Cerpen Irfan Anas
“Saya terima
nikahnya Aulia Herlambang binti Aji Herlambang dengan satu buah jilbab,
seperangkat alat sholat, dan uang yang disebutkan dibayar tunai.” Hatiku
gemetar, mataku mulai dibasahi air mata bahagia, tanganku masih kuat
menggenggam tangan ayah Aulia. Semua mata tertuju padaku, menanti kalimat yang
baru saja aku katakan. Aulia mulai menangis merasakan bahagia, sama seperti
yang kurasakan saat ini. Angin kebahagiaan berdesir tenang memenuhi ruang utama
Masjid Baitul Hikmah, tempat prosesi akad nikahku dengan Aulia.
**
Aku mengenal
Aulia tiga tahun yang lalu. Saat itu kami sama-sama masih kuliah di kampus yang
sama, aku mahasiswa semester lima di Fakultas Ilmu Biologi, dan Aulia mahasiswi
semester tiga Fakultas Kedokteran. Saat kuliah aku tinggal sebagai pengurus
masjid di Masjid Al-Huda yang berada di belakang kampusku, Institut Pertanian
Bogor. Sedangkan Aulia tinggal di sebuah asrama mahasiswi tak jauh dari masjid
tempatku tinggal.
Sudah lama aku
mengagumi Aulia, gadis yang membuatku terpesona oleh keanggunannya. Senyumnya
yang manis menyapu kemarahan setiap orang yang melihatnya, mengganti kemarahan
dengan aura ketenangan. Rambutnya lurus dan hitam panjang sebahu. Hidungnya
sedikit mancung dan matanya selalu berseri tiap saat tak sengaja aku berjumpa
dengannya. Selain kami tinggal di daerah yang sama, gedung fakultasku juga bersebelahan
dengan gedung fakultasnya. Hampir setiap hari aku berpapasan dengannya saat
berada di kampus, juga saat berjalan pulang atau pergi ke kampus. Mungkin itu
awal aku menaruh hati padanya.
Sekalipun aku
tak pernah memiliki pengalaman berpacaran, dan memang sama sekali tak punya
niatan untuk itu. Aku hanya sebatas mengagumi Aulia karena senyumnya yang
begitu manis, karena matanya yang sungguh indah. Cita-citaku adalah langsung
menikah tanpa melalui proses pacaran, sesuai ajaran agamaku. Namun sayang,
hatiku terlanjur gandrung pada Aulia, gadis tak berjilbab, mahasiswi fakultas
kedokteran itu. Padahal harapanku nanti beristrikan wanita anggun dengan
kerudung yang selalu menghiasi kepalanya, menutupi indah rambutnya dari terik
matahari dan mata-mata liar kaum lelaki. “Aulia, andaikan jilbab menutupi
rambutmu, betapa cantiknya engkau?”
Selama lima
hari dalam seminggu aku selalu disibukkan dengan kuliah, sejak pagi hingga
mentari di ujung senja. Tiap semester semenjak semester awal, aku selalu
mengambil penuh jatah SKSku, dengan harapan kuliahku bisa segera rampung.
Pagi ini, aku
sedang memakai sepatuku di depan masjid, bersiap untuk pergi ke kampus. Jadwal
kuliah hari ini padat tak berjeda, bahkan untuk sarapan sekali pun. Aku hanya
membawa bekal roti yang hendak kumakan saat perut mulai keroncongan nanti.
Ketika berjalan
menuju ke kampus, aku melihat Aulia sedang menyapu halaman depan asramanya,
mungkin ia tak ada jadwal pagi ini. Aku hanya berani melihatnya sekilas, tak
berani berlama-lama, apalagi menyapanya. Sekedip melihatnya saja aku sudah
sangat bahagia. Bertambahlah semangatku pagi ini. Mengganjal perut laparku
akibat rasa bahagia itu, bahagia yang karenanya terlupakan rasa lapar. Aku
segera berjalan ke kampus, dengan bayangan Aulia yang sedang menyulam harapan
di kepalaku.
