Selasa, 20 Oktober 2015

Aku Bukan Mantan Santri

Cerpen renungan penggugah para santri



Tak terasa sudah hampir enam tahun aku hidup di pondok ini, pesantren ini. Aku teringat enam tahun yang lalu saat aku memutuskan untuk meneruskan pendidikanku di dunia pesantren, tepatnya Pesantren Cemani ini. Sesuai tepat di mana pondok ini berada, pondok al-Ikhlas yang berada di desa Cemani; Solo.


Jauh sebelum itu, aku bersekolah di sebuah sekolah dasar Islam di Madiun, SDIT al-Hujjah. Tentu saja salah satu alasan mengapa selanjutnya aku memilih untuk meneruskan ke pesantren ialah karena guru-guruku yang selalu merekomendasikan itu padaku, pada teman-temanku siswa kelas enam di sekolah. Selain itu, banyak pula teman-teman sekelasku, sahabat karibku yang memiliki cita-cita meneruskan pendidikannya di pesantren. Memilih jalan hidup sebagai seorang santri. Itulah yang selalu memotivasiku saat itu.

“Anak-anak, sebentar lagi kalian akan lulus dari SDIT al-Hujjah ini. Apakah kalian sudah punya gambaran akan melanjutkan sekolah di mana?” tanya pak Asri, guru agamaku di sekolah.
Sebagaimana biasanya anak-anak, siswa sekolah dasar, setelah mendengar pertanyaan semacam  itu, banyak dari kami yang lantas ramai. Berdiskusi dengan teman sebangkunya. Termasuk aku. Aku melihat ke sekelilingku, semua ramai, sibuk dengan teman sebangku pun juga teman kanan-kiri maupun depan-belakangnya. Hanya satu orang yang aku lihat diam, tangannya bersedekap di atas meja, pandangannya tajam mengarah ke depan. Dengan penuh keyakinan, tangan kanannya ia angkat.
“saya mau mondok pak!” dengan begitu polosnya, si Faris, salah satu sahabatku berteriak dengan sangat lantang. Suaranya menyingkirkan semua kegaduhan yang ada. Semua mata tertuju padanya, termasuk pak Asri yang kemudian berjalan menghampirinya yang duduk tepat di belakangku.
“kenapa kamu mau mondok ris? Bukannya lebih enak tinggal di rumah, bisa main nitendo?” tangan kanan pak Asri memegang bahu Faris yang khas dengan peci hitam dengan pernak-pernih warna emasnya.
“saya mau pintar agama pak, menjadi guru agama seperti pak Asri.”
“lho kenapa?”
“kata pak Asri ilmu yang diajarkan bisa menolong orang tua masuk ke surga!” jawab Faris lugu. Jawaban yang mungkin tak pernah kami pikirkan. Faris memang termasuk siswa yang paling pintar di kelas, ia juga pintar pidato. Farislah andalan kami saat kelas kami ditunjuk untuk memberikan kultum setelah sholat dhuhur berjamaah di masjid sekolah.
“wah seratus buat Faris! Yang lain gimana?”
Dhana yang duduk di pojok kanan paling depan ikut angkat tangan, “saya mau sekolah di SMP 1 pak. Biar bisa membantu ibu setiap pagi.”
Selanjutnya satu-persatu dari kami pun ikut angkat tangan, menyebutkan ingin kemana kami setelah lulus dari SDIT ini. Termasuk aku yang ingin melanjutkan ke pondok seperti Faris.

Aku telah bersahabat dengan Faris sejak kelas satu, kebetulan dulu kami juga sekolah di TK yang sama. Persahabatanku dengan Faris terus berlanjut hingga sekolah dasar, hingga saat ini.

Setelah hari itu teman-teman sekelas selalu membicarakan mau kemana setelah lulus dari SDIT ini. 
Dari 28 teman di kelas, ada 15 anak yang akhirnya meneruskan ke pondok, putra dan putri. Faris dan beberapa temanku yang lain meneruskan ke salah satu pondok yang terkenal di Ponorogo, Pondok Pesantren Darussalam. Awalnya aku dan Faris sudah sepakat untuk sama-sama meneruskan ke sana. Tapi ayahku berkeinginan yang berbeda denganku, ayah ingin aku melanjutkan ke pesantren almamaternya, Pesantren Muttaqien yang ada di perbatasan kabupaten Madiun sebelah timur. Alasan utama nya agar aku mudah betah di sana. Selain itu juga agar ayah tak perlu repot-repot kalau saja sewaktu-waktu aku rewel minta dijenguk.

