Sabtu, 26 Desember 2015

Jilbab untuk Aulia

Cerpen Irfan Anas



“Saya terima nikahnya Aulia Herlambang binti Aji Herlambang dengan satu buah jilbab, seperangkat alat sholat, dan uang yang disebutkan dibayar tunai.” Hatiku gemetar, mataku mulai dibasahi air mata bahagia, tanganku masih kuat menggenggam tangan ayah Aulia. Semua mata tertuju padaku, menanti kalimat yang baru saja aku katakan. Aulia mulai menangis merasakan bahagia, sama seperti yang kurasakan saat ini. Angin kebahagiaan berdesir tenang memenuhi ruang utama Masjid Baitul Hikmah, tempat prosesi akad nikahku dengan Aulia.

**
Aku mengenal Aulia tiga tahun yang lalu. Saat itu kami sama-sama masih kuliah di kampus yang sama, aku mahasiswa semester lima di Fakultas Ilmu Biologi, dan Aulia mahasiswi semester tiga Fakultas Kedokteran. Saat kuliah aku tinggal sebagai pengurus masjid di Masjid Al-Huda yang berada di belakang kampusku, Institut Pertanian Bogor. Sedangkan Aulia tinggal di sebuah asrama mahasiswi tak jauh dari masjid tempatku tinggal.
Sudah lama aku mengagumi Aulia, gadis yang membuatku terpesona oleh keanggunannya. Senyumnya yang manis menyapu kemarahan setiap orang yang melihatnya, mengganti kemarahan dengan aura ketenangan. Rambutnya lurus dan hitam panjang sebahu. Hidungnya sedikit mancung dan matanya selalu berseri tiap saat tak sengaja aku berjumpa dengannya. Selain kami tinggal di daerah yang sama, gedung fakultasku juga bersebelahan dengan gedung fakultasnya. Hampir setiap hari aku berpapasan dengannya saat berada di kampus, juga saat berjalan pulang atau pergi ke kampus. Mungkin itu awal aku menaruh hati padanya.
Sekalipun aku tak pernah memiliki pengalaman berpacaran, dan memang sama sekali tak punya niatan untuk itu. Aku hanya sebatas mengagumi Aulia karena senyumnya yang begitu manis, karena matanya yang sungguh indah. Cita-citaku adalah langsung menikah tanpa melalui proses pacaran, sesuai ajaran agamaku. Namun sayang, hatiku terlanjur gandrung pada Aulia, gadis tak berjilbab, mahasiswi fakultas kedokteran itu. Padahal harapanku nanti beristrikan wanita anggun dengan kerudung yang selalu menghiasi kepalanya, menutupi indah rambutnya dari terik matahari dan mata-mata liar kaum lelaki. “Aulia, andaikan jilbab menutupi rambutmu, betapa cantiknya engkau?”
Selama lima hari dalam seminggu aku selalu disibukkan dengan kuliah, sejak pagi hingga mentari di ujung senja. Tiap semester semenjak semester awal, aku selalu mengambil penuh jatah SKSku, dengan harapan kuliahku bisa segera rampung.
Pagi ini, aku sedang memakai sepatuku di depan masjid, bersiap untuk pergi ke kampus. Jadwal kuliah hari ini padat tak berjeda, bahkan untuk sarapan sekali pun. Aku hanya membawa bekal roti yang hendak kumakan saat perut mulai keroncongan nanti.
Ketika berjalan menuju ke kampus, aku melihat Aulia sedang menyapu halaman depan asramanya, mungkin ia tak ada jadwal pagi ini. Aku hanya berani melihatnya sekilas, tak berani berlama-lama, apalagi menyapanya. Sekedip melihatnya saja aku sudah sangat bahagia. Bertambahlah semangatku pagi ini. Mengganjal perut laparku akibat rasa bahagia itu, bahagia yang karenanya terlupakan rasa lapar. Aku segera berjalan ke kampus, dengan bayangan Aulia yang sedang menyulam harapan di kepalaku.