“Bagas, jangan
lupa nanti sore setelah kuliah kita ada kajian di masjid kampus ya!” sapa Wisnu,
teman sekelasku yang juga ketua UKM Kerohanian yang aku ikuti sejak dua smester
lalu.
“Pembicaranya
nanti dari kita sendiri atau mengundang pembicara dari luar?”
“InsyaAllah
nanti yang mengisi Kang Huda, alumni kita. Kemarin beliau sudah konfirmasi.
Jangan lupa kasih tau yang lain ya, ajak teman-teman di luar UKM Kerohanian
juga tak masalah, semakin banyak yang hadir semakin semangat kita belajarnya
kan?
“Oke siap!”
Profesor Jujun,
dosen mata kuliah pertama hari ini mulai memasuki ruang kuliah dan memulai
perkuliahan. Setelah mata kuliah pertama selesai, segera dilanjutkan mata
kuliah kedua dan seterusnya sampai waktu istirahat dhuhur tiba. Aku, Wisnu, dan
beberapa teman sekelasku yang lain segera bergegas ke Masjid Salman, masjid
kampusku saat adzan dhuhur berkumandang. Di kejauhan, aku melihat beberapa
mahasiswi juga sedang berjalan menuju ke tempat wudhu putri yang ada di sebelah
utara masjid. Samar-samar aku melihat ada Aulia di sana.
“Subhanallah,
taat juga dia ternyata” gumingku terkagum pelan, namun ternyata Wisnu
mendengarnya.
“Woi jaga mata
Gas!” tangan Wisnu menutupi mataku.
“Iya cuman
sekilas, itu juga nggak sengaja kok, hehehe” kataku sambil menyingkirkan tangan
wisnu dari wajahku. “Udah yuk buruan wudhu, ntar telat lo jama’ahnya” aku melanjutkan.
Kami menuju ke tempat wudhu pria di sebelah selatan masjid. Lalu segera
mengikuti sholat dhuhur berjama’ah setelah berwudhu.
Tak terasa
waktu Ashar sebentar lagi, jadwal kuliahku hari ini juga tuntas berakhir. Aku
kembali ke masjid untuk sholat ashar berjamaah, lalu mempersiapkan layar dan
proyektor untuk kajian sore ini. Setelah ashar, telah banyak mahasiswa dan
mahasiswi berkumpul secara terpisah putera dan puteri di ruang utama masjid.
Pemateri sore ini, Kang Huda juga telah siap. Kang Huda membagikan selebaran
materi pada para peserta kajian. Kulihat judulnya; Perintah Menutup Aurat untuk
Muslim dan Muslimah. Kang Huda segera menyampaikan materinya setelah aku yang
ditugaskan sebagai moderator membuka acara kajian sore ini. Acara berjalan
khidmat dan penuh antusias para hadirin.
“Jadi sebagai
seorang muslim baik laki-laki maupun perempuan, kita diwajibkan untuk menutup
aurat. Jika laki-laki dari pusar hingga bawah lutut yang wajib tertutup,
berbeda dengan perempuan yang seluruh anggota tubuhnya wajib untuk ditutup
rapat dan tidak ketat kecuali telapak tangan dan muka. Walaupun sebagian Ulama’
berpendapat muka juga wajib ditutup kecuali mata untuk perempuan” Kang Huda
menerangkan perintah kewajiban menutup aurat dengan sangat jelas, gamblang, dan
mudah dipahami.
“Hai Nabi
katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang
Mukmin: hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu,
dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Begitulah firman Allah
dalam surat al-Ahzaab ayat 59” lanjut Kang Huda.
Di akhir acara,
aku sebagai moderator membuka sesi tanya jawab. Beberapa pertanyaan yang
diajukan para peserta kajian telah dijawab oleh Kang Huda. Sebelum acara aku
tutup, aku coba bertanya pada Kang Huda.
“Mohon maaf
sebelumnya Kang, saya sendiri sebagai moderator sebenarnya memiliki pertanyaan
untuk Kang Huda. Boleh saya sampaikan?” sambil melihat jam di atas tembok salah
satu sisi masjid, aku menyampaikan pertanyaanku, karena masih ada waktu sekitar
sepuluh menit sesuai jadwal sebelum acara berakhir.