Aku menjalani hari-hari pertamaku di pesantren seperti teman-teman yang lain, juga seperti semua santri di pesantren mana pun. Sangat sulit awalnya aku bisa tenang dan betah di pesantren ini, selalu saja ingin pulang. Sampai-sampai mimpi berada di rumah selalu menemani tidurku. Bulan pertama sampai bulan ketiga sama saja, selalu ingin pulang, sering menangis sendiri saat berada di kamar. Apalagi saat senja datang, saat-saat itulah biasanya di rumah aku bermain dengan teman-teman, sepak bola di lapangan atau juga bersepeda keliling komplek. Andai ayah dan ibu tau aku selalu memimpikan mereka dalam tidurku. Hingga masa-masa itu hanyut ditelan kebiasaan, akhirnya aku mulai senang hidup di pesantren.

Saat ini semua ingatan itu selalu terbingkai rapi dalam memoriku.

Saat di Pesantren Muttaqien itu, selain sekolah agama di Madrasah Diniyah setiap sore hingga malam hari, aku juga sekolah di sekolah formal yang masih satu yayasan dan satu komplek dengan asrama tempatku tinggal. Tsanawiyah Muttaqien namanya. Di pesantren itulah aku memperdalam ilmu agamaku, selain bahasa Arab dan keterampilan pidato, juga hardroh yang aku tak terlalu menyukainya. Banyak ilmu dan pengalaman baru yang aku dapatkan di Pesantren Muttaqien hingga akhirnya aku lulus dari sana.

Setelah lulus dari Pesantren Muttaqien, setelah tiga tahun ini. Ada beberapa pilihan yang bisa aku pilih untuk jalan selanjutnya. Tetap meneruskan di Pesantren Muttaqien di jenjang Aliyahnya, atau melanjutkan ke dunia yang berbeda, seperti pesantren lain atau ke sekolah menengah umum. Sebenarnya selalu terbesit dalam benakku untuk menyusul Faris, melanjutkan ke Pesantren Darussalam Ponorogo. Sebelum akhirnya Yai Adullah, Kyai di Pesantren Muttaqien menyuruhku untuk tetap melanjutkan di Pesantren Muttaqien, atau melanjutkan ke pesantren milik temannya, Pesantren al-Ikhlas Cemani ini yang berada jauh dari rumahku, kota tempatku dibesarkan.

Aku sudah cukup bisa untuk berfikir. Jika aku melanjutkan ke sekolah umum, tentu saja ilmu agama dan bahasa Arab yang selama tiga tahun aku pelajari di pesantren tak dapat lagi berkembang, kecuali atas inisiatifku sendiri untuk mempelajarinya, sendiri. Dengan segala pertimbangan, juga atas dasar permintaan orang tuaku. Aku memilih untuk merantau ke Solo, melanjutkan ke Pesantren al-Ikhlas Cemani yang berbeda dari Pesantren Muttaqien. Pesantren al-Ikhlas sudah menggunakan metode modern dalam pengajarannya, seperti Pesantren Darussalam tempat Faris belajar. Karena Pesantren Muttaqien sendiri masih menggunakan metode klasik dan tradisional dalam sistem pengajarannya, hanya mengkaji berbagai kitab, teori-teori keagamaan dan kebahasaaraban dari kitab-kitab kuning. Di pesantren sekelas Darussalam dan al-Ikhlas ini santrinya dituntut untuk aktif berbahasa asing, selain bahasa Arab, juga bahasa Inggis. Aku bisa langsung praktek jika meneruskan ke Pesantren al-Ikhlas, pikirku saat itu. Akhirnya tekadku bulat, aku memilih untuk melanjutkan ke Pesantren al-Ikhlas Cemani.

Tiga tahun yang kujalani di al-Ikhlas ini memang sangat berbeda dengan tiga tahun yang kujalani di Muttaqien. Bila di Muttaqien aku jarang mendapatkan hukuman atas kesalahanku sebagai santri di sana, di al-Ikhlas ini aku lebih sering mendapat hukuman. Bahkan aku pernah dihukum gundul sebagai konsekuensi atas kesalahanku melanggar peraturan pondok. Dari hal kecil, telat bangun, telat datang ke masjid, tidak menggunakan bahasa Arab atau Inggris saat berkomunikasi di dalam pesantren, bahkan makan tidak habis pun semua mendapat hukuman. Memang pesantren modern seperti ini terkenal lebih ketat dan menuntut santrinya untuk lebih disiplin.

Dengan perbedaan tradisi kepesantrenan yang aku lewati ini, awalnya aku sangat keberatan dan berkali-kali rasanya ingin keluar, pindah sekolah. Beberapa kali aku menangis, meminta ayah untuk menjemputku pulang. Kembali ke pesantren yang lama, Pesantren Muttaqien. Tak jarang ayah dan ibuku marah saat aku rewel seperti itu.

