Selasa, 27 Oktober 2015

TERORIS

Cerpen Mohammad Irfan Anas



AKHIR-akhir ini sebuah isu mencuat ke udara. Bagai angin kencang yang menggiring dedebuan, semua media gencar menjadikan isu ini sebagai trending topic dan isu utamanya. Terorisme. Akibat isu ini,  umat Islam dijadikan sebagai kambing hitam. Sederetan nama pesantren, yayasan, dan lembaga pendidikan Islam dicurigai sebagai kandang dan pencetak teroris. Termasuk Pesantren Darul Mujahidin yang berada di pinggiran kota Solo, tak lepas dari tudingan dan fitnah itu. Bukan tanpa alasan, beberapa waktu yang lalu terjadi sebuah bom bunuh diri di sebuah hotel di Jakarta. Salah satu dari tiga pelakunya diduga jebolan Pesantren Darul Mujahidin. Sejak saat itulah, banyak mata-mata media dan intelejen negara termasuk densus 88 dari aparat kepolisian negara mengintai segala aktivitas di dalam Pesantren Darul Mujahidin.




**

Sore itu, seperti biasanya Nizam berkeliling kampung sekitar pesantren menaiki sepeda jengkinya. Setiap sore, Nizam memang bertugas berkeliling komplek pesantren dan kampung untuk memeriksa kalau-kalau ada santri mbeling yang keluar asrama tanpa izin. Nizam adalah salah satu Ustadz muda di Pesantren Darul Mujahidin. Baru tahun lalu ia lulus dari pesantren itu. Semenjak lulus ia mengabdikan diri sebagai Ustadz yang mengajar di sana. Selain mengajar mata pelajaran Fikih, Nizam juga memegang amanah sebagai ketua bagian keamanan pesantren. Jadi wajar jika setiap hari dan sore, termasuk sore itu ia bertugas berkeliling kampung sekitar pesantren, memastikan keamanan di lingkungan Pesantren Darul Mujahidin.

“Eh awas ada Ustadz Nizam menuju ke arah sini, kita ngumpet aja dulu di gang itu” ujar Hanan, salah satu santri yang saat itu sedang keluar pesantren tanpa izin.
“Aduh gimana kalo ntar kita ketahuan Nan? Rambutku baru aja tumbuh masak iya harus digundul lagi?!” timpal Ghazi khawatir.
“Udah tenang aja Zi, aman kalo sama aku, aku ahlinya ngumpet”
Kedua santri mbeling itu pun segera mengendap berjalan ke sebuah gang sempit yang ada di depannya.
“Assalamualaikum! Dari mana mau ke mana kalian anak-anak pintar?” gertak Nizam mengagetkan kedua santrinya itu.
“Emmm emmmm tadi cuma beli sabun cuci Tadz, di koperasi pesantren stok sabun cucinya habis, makanya kami keluar Tadz” jawab Ghazi gemetar, terkejut dan bertanya-tanya bagaimana bisa Ustadznya itu tahu kalau ia dan Hanan bersembunyi di situ.
“Udah ayo sekarang segera kembali ke asrama, Ustadz tunggu di kantor ya!”
Segera kedua santri itu berlari terbirit-birit menuju asrama, dikejar Ustadz mereka yang dengan tenang mengendarai sepeda jengkinya. Hukuman telah menanti mereka berdua di kantor asrama pesantren.

Hampir sering, Nizam memergoki santri yang keluar asrama tanpa izin seperti itu. Biasanya ia memberi hukuman dengan membersihkan kamar mandi asrama selama tiga hari kepada santri-santri bandel seperti itu. Jika sudah kelewat batas, biasanya ia menghukum santri dengan menggundul rambutnya.

**

Tuliluliiit.... hp Nizam berdering beberapa kali, ada telfon masuk. Nizam yang pagi itu tengah muroja’ah (mengulang hafalan Qur’an), mengabaikan telfon itu. Biasanya saat pagi seusai subuh seperti itu beberapa orang tua wali menelfonnya, menanyakan kabar anaknya di pesantren. Nizam membiarkan hpnya berdering, “nanti sajalah biar kuselesaikan dulu muroja’ahku, mungkin itu wali santri yang menelfon” gumamnya dalam hati. Derrrr.... derrrr.... hpnya kembali berdering, kali ini ada sms masuk. Setelah ia selesai muroja’ah, segera ia mengambil hpnya dan segera melihat siapa yang barusan menelfon dan mengirim sms padanya. Setelah ia melihat daftar panggilan, ternyata ibunya yang baru saja menelfon. Kemudian ia membuka sms yang masuk.