“Oh iya
silahkan Mas Bagas, saya jawab sesingkat dan sejelas mungkin ya? Silahkan”
“Jadi sebagai
seorang muslim, apakah ada larangan untuk menikahi perempuan yang tidak
berjilbab? Tanyaku singkat.
“Bagus ini
pertanyaannya. Sebenarnya tidak ada larangan seorang laki-laki muslim menikahi
wanita yang tidak berjilbab, asal ia juga seorang muslimah. Akan tetapi
alangkah lebih baiknya si laki-laki sebagai suami untuk menuntun istrinya agar
tercerah dan mau mengenakan jilbab. Dengan penjelasan yang jelas dan santun
tentunya. Mungkin saja si wanita itu belum mengetahui dasar perintah kewajiban
berjilbab, itu tugas si laki-laki sebagai suami untuk memberitahu pada wanita
itu sebagai istri. Cukup jelas ya? Kalau kurang nanti bisa kita diskusikan di
luar acara Mas Bagas”
“Alhamdulillah
cukup jelas dan mencerahkan kang” jawabku, aku pun segera menutup dan
mengakhiri acara kajian sore ini.
Setelah kajian
sore itu hari-hariku diwarnai pertanyaan-pertanyaan yang cukup mengganjal
otakku. “Apakah aku bisa menjadi suami Aulia nanti? Kalau saja aku berjodoh
dengan Aulia, apakah aku bisa mengarahkan Aulia agar ia mau menutup auratnya
dan mulai memakai jilbab? Semoga saja... aku terlanjur menaruh hati padanya.”
Seperti
biasanya aku menjalani hari-hariku, berkutat dengan kegiatan di kampus baik
kuliah dan kegiatan yang diadakan UKM Kerohanian, maupun kegiatan di Masjid
Al-Huda. Hanya aku dan satu orang adik tingkatku di kampus yang tinggal di
Majid Al-Huda, biasanya kami bergantian adzan ketika waktu sholat lima waktu
tiba. Sejak kecil aku memiliki suara yang merdu saat adzan. Beberapa kali aku
memenangkan berbagai perlombaan adzan baik tingkat kecamatan, kabupaten, maupun
provinsi. Waktu magrib telah tiba, aku yang bertugas adzan. Setelah adzan aku
meletakkan peci hitamku di atas kotak amal yang ada di depan masjid, lalu
mengambil air wudhu. Aku lupa setelah wudhu tadi, peci hitamku belum aku ambil.
Peci itu masih tergeletak di atas kotak amal. “Biarlah, nanti saja sebelum
isya’ baru aku ambil” pikirku. Tak seperti biasanya aku sholat berjama’ah tanpa
memakai peci di kepalaku.
Setelah usai
sholat jama’ah magrib dan melantunkan dzikir serta do’a-do’a, aku segera menuju
ke depan masjid. Mengambil peci hitamku yang terlupa tergeletak di atas kotak
amal. Setelah aku ambil, aku kembali memakai peci hitamku dan kembali ke dalam
masjid, mengambil Qur’an lalu membacanya sembari menunggu waktu isya’. Ada yang
aneh dan risih saat aku memakai peciku, seperti ada sesuatu yang mengganjal
dikepalaku. Aku biarkan saja, mungkin jahitan bagian dalamnya ada yang
tertekuk. Aku membaca Qur’an sampai waktu isya’ tiba, di dalam masjid hanya
tersisa aku dan beberapa jama’ah tua laki-laki dan perempuan. Waktu antara
magrib dan isya’ memang biasanya seperti ini, sebagian jama’ah kembali ke
rumah, menunggu isya’ dengan melanjutkan aktivitas di rumah. Hanya beberapa
saya yang tetap di masjid, biasanya para jama’ah yang cukup tua atau jama’ah
yang rumahnya jauh dari masjid.
Setelah Isya’
aku kembali ke kamarku, kamar pengurus masjid yang ada di lantai dua masjid.