“Bagas, jangan lupa nanti sore setelah kuliah kita ada kajian di masjid kampus ya!” sapa Wisnu, teman sekelasku yang juga ketua UKM Kerohanian yang aku ikuti sejak dua smester lalu.
“Pembicaranya nanti dari kita sendiri atau mengundang pembicara dari luar?”
“InsyaAllah nanti yang mengisi Kang Huda, alumni kita. Kemarin beliau sudah konfirmasi. Jangan lupa kasih tau yang lain ya, ajak teman-teman di luar UKM Kerohanian juga tak masalah, semakin banyak yang hadir semakin semangat kita belajarnya kan?
“Oke siap!”
Profesor Jujun, dosen mata kuliah pertama hari ini mulai memasuki ruang kuliah dan memulai perkuliahan. Setelah mata kuliah pertama selesai, segera dilanjutkan mata kuliah kedua dan seterusnya sampai waktu istirahat dhuhur tiba. Aku, Wisnu, dan beberapa teman sekelasku yang lain segera bergegas ke Masjid Salman, masjid kampusku saat adzan dhuhur berkumandang. Di kejauhan, aku melihat beberapa mahasiswi juga sedang berjalan menuju ke tempat wudhu putri yang ada di sebelah utara masjid. Samar-samar aku melihat ada Aulia di sana.
“Subhanallah, taat juga dia ternyata” gumingku terkagum pelan, namun ternyata Wisnu mendengarnya.
“Woi jaga mata Gas!” tangan Wisnu menutupi mataku.
“Iya cuman sekilas, itu juga nggak sengaja kok, hehehe” kataku sambil menyingkirkan tangan wisnu dari wajahku. “Udah yuk buruan wudhu, ntar telat lo jama’ahnya” aku melanjutkan. Kami menuju ke tempat wudhu pria di sebelah selatan masjid. Lalu segera mengikuti sholat dhuhur berjama’ah setelah berwudhu.
Tak terasa waktu Ashar sebentar lagi, jadwal kuliahku hari ini juga tuntas berakhir. Aku kembali ke masjid untuk sholat ashar berjamaah, lalu mempersiapkan layar dan proyektor untuk kajian sore ini. Setelah ashar, telah banyak mahasiswa dan mahasiswi berkumpul secara terpisah putera dan puteri di ruang utama masjid. Pemateri sore ini, Kang Huda juga telah siap. Kang Huda membagikan selebaran materi pada para peserta kajian. Kulihat judulnya; Perintah Menutup Aurat untuk Muslim dan Muslimah. Kang Huda segera menyampaikan materinya setelah aku yang ditugaskan sebagai moderator membuka acara kajian sore ini. Acara berjalan khidmat dan penuh antusias para hadirin.
“Jadi sebagai seorang muslim baik laki-laki maupun perempuan, kita diwajibkan untuk menutup aurat. Jika laki-laki dari pusar hingga bawah lutut yang wajib tertutup, berbeda dengan perempuan yang seluruh anggota tubuhnya wajib untuk ditutup rapat dan tidak ketat kecuali telapak tangan dan muka. Walaupun sebagian Ulama’ berpendapat muka juga wajib ditutup kecuali mata untuk perempuan” Kang Huda menerangkan perintah kewajiban menutup aurat dengan sangat jelas, gamblang, dan mudah dipahami.
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang Mukmin: hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu, dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Begitulah firman Allah dalam surat al-Ahzaab ayat 59” lanjut Kang Huda.
Di akhir acara, aku sebagai moderator membuka sesi tanya jawab. Beberapa pertanyaan yang diajukan para peserta kajian telah dijawab oleh Kang Huda. Sebelum acara aku tutup, aku coba bertanya pada Kang Huda.
“Mohon maaf sebelumnya Kang, saya sendiri sebagai moderator sebenarnya memiliki pertanyaan untuk Kang Huda. Boleh saya sampaikan?” sambil melihat jam di atas tembok salah satu sisi masjid, aku menyampaikan pertanyaanku, karena masih ada waktu sekitar sepuluh menit sesuai jadwal sebelum acara berakhir.