“Nak telfon ibu ya kalau sudah tidak ada kesibukan” ternyata ibunya yang mengirim sms, mungkin karena Nizam tak sempat mengangkat telfon ibunya. Setelah membaca sms itu, segera Nizam melangkah ke balik almari-almari di kamar Ustadz yang tertata rapi. Di balik almari-almari itu ada ruang yang biasa digunakan ia dan teman-temannya sebagai Ustadz muda di pesantren untuk membaca buku atau menggarap tugas sebagai Ustadz di pesantren. Nizam segera menelfon ibunya.

“Assalamualaikum ibu”
“Wa alaikumussalam nak, tadi masih ada kegiatan ya di pesantren? Kok telfon ibu nggak kamu angkat?”
“Tadi Nizam masih baca Qur’an bu, ngulang hafalan.  Ayah sama ibu sehat kan di rumah?”
“Alhamdulillah, ibu kira kamu lagi ngurus santri kamu. Sehat nak ayah ibu, Nizam sehat?
“Alhamdulillah, Nizam juga sehat bu. Ada apa bu kok tumben nelfon Nizam pagi-pagi? Biasanya malam ibu nelfonnya”
“Kamu sudah baca koran atau lihat televisi akhir-akhir ini nak?” nada bicara ibunya sedikit melirih, tampak ada kecemasan dalam diri ibunya.
“Ibu pasti khawatir ya dengan pemberitaan di media-media yang memberitakan pesantren Nizam? Bom bunuh diri yang beberapa waktu lalu terjadi sebenarnya bukan ulah alumni pesantren bu. Abu Nuas salah satu pelakunya yang dikatakan sebagai alumni pesantren sebenarnya bukan alumni bu, sebenarnya kakak dari Abu Nuas yang alumni pesantren. Media saja yang akhirnya melebih-lebihkan pemberitaan dan menuding pesantren terlibat dalam kejadian itu. Ibu ayah dan keluarga tenang ya, InsyaAllah Nizam baik-baik saja. Pesantren juga baik-baik saja kok bu” belum sempat ibunya menyampaikan unek-uneknya pada Nizam, ia bisa menebak apa yang ibunya khawatirkan dari nada bicaranya.
“Ibu sebenarnya tahu nak kalau pesantren tidak mungkin terlibat dalam kejadian itu, makanya dulu ibu menitipkan kamu ke pesantren, ke pimpinan pesantrenmu, Ustadz Basyir. Walau begitu tetap saja ibu khawatir terjadi apa-apa padamu, pada para santri dan Ustadz di pesantren. Media saat ini terlalu buas memberitakan aksi terorisme, memberitakan kejadian bom bunuh diri di Jakarta beberapa waktu lalu. Nizam tetap hati-hati ya di pesantren, ibu percaya Nizam dan warga pesantren tidak mungkin melakukan perbuatan-perbuatan buruk, apalagi terorisme seperti itu” setelah cukup Nizam dan ibunya berbincang di udara lewat telfon, Nizam segera mengakhiri telfonnya. Jam masuk sekolah di pesantren telah tiba, Nizam ada jam mengajar pagi ini. Segera setelah itu, ia segera bergegas bersiap diri untuk mengajar.

**

Jam makan malam bagi santri dan para ustadz telah tiba. Setelah sholat jama’ah Isya’ di masjid, segera para santri antri di loket-loket pembagian makan yang ada di dapur umum pesantren. Para Ustadz muda pun tengah menikmati hidangan makan malam yang dimasak ibu-ibu dapur umum. Para Ustadz itu biasa makan di satu ruangan khusus untuk makan Ustadz di samping dapur umum, samping tempat makan para santri.