Aku penasaran dengan apa yang mengganjal di peciku. Aku memeriksanya dan
menemukan selembar kertas terlipat berwarna biru muda keungu-unguan terselip di
salah satu celah peciku. “Kertas apa ini? Siapa yang menaruhnya di peciku?”
tanyaku penasaran dalam hati. Aku membuka lipatan kertas itu. Hmmmm harum
baunya. Mungkin ada orang iseng yang menaruhnya di peciku. Ternyata ada tulisan
pada kertas itu. Penasaran, aku segera membacanya.
Assalamualaikum
Mas Bagas.... Mas yang biasa adzan di masjid ya? Merdu suara adzan Mas Bagas.
Saya selalu bersemangat untuk pergi ke masjid saat Mas Bagas melantunkan adzan.
Semoga berkat adzan Mas Bagas, orang-orang menjadi bersemangat sholat
berjama’ah di masjid, seperti yang saya alami. Terus menebar kebaikan lewat
adzan dan lewat jalan yang lain ya...
Orang yang
mengagumimu, Aulia.
Aku tertegun
membaca surat itu. Tak percaya, Aulia perempuan yang selama ini aku kagumi
mengirimkan surat dengan tulisan yang membuatku terharu di dalamnya. Dengan
keberanian, aku membalas surat itu dan menitipkannya kepada teman seasramanya
yang aku kenal dan kebetulan juga sekelas denganku di kampus, Dewi. Komunikasiku
terus berlanjut lewat surat-surat itu, tanpa pertemuan secara langsung atau pun
pacaran. Aku tak mau menodai perasaan kagumku pada Aulia dengan hubungan
seperti pacaran. Biar aku sembunyikan perasaanku padanya, hingga waktunya tiba
nanti. Semoga.....
Semenjak saat
itu, tiap kali aku berpapasan dengan Aulia entah di kampus atau pun di jalan,
hanya senyum yang mewarnai pertemuan kami. Tanpa kata yang terucap ataupun
pertemuan khusus. Hingga akhirnya aku lulus dan diwisuda. Saat hari wisudaku,
Dewi memberikan bunga dan sebuah surat yang dititipkan Aulia padanya.
“Bagas ini ada
bunga dan surat dari Aulia, ia tidak bisa hadir melihat kita diwisuda. Aulia
pagi tadi berangkat ke Jakarta, dia PPL di sebuah Rumah Sakit di sana”
“Dia sudah PPL
ya? Terimakasih ya Wi, sampaikan salamku padanya” kataku pada Dewi, sambil
menerima bunga dan surat darinya.
“Sama-sama Gas,
tadi Aulia juga minta nomer kamu, tapi aku urung untuk memberikannya. Aku harus
bertanya dulu padamu, boleh atau tidak aku kasih?”
“Beri saja
nggak masalah kok, lagi pula mungkin beberapa hari setelah wisuda ini aku juga
akan pindah keluar kota. Makasih ya...” Sambil tersenyum, aku pergi
meninggalkan Dewi. Menemui Wisnu dan teman-temanku yang lain.
Keesokan
harinya aku berniat untuk ke sebuah pusat pertokoan yang ada di kota Bogor
untuk membeli sesuatu sebagai kenang-kenangan untuk Aulia sebelum aku
meninggalkan kota ini dan berpindah ke luar kota. Entah apa yang akan aku beli,
yang jelas aku ingin membelikan Aulia sesuatu yang berarti dan bermanfaat untuknya.
Setelah berputar-putar cukup lama di pusat pertokoan, terbesit dalam benakku,
“Aku belikan saja Aulia jilbab, aku ingin menuntun Aulia agar dia mau berhijrah
dan mulai hidup baru dengan jilbab yang selalu menghiasi kepalanya. Betapa
cantiknya Aulia dengan jilbab” pikirku.