“Oh iya silahkan Mas Bagas, saya jawab sesingkat dan sejelas mungkin ya? Silahkan”
“Jadi sebagai seorang muslim, apakah ada larangan untuk menikahi perempuan yang tidak berjilbab? Tanyaku singkat.
“Bagus ini pertanyaannya. Sebenarnya tidak ada larangan seorang laki-laki muslim menikahi wanita yang tidak berjilbab, asal ia juga seorang muslimah. Akan tetapi alangkah lebih baiknya si laki-laki sebagai suami untuk menuntun istrinya agar tercerah dan mau mengenakan jilbab. Dengan penjelasan yang jelas dan santun tentunya. Mungkin saja si wanita itu belum mengetahui dasar perintah kewajiban berjilbab, itu tugas si laki-laki sebagai suami untuk memberitahu pada wanita itu sebagai istri. Cukup jelas ya? Kalau kurang nanti bisa kita diskusikan di luar acara Mas Bagas”
“Alhamdulillah cukup jelas dan mencerahkan kang” jawabku, aku pun segera menutup dan mengakhiri acara kajian sore ini.
Setelah kajian sore itu hari-hariku diwarnai pertanyaan-pertanyaan yang cukup mengganjal otakku. “Apakah aku bisa menjadi suami Aulia nanti? Kalau saja aku berjodoh dengan Aulia, apakah aku bisa mengarahkan Aulia agar ia mau menutup auratnya dan mulai memakai jilbab? Semoga saja... aku terlanjur menaruh hati padanya.”
Seperti biasanya aku menjalani hari-hariku, berkutat dengan kegiatan di kampus baik kuliah dan kegiatan yang diadakan UKM Kerohanian, maupun kegiatan di Masjid Al-Huda. Hanya aku dan satu orang adik tingkatku di kampus yang tinggal di Majid Al-Huda, biasanya kami bergantian adzan ketika waktu sholat lima waktu tiba. Sejak kecil aku memiliki suara yang merdu saat adzan. Beberapa kali aku memenangkan berbagai perlombaan adzan baik tingkat kecamatan, kabupaten, maupun provinsi. Waktu magrib telah tiba, aku yang bertugas adzan. Setelah adzan aku meletakkan peci hitamku di atas kotak amal yang ada di depan masjid, lalu mengambil air wudhu. Aku lupa setelah wudhu tadi, peci hitamku belum aku ambil. Peci itu masih tergeletak di atas kotak amal. “Biarlah, nanti saja sebelum isya’ baru aku ambil” pikirku. Tak seperti biasanya aku sholat berjama’ah tanpa memakai peci di kepalaku.
Setelah usai sholat jama’ah magrib dan melantunkan dzikir serta do’a-do’a, aku segera menuju ke depan masjid. Mengambil peci hitamku yang terlupa tergeletak di atas kotak amal. Setelah aku ambil, aku kembali memakai peci hitamku dan kembali ke dalam masjid, mengambil Qur’an lalu membacanya sembari menunggu waktu isya’. Ada yang aneh dan risih saat aku memakai peciku, seperti ada sesuatu yang mengganjal dikepalaku. Aku biarkan saja, mungkin jahitan bagian dalamnya ada yang tertekuk. Aku membaca Qur’an sampai waktu isya’ tiba, di dalam masjid hanya tersisa aku dan beberapa jama’ah tua laki-laki dan perempuan. Waktu antara magrib dan isya’ memang biasanya seperti ini, sebagian jama’ah kembali ke rumah, menunggu isya’ dengan melanjutkan aktivitas di rumah. Hanya beberapa saya yang tetap di masjid, biasanya para jama’ah yang cukup tua atau jama’ah yang rumahnya jauh dari masjid.