“Zam antum dipanggil Ustadz Basyir di rumah beliau, ada perkara mendesak yang ingin beliau sampaikan pada antum!” kata Malik, teman seangkatannya di pesantren yang juga menjadi Ustadz muda di pesantren.
“Loh ada apa Lik? Jarang-jarang Ustadz Basyir manggil ana. Oke habis ini ana segera ke sana. Syukron ya Lik” segera setelah usai makan malam, Nizam berjalan cepat menuju ke rumah Ustadz Basyir yang ada di samping masjid pesantren, lima puluh meter dari asrama tapi masih dalam satu komplek pesantren yang dikelilingi pagar-pagar tinggi dan besar. Di samping rumah Ustadz Basyir berjejer rumah-rumah pimpinan pesantren dan Ustadz senior pesantren lainnya.

Tok..tok...tok... “Assalamualaikum Ustadz?” Nizam mengetuk pintu rumah Ustadz Basyir dan mengucap salam. Saat itu pintu rumah Ustadz Basyir terbuka, terlihat di ruang tamu telah ada beberapa pembesar pesantren seperti pimpinan pesantren dan beberapa Ustadz senior telah berkumpul dan duduk lesehan di sana.

“Alaikumussalam” jawab para Ustadz yang ada di dalam serentak, “silahkan masuk Ustadz Nizam” sahut Ustadz Basyir yang duduk di tengah-tengah para hadirin saat itu.
Segera Nizam melepas sandalnya dan menatanya di depan teras di dekat sandal-sandal Ustadz yang lain. Nizam masuk ke dalam rumah, melangkahkan kakinya ke ruang tamu di balik pintu depan rumah Ustadz Basyir. Pandangannya mengarah ke satu-persatu Ustadz yang ada di ruang tamu. 

Dengan perasaan setengah kaget ternyata para pembesar pesantren yang ada di situ, ia segera menyalami satu-persatu, lalu duduk di ujung hadirin. Ada tujuh orang yang telah berkumpul saat itu, diantaranya; Ustadz Basyir, Ustadz Hakim, Ustadz Yahya, Ustadz Ibrahim, Ustadz Sholeh, Ustadz Ali, dan dirinya sendiri yang paling muda di antara mereka.

“Jadi begini Ustadz Nizam, antum sudah tahu kan isu yang menyebar di tengah masyarakat saat ini? Isu yang diberitakan media-media terkait pesantren kita?” dengan tenang, Ustadz Basyir mengawali pembicaraan.
“Alhamdulillah sudah Ustadz, kebetulan tadi pagi ibu saya juga menelfon saya, kami juga membicarakan itu”
“Ini ada yang lebih urgent lagi Ustadz Nizam, media semakin keras menggigit pesantren kita lewat pemberitaannya. Selain pesantren kita ini yang diduga menjadi sarang dan pencetak embrio terorisme, ada beberapa nama yang dituding sebagai terduga teroris. Salah satu dari nama-nama itu, ada satu nama Ustadz di pesantren kita ini” Ustadz Sholeh sebagai ketua kesantrian ikut berkomentar, memberikan penjelasan singkat pada Nizam yang baru saja hadir. Sebelum Nizam datang, para pembesar pesantren yang ada di situ telah terlebih dahulu membicarakan permasalahan itu.
“Innalillahi, bagaimana bisa Ustadz? Lantas siapa satu nama itu Ustadz?” tanya Nizam penasaran.
“Sebelumnya Ustadz Nizam tak usah kaget, juga tak perlu khawatir, InsyaAllah kami selaku pimpinan pesantren akan menyelesaikan permasalahan ini sebelum media terlalu liar dan memelintir berita lebih keras lagi”
“InsyaAllah Ustadz”
“Jadi tadi pagi di beberapa koran memberitakan aksi terorisme beberapa waktu yang lalu dan memperluas pemberitaannya dengan mencamtumkan beberapa nama yang dituding sebagai terduga teroris, entah bagaimana media-media itu bisa menyimpulkan berita seperti itu sampai-sampai menyebar fitnah besar. Nama antum, Nizam Mirza salah satu yang tercantum di sana. Selain itu beberapa televisi juga mulai memberitakannya”
“Astaghfirullah, apa yang telah saya lakukan sehingga saya difitnah sekejam ini Ustadz?” bulir air mata mulai mengalir keluar dari kedua mata Nizam, ia tak percaya bagaimana bisa namanya dituding sebagai terduga teroris.
Ustadz Basyir kembali berbicara, berusaha menenangkan hati dan pikiran Nizam yang saat itu mulai tak karuan, “untuk sementara antum tidak usah keluar komplek pesantren dulu, segala urusan dan tugas antum di luar pesantren biar digantikan Ustadz muda yang lain sampai keadaan mulai kondusif. Sebelumnya kami telah membicarakan hal ini, juga memikirkan solusi yang akan pesantren tempuh. Demi menunjukkan fakta yang sebenarnya bahwa pesantren sama sekali tidak terlibat apa pun dalam aksi-aksi terorisme yang telah terjadi beberapa waktu lalu itu. Membersihkan kembali nama pesantren kita, juga pesantren-pesantren lain, nama umat Islam, juga tentunya nama antum, Ustadz Nizam” setelah berdiskusi dalam suasana yang cukup tegang dan penuh haru, akhirnya pembicaraan malam itu mencapai beberapa keputusan dan solusi yang akan pesantren lakukan.