Aku
melangkahkan kaki ke sebuah butik busana muslim dan memilih-milih jilbab yang
mana yang akan aku beli. Akhirnya mataku tertuju pada sebuah jilbab berwarna
merah hati yang di pajang di salah satu sudut butik. Aku membelinya, juga
membeli sebuah baju gamis wanita yang juga berwarna merah hati dengan
pernak-pernik dan motivnya yang begitu indah, “Pasti Aulia semakin cantik
dengan jilbab dan gamis ini” anganku, membayangkan bila saja Aulia mulai
berjilbab, memakai jilbab dan gamis yang aku belikan ini.
Aku membungkus
jilbab dan gamis itu dengan bungkus kado bercorak bunga-bunga tulip warna biru
muda dengan rapi, aku menyertakan sebuah surat untuknya. Aku titipkan bungkusan
kado itu pada Dewi, agar dia memberikan pada Aulia saat ia pulang ke asrama
nanti.
Untukmu Aulia..
Terima kasih
dengan bunga yang kamu titipkan pada Dewi. Aku juga sudah membaca surat darimu.
Semoga kita bisa dipertemukan dalam keadaan yang lebih baik dan indah nanti.
Aku sertakan
sebuah jilbab dan gamis merah hati dalam bungkusan kado ini, sebagai tanda
perpisahan. Aku hendak merantau ke luar kota. Semoga kamu berkenan memakainya,
dan menambah kecantikan serta keanggunanmu dengan jilbab. Semoga tergapai apa
yang kamu cita-citakan. Senandung do’a untukmu, semoga Allah mempertemukan kita
kembali suatu hari nanti.
Bagus
Abdurrahman
Beberapa hari
setelah itu aku berpindah ke Yogyakarta, aku melanjutkan pendidikanku dengan
mengambil S2 dengan konsentrasi Pendidikan Biologi di UGM. Hari-hari baru aku lalui
di Yogyakarta, kota pelajar yang banyak kekasih dipertemukan di sini. Selama di
Yogyakarta, aku tinggal di rumah kakak pertamaku yang juga dosen di UGM. Aku
tinggal di rumah sederhananya bersama keluarga kecilnya, kakak iparku dan kedua
putera-puterinya.
Dua hari yang
lalu Aulia mengirimkan sebuah pesan lewat sms padaku. Ia menanyakan kesibukan
baruku, di mana aku tinggal, juga bagaimana kabarku. Aku membalas smsnya,
menjawab pertanyaannya. Aku katakan yang sejujurnya, beserta alamatku tinggal
sekarang. Tak lupa aku juga tanyakan bagaimana kabarnya, juga kukirimkan do’a
padanya. Semoga ia selalu sehat dan kuliahnya segera rampung, semoga ia mulai
mengenakan jilbab dan segera menjadi dokter cantik yang berjilbab.
Tiga tahun
berlalu, tak terasa S2ku telah selesai. Aku diterima menjadi dosen di salah
satu kampus swasta yang terkenal di Yogyakarta, UMY. Sementara aku mengontrak
sebuah rumah di dekat UMY, sambil menabung agar sesegera mungkin bisa membeli
rumah sendiri. Selama ini komunikasiku dengan Aulia terus berlanjut, sebatas
menanyakan kabar dan kesibukan lewat sms, sesekali juga lewat telefon singkat.
Aulia juga telah lulus dan menyandang gelar dokter muda. Sekarang ia menjadi
dokter umum di sebuah rumah sakit umum di Jakarta. Rumahnya memang di Jakarta,
ia tinggal di sana bersama Ayah dan Ibunya. Ayah Aulia adalah seorang dokter
senior di rumah sakit tempat Aulia berkerja saat ini. Setelah sampai di rumah
kontrakanku sepulang mengajar, aku berniat untuk menelfon Aulia. Ayah Ibuku dan
juga kakakku selalu bertanya kapan aku akan menikah, umurku memang sudah cukup
matang untuk menikah.
“Assalamualaikum
Bu Dokter hehehe, gimana kabarnya?” aku mengawali pembicaraan di telefon.
“Waalaikumussalam
Pak Dosen, alhamdulillah sehat selalu. Semoga Pak Dosen di Yogyakarta juga
sehat selalu ya, semangat mengajarnya Pak! Hehe” jawabnya dengan suara yang
sungguh menyejukkan hatiku. Rasa lelah di badanku lenyap mendengar suaranya.