Setelah Isya’ aku kembali ke kamarku, kamar pengurus masjid yang ada di lantai dua masjid. Aku penasaran dengan apa yang mengganjal di peciku. Aku memeriksanya dan menemukan selembar kertas terlipat berwarna biru muda keungu-unguan terselip di salah satu celah peciku. “Kertas apa ini? Siapa yang menaruhnya di peciku?” tanyaku penasaran dalam hati. Aku membuka lipatan kertas itu. Hmmmm harum baunya. Mungkin ada orang iseng yang menaruhnya di peciku. Ternyata ada tulisan pada kertas itu. Penasaran, aku segera membacanya.
Assalamualaikum Mas Bagas.... Mas yang biasa adzan di masjid ya? Merdu suara adzan Mas Bagas. Saya selalu bersemangat untuk pergi ke masjid saat Mas Bagas melantunkan adzan. Semoga berkat adzan Mas Bagas, orang-orang menjadi bersemangat sholat berjama’ah di masjid, seperti yang saya alami. Terus menebar kebaikan lewat adzan dan lewat jalan yang lain ya...
Orang yang mengagumimu, Aulia.
Aku tertegun membaca surat itu. Tak percaya, Aulia perempuan yang selama ini aku kagumi mengirimkan surat dengan tulisan yang membuatku terharu di dalamnya. Dengan keberanian, aku membalas surat itu dan menitipkannya kepada teman seasramanya yang aku kenal dan kebetulan juga sekelas denganku di kampus, Dewi. Komunikasiku terus berlanjut lewat surat-surat itu, tanpa pertemuan secara langsung atau pun pacaran. Aku tak mau menodai perasaan kagumku pada Aulia dengan hubungan seperti pacaran. Biar aku sembunyikan perasaanku padanya, hingga waktunya tiba nanti. Semoga.....
Semenjak saat itu, tiap kali aku berpapasan dengan Aulia entah di kampus atau pun di jalan, hanya senyum yang mewarnai pertemuan kami. Tanpa kata yang terucap ataupun pertemuan khusus. Hingga akhirnya aku lulus dan diwisuda. Saat hari wisudaku, Dewi memberikan bunga dan sebuah surat yang dititipkan Aulia padanya.
“Bagas ini ada bunga dan surat dari Aulia, ia tidak bisa hadir melihat kita diwisuda. Aulia pagi tadi berangkat ke Jakarta, dia PPL di sebuah Rumah Sakit di sana”
“Dia sudah PPL ya? Terimakasih ya Wi, sampaikan salamku padanya” kataku pada Dewi, sambil menerima bunga dan surat darinya.
“Sama-sama Gas, tadi Aulia juga minta nomer kamu, tapi aku urung untuk memberikannya. Aku harus bertanya dulu padamu, boleh atau tidak aku kasih?”
“Beri saja nggak masalah kok, lagi pula mungkin beberapa hari setelah wisuda ini aku juga akan pindah keluar kota. Makasih ya...” Sambil tersenyum, aku pergi meninggalkan Dewi. Menemui Wisnu dan teman-temanku yang lain.
Keesokan harinya aku berniat untuk ke sebuah pusat pertokoan yang ada di kota Bogor untuk membeli sesuatu sebagai kenang-kenangan untuk Aulia sebelum aku meninggalkan kota ini dan berpindah ke luar kota. Entah apa yang akan aku beli, yang jelas aku ingin membelikan Aulia sesuatu yang berarti dan bermanfaat untuknya. Setelah berputar-putar cukup lama di pusat pertokoan, terbesit dalam benakku, “Aku belikan saja Aulia jilbab, aku ingin menuntun Aulia agar dia mau berhijrah dan mulai hidup baru dengan jilbab yang selalu menghiasi kepalanya. Betapa cantiknya Aulia dengan jilbab” pikirku.