Suasana pesantren mulai menegang. Santri untuk sementara tidak diperbolehkan keluar dari komplek pesantren hingga permasalahan dapat teratasi. Semua tugas Nizam di luar komplek pesantren telah dilimpahkan pada Ustadz Malik dengan senang hati. Para wali yang khawatir pada anak-anaknya pun berdatangan ke pesantren dan langsung ditemui oleh Ustadz Basyir. Begitu pula para awak media yang tak pernah absen mengeruk informasi-informasi dari Pesantren Darul Mujahidin, Ustadz Basyir dan beberapa pimpinan pesantren yang secara langsung menanggapi mereka, mengklarifikasi dan menunjukkan fakta yang sebenarnya. Bahwa Pesantren Darul Mujahidin sama sekali tidak terlibat dalam aksi-aksi terorisme. Beberapa densus 88 pun juga selalu bergantian mengawasi tiap aktivitas di dalam Pesantren Darul Mujahidin.

**

Sudah sebulan berlalu sejak pemberitaan nama Nizam dan beberapa nama lain di media, nampaknya media tak pernah mengindahkan dan mendengarkan apa yang disampaikan para pimpinan pesantren. Media telah banyak mengeruk keuntungan dari pemberitaan-pemberitaan tentang terorisme itu. Fakta yang sebenarnya ada, bahwa Pesantren Darul Mujahidin sama sekali tidak terlibat dalam segala bentuk terorisme yang terjadi juga tak pernah diberitakan. Yang ada, media-media semakin liar dan buas memberitakan fitnah terhadap Pesantren Darul Mujahidin, umat Islam, juga nama Nizam dan nama-nama terduga teroris lain. Bahkan nama-nama itu saat ini telah menjadi DPO dan dikejar-kejar oleh polisi, oleh Densus 88.

**

Di kampung halaman Nizam pun telah ramai lalu lalang wartawan dan densus 88. Berita begitu cepat berhembus, bagai debu yang diterpa angin dan menyebar ke setiap permukaan. Keluarga Nizam tengah dirundung kemelut. Nizam, anak kedua dari tiga bersaudara di keluarganya itu kini telah menjadi korban fitnah, korban media yang begitu kejamnya. Semua anggota keluarga begitu mengkhawatirkan keselamatan Nizam yang bisa saja tiap saat dalam bahaya. Mereka tahu bahwa Nizam tak pernah terlibat dalam aksi terorisme, juga tak pernah punya niatan akan melakukan aksi-aksi tak manusiawi seperti itu.

Di Pesantren Darul Mujahidin Nizam dikenal sebagai santri dan Ustadz muda yang pandai dan shaleh. Keshalehannya tergambar dari perilaku, ucapan, juga pakaian yang ia kenakan selama ini. Jidatnya membekas hitam, menandakan ketaatannya dalam beragama, menandakan kebiasaan bersujudnya. Kemana pun gamis warna putih tak pernah lepas dari tubuhnya. Celananya yang cingkrang di atas mata kaki, menunjukkan kesederhanaan dan keapaadanyaan pada diri Nizam, ia sangat taat pada agama. Di rak bukunya yang ada di kamar Ustadz muda terjejer rapi buku-buku dan kitab-kitab berbahasa