“Alhamdulillah,
dijaga kesehatannya ya Bu Dokter, jangan sampai kesehatan sendiri terlupa karena
sibuk menyehatkan orang lain ya?” kami tertawa pelan, “Oh iya kebetulan minggu
depan saya ada diklat di Jakarta, bisa mampir ke rumah?” aku melanjutkan.
“InsyaAllah
selalu sehat Bapak hehehe, loh dengan senang hati saya dan keluarga menerima
Pak Dosen Bagus di rumah, malah kami menunggu-nunggu lo hehehehe”
“Alhamdulillah,
tunggu ya Bu Dokter. Saya juga mau mengobati hati saya pada Bu Dokter Aulia
hehehe” kami bercanda ceria, menghapus rindu dalam telefon singkat beberapa
menit itu.
Hari ini aku
sudah berada di Jakarta untuk mengikuti diklat selama beberapa hari ke depan. Setelah
diklatku selesai, aku dan orang tuaku akan berkunjung ke rumah Aulia untuk
melamarnya, aku juga sudah mengatakan rencanaku ini pada Aulia. Beberapa hari
yang lalu pun aku telah berunding dengan Ayah dan Ibuku. Orang tuaku telah
datang dari Depok. Setelah Isya’ aku dan orang tuaku menaiki mobil menuju ke
rumah Aulia, tadi sore ia mengirim alamatnya lewat sms. Kebetulan sekali alamat
rumahnya tak jauh dari lokasi diklatku, tak sampai setengah jam aku sampai di
depan rumahnya. Betapa kaget dan terpesonanya aku saat melihat Aulia berdiri di
depan rumah memakai gamis dan jilbab merah hati yang aku berikan beberapa tahun
yang lalu. Masih sangat bagus, sepertinya ia menyimpan itu dengan baik. Sungguh
cantik Aulia malam ini, dengan pakaian yang menutupi auratnya. Ternyata
semenjak aku pindah ke Jogja, Aulia mulai berhijrah. Sejak saat itu, jilbab tak
pernah lalai ia kenakan. Aku terharu dan sangat bahagia melihatnya yang begitu
anggun memakai jilbab.
Keluarganya menyambut kedatangan kami dengan
sangat santun. Ayahku menyampaikan maksud kedatangan kami pada Ayah Aulia,
hatiku berdebar tak karuan. Akhirnya malam ini juga Aulia dan Ayahnya langsung
memberi jawaban, lamaranku diterima. Malam ini juga kami menentukan tanggal
akad nikah dan resepsi pernikahanku dengan Aulia. Kami menetapkan minggu depan,
Senin malam aku dan Aulia diakadnikahkan di Masjid Baitul Hikmah, dekat rumah
Aulia.
**
Senin malam.
Waktu yang dinanti-nanti pun tiba. Malam ini aku akan dinikahkan dengan Aulia,
gadis cantik yang kukenal saat kuliah di Bogor. Gadis yang memikat hatiku,
membuatku terpesona dan gandrung untuk mencintainya. Gadis tak berjilbab yang
akhirnya mulai memakai jilbab karenaku. Aulia, yang mulai terpesona dengan suara
adzanku. Aulia, dokter muda yang cantik dan anggun dengan jilbabnya.
Seluruh
keluarga dari kedua belah pihak telah berkumpul di dalam Masjid Baitul Hikmah.
Hatiku bahagia tak karuan, gemetar menggelegar, tak menyangka akhirnya do’aku
dikabulkan oleh Tuhan. Aku diakadnikahkan dengan Aulia. Tanganku menggenggam
tangan Ayah Aulia. Penghulu mulai mengucap kalimat akad nikah. Aku pun
menjawab;
“Saya terima
nikahnya Aulia Herlambang binti Aji Herlambang dengan satu buah jilbab,
seperangkat alat sholat, dan uang yang disebutkan dibayar tunai.”
SELESAI
Yogyakarta, 29
Oktober 2015
0 komentar:
Posting Komentar