Aku melangkahkan kaki ke sebuah butik busana muslim dan memilih-milih jilbab yang mana yang akan aku beli. Akhirnya mataku tertuju pada sebuah jilbab berwarna merah hati yang di pajang di salah satu sudut butik. Aku membelinya, juga membeli sebuah baju gamis wanita yang juga berwarna merah hati dengan pernak-pernik dan motivnya yang begitu indah, “Pasti Aulia semakin cantik dengan jilbab dan gamis ini” anganku, membayangkan bila saja Aulia mulai berjilbab, memakai jilbab dan gamis yang aku belikan ini.
Aku membungkus jilbab dan gamis itu dengan bungkus kado bercorak bunga-bunga tulip warna biru muda dengan rapi, aku menyertakan sebuah surat untuknya. Aku titipkan bungkusan kado itu pada Dewi, agar dia memberikan pada Aulia saat ia pulang ke asrama nanti.
Untukmu Aulia..
Terima kasih dengan bunga yang kamu titipkan pada Dewi. Aku juga sudah membaca surat darimu. Semoga kita bisa dipertemukan dalam keadaan yang lebih baik dan indah nanti.
Aku sertakan sebuah jilbab dan gamis merah hati dalam bungkusan kado ini, sebagai tanda perpisahan. Aku hendak merantau ke luar kota. Semoga kamu berkenan memakainya, dan menambah kecantikan serta keanggunanmu dengan jilbab. Semoga tergapai apa yang kamu cita-citakan. Senandung do’a untukmu, semoga Allah mempertemukan kita kembali suatu hari nanti.
Bagus Abdurrahman
Beberapa hari setelah itu aku berpindah ke Yogyakarta, aku melanjutkan pendidikanku dengan mengambil S2 dengan konsentrasi Pendidikan Biologi di UGM. Hari-hari baru aku lalui di Yogyakarta, kota pelajar yang banyak kekasih dipertemukan di sini. Selama di Yogyakarta, aku tinggal di rumah kakak pertamaku yang juga dosen di UGM. Aku tinggal di rumah sederhananya bersama keluarga kecilnya, kakak iparku dan kedua putera-puterinya.
Dua hari yang lalu Aulia mengirimkan sebuah pesan lewat sms padaku. Ia menanyakan kesibukan baruku, di mana aku tinggal, juga bagaimana kabarku. Aku membalas smsnya, menjawab pertanyaannya. Aku katakan yang sejujurnya, beserta alamatku tinggal sekarang. Tak lupa aku juga tanyakan bagaimana kabarnya, juga kukirimkan do’a padanya. Semoga ia selalu sehat dan kuliahnya segera rampung, semoga ia mulai mengenakan jilbab dan segera menjadi dokter cantik yang berjilbab.
Tiga tahun berlalu, tak terasa S2ku telah selesai. Aku diterima menjadi dosen di salah satu kampus swasta yang terkenal di Yogyakarta, UMY. Sementara aku mengontrak sebuah rumah di dekat UMY, sambil menabung agar sesegera mungkin bisa membeli rumah sendiri. Selama ini komunikasiku dengan Aulia terus berlanjut, sebatas menanyakan kabar dan kesibukan lewat sms, sesekali juga lewat telefon singkat. Aulia juga telah lulus dan menyandang gelar dokter muda. Sekarang ia menjadi dokter umum di sebuah rumah sakit umum di Jakarta. Rumahnya memang di Jakarta, ia tinggal di sana bersama Ayah dan Ibunya. Ayah Aulia adalah seorang dokter senior di rumah sakit tempat Aulia berkerja saat ini. Setelah sampai di rumah kontrakanku sepulang mengajar, aku berniat untuk menelfon Aulia. Ayah Ibuku dan juga kakakku selalu bertanya kapan aku akan menikah, umurku memang sudah cukup matang untuk menikah.
“Assalamualaikum Bu Dokter hehehe, gimana kabarnya?” aku mengawali pembicaraan di telefon.
“Waalaikumussalam Pak Dosen, alhamdulillah sehat selalu. Semoga Pak Dosen di Yogyakarta juga sehat selalu ya, semangat mengajarnya Pak! Hehe” jawabnya dengan suara yang sungguh menyejukkan hatiku. Rasa lelah di badanku lenyap mendengar suaranya.