Bukan hanya aku saja yang merasa tak betah dan ingin pindah, banyak temanku yang merasakan hal yang sama. Bahkan hingga mereka kabur dari pondok walau hanya sekedar keluar beberapa jam atau semalam dari pondok, biasanya pergi ke warnet sekedar membuka facebook dan mendengarkan musik. Itu saja sudah sangat menghibur rasanya. Tapi jika ketahuan, akibatnya bisa fatal. Dihukum gundul. Maka tak heran jika beberapa santri di sini kepalanya plontos, mereka terlalu berani melanggar peraturan pondok. Aku tak seberani mereka, sekali dua kali aku digundul bukan karena pelanggaran seperti itu, aku terlalu sering melanggar bahasa. Walaupun  aku suka bahasa Arab, aku sering menggunakan bahasa Jawa di pesantren, tentu saja tanpa sepengetahuan departemen bahasa di pondok, yang mengurus perihal bahasa di pondok.

Sudah lama sekali aku tak berjumpa dengan Faris. Apakah di  pesantrennya ia juga merasakan hal yang sama sepertiku? Ketidakbetahan? Tidak krasan?

Akhirnya al-imtihan al-akhir al-ma’had atau ujian akhir kepondokan pun tiba. Tak terasa tiga tahun sudah aku berada di sini, Pesantren al-Ikhlas. Sesuai dengan namanya, selama tiga tahun ini aku benar-benar dituntut untuk belajar ikhlas dan sabar, sebagai seorang santri. Banyak ilmu dan pengalaman yang sangat berharga aku dapatkan dari pesantren ini, juga pesantren tempatku belajar sebelumnya, Pesantren Muttaqien. Ilmu dan pengalaman yang tak mungkin didapat oleh mereka yang belajar di sekolah-sekolah umum. Selain ilmu agama dan kebahasaaraban, para santri di pesantren, pesantren mana pun itu, pasti mendapat pelajaran lebih. Pelajaran kebersamaan dan kehidupan.

Tentu saja langkahku sebagai seorang santri tidak begitu saja terhenti selepas aku melepas peci, sarung, juga baju gamis yang biasa aku dan para santri kenakan di pesantren. Setelah keluar dari pesantren nanti, aku dan santri lain di mana pun itu dituntut untuk tetap menjadi santri. Mengamalkan dan mengajarkan ilmu-ilmu yang kami dapatkan di pesantren. Menjadi lilin-lilin di tengah kehidupan yang begitu penuh gelap dan sesak ini.

Aku adalah santri, selamanya pun akan tetap menjadi santri. Tidak ada istilah mantan santri. Kau tau betapa berat dan berartinya para kaum santri menyandang status sebagai seorang santri?  Kata santri berasal dari kata ‘cantrik’ (bahasa sansekerta atau jawa), yang berarti orang yang selalu mengikuti guru. Sedang versi yang lainnya menganggap kata ‘santri’ sebagai gabungan antara kata ‘saint’ (manusia baik) dan kata ‘tra’ (suka menolong). Sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik.

Saat ini aku telah lulus dan keluar dari pesantren, tapi nama santri masih terpatri dalam diriku. Ada yang salah dari persepsi orang-orang mengenai pesantren, beberapa orang menganggap bahwa pesantren adalah alternatif dan jalan keluar jika seorang anak nakal, biar tak lagi nakal. Walau bisa juga seperti itu. Tapi bagi kami para santri, pesantren bukanlah tempat para anak-anak nakal yang tak bisa dikendalikan oleh orang tuanya. Pesantren bukan hanya bagai penjara tempat memenjarakan anak-anak yang sulit diatur. Pesantren dalam wajah sebenarnya adalah bagaikan sumur air di tengah padang pasir. Tempat diproduksinya lilin-lilin penerang umat manusia. Tempat ditempanya para penerus ulama’ amilin fii sabiilillah. Penjara suci yang fungsinya selalu dinanti setiap peradaban.

Untukmu dan mereka para santri. Jadilah pencerah di tengah gulat zaman yang semakin redup dan membutuhkan penerangan. Jadilah sosok-sosok tangguh yang tak pernah lelah membawa manusia menuju ke arah kebaikan. Jadi pejuang yang tak pernah pantang menghadang segala wabah yang mengotori dan menjangkiti kehidupan. Santri selamanya adalah santri, tak akan jadi mantan santri!


Yogyakarta, 20 Oktober 2015

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.