanku denganmu.
Sore itu, usai ashar saat aku keluar dari Masjid al-Hikmah aku
melihat ke setiap sisi serambi Masjid. Namun engkau yang biasanya telah stand
by di sana ternyata sore itu absen dari penglihatanku, atau mungkin belum
hadir. Hingga akhirnya si kecil Hafsah berlari ke arahku. Memberikan amplop
putih dengan gambar mawar merah padaku. Aku yang kaget setengah senang dan
penasaran dengan apa isi amplop itu, segera pulang ke kos. Tak sabar membuka
apa yang ada dalam amplop itu. Sesampainya di kamar kos, segera aku membuka
amplop itu dan mendapati sebuah kertas warna-warni di dalamnya yang berisi
puisi singkat tulisan tanganmu.
Terhanyut aku dalam buaian kata yang kau tulis untukku. Entah siapa
gerangan dirimu yang aku pun tak tahu.
Apabila engkau dengan mahirnya bak pujangga menenun kata, maka aku
hanyalah pembaca yang tak mahir merangkai kata.
Terimakasihku padamu wahai siapa. Semoga bait yang kau tulis
untukku menambah semangatku menempa putra-putri yang diharap agama.
Salamku yang tak tahu siapa dirimu
~Nur Jannati Aufa
Nur Jannati Aufa, akhirnya aku tahu namamu. Aku pun mencari tahu
siapa dirimu sebenarnya dan dari mana asalmu, mungkinkah engkau takdir yang
dirimkan-Nya padaku?
Lagi-lagi tanpa sepengetahuanmu, aku telah mengetahuimu lebih jauh.
Nur Jannati Aufa, mahasiswi jurusan Pendidikan Agama Islam yang juga sekampus
denganku. Nur Jannati Aufa, mahasiswi yang terpaut tiga semester di bawahku
yang ternyata kakak sepupu si kecil Hafsah dari Solo. Tetangga kotaku, Klaten.
Sejak saat itu, aku semakin terbuai dan terpikat denganmu. Dari
kejauhan aku memperhatikanmu, hanya itu yang berani kulakukan saat itu. Agar
rasa kagumku padamu tak ternoda oleh cinta yang buta lagi dusta. Agar kemudian
cintaku padamu bermuara pada keridhaan-Nya. Hingga pada akhirnya setelah aku
menamatkan pendidikanku dan mendapatkan profesi yang aku idam-idamkan sejak
kecil, aku pun memberanikan diri untuk mengirimkan satu surat yang lebih serius
padamu yang lagi-lagi kutitipkan pada si kecil Hafsah. Yang selang beberapa
hari setelah surat itu kau terima, si kecil Hafsah menjadi perantara jawabanmu
atas pertanyaanku dalam surat itu. Jawaban singkat yang membuatku melayang
hebat, “iya.” Kata Hafsah dengan rona senyum dari wajah mungilnya.
Dari jawaban singkat itu, aku pun memberanikan diri untuk
berkunjung ke rumahmu di hari yang telah kita sepakati bersama. Ujung
perlabuhan kagum dan cintaku padamu selama ini yang bermuara pada restu kedua
orang tuaku dan kedua orang tuamu. Rasa kagumku padamu selama ini Nur, guru
Iqra’ yang diam-diam tak lepas dari perhatianku akhirnya berlabuh dan bermuara
pada restu-Nya. Restu Sang Maha Puitis. Ternyata benar adanya bahwa engkau
adalah jawaban atas pertanyaanku selama ini, engkaulah satu rusukku yang hilang
itu. Nur.
SELESAI
Yogyakarta, 18 Januari 2016.
1 komentar:
Posting Komentar