“Alhamdulillah, dijaga kesehatannya ya Bu Dokter, jangan sampai kesehatan sendiri terlupa karena sibuk menyehatkan orang lain ya?” kami tertawa pelan, “Oh iya kebetulan minggu depan saya ada diklat di Jakarta, bisa mampir ke rumah?” aku melanjutkan.
“InsyaAllah selalu sehat Bapak hehehe, loh dengan senang hati saya dan keluarga menerima Pak Dosen Bagus di rumah, malah kami menunggu-nunggu lo hehehehe”
“Alhamdulillah, tunggu ya Bu Dokter. Saya juga mau mengobati hati saya pada Bu Dokter Aulia hehehe” kami bercanda ceria, menghapus rindu dalam telefon singkat beberapa menit itu.
Hari ini aku sudah berada di Jakarta untuk mengikuti diklat selama beberapa hari ke depan. Setelah diklatku selesai, aku dan orang tuaku akan berkunjung ke rumah Aulia untuk melamarnya, aku juga sudah mengatakan rencanaku ini pada Aulia. Beberapa hari yang lalu pun aku telah berunding dengan Ayah dan Ibuku. Orang tuaku telah datang dari Depok. Setelah Isya’ aku dan orang tuaku menaiki mobil menuju ke rumah Aulia, tadi sore ia mengirim alamatnya lewat sms. Kebetulan sekali alamat rumahnya tak jauh dari lokasi diklatku, tak sampai setengah jam aku sampai di depan rumahnya. Betapa kaget dan terpesonanya aku saat melihat Aulia berdiri di depan rumah memakai gamis dan jilbab merah hati yang aku berikan beberapa tahun yang lalu. Masih sangat bagus, sepertinya ia menyimpan itu dengan baik. Sungguh cantik Aulia malam ini, dengan pakaian yang menutupi auratnya. Ternyata semenjak aku pindah ke Jogja, Aulia mulai berhijrah. Sejak saat itu, jilbab tak pernah lalai ia kenakan. Aku terharu dan sangat bahagia melihatnya yang begitu anggun memakai jilbab.
 Keluarganya menyambut kedatangan kami dengan sangat santun. Ayahku menyampaikan maksud kedatangan kami pada Ayah Aulia, hatiku berdebar tak karuan. Akhirnya malam ini juga Aulia dan Ayahnya langsung memberi jawaban, lamaranku diterima. Malam ini juga kami menentukan tanggal akad nikah dan resepsi pernikahanku dengan Aulia. Kami menetapkan minggu depan, Senin malam aku dan Aulia diakadnikahkan di Masjid Baitul Hikmah, dekat rumah Aulia.
**
Senin malam. Waktu yang dinanti-nanti pun tiba. Malam ini aku akan dinikahkan dengan Aulia, gadis cantik yang kukenal saat kuliah di Bogor. Gadis yang memikat hatiku, membuatku terpesona dan gandrung untuk mencintainya. Gadis tak berjilbab yang akhirnya mulai memakai jilbab karenaku. Aulia, yang mulai terpesona dengan suara adzanku. Aulia, dokter muda yang cantik dan anggun dengan jilbabnya.
Seluruh keluarga dari kedua belah pihak telah berkumpul di dalam Masjid Baitul Hikmah. Hatiku bahagia tak karuan, gemetar menggelegar, tak menyangka akhirnya do’aku dikabulkan oleh Tuhan. Aku diakadnikahkan dengan Aulia. Tanganku menggenggam tangan Ayah Aulia. Penghulu mulai mengucap kalimat akad nikah. Aku pun menjawab;
“Saya terima nikahnya Aulia Herlambang binti Aji Herlambang dengan satu buah jilbab, seperangkat alat sholat, dan uang yang disebutkan dibayar tunai.”

SELESAI
Yogyakarta, 29 Oktober 2015

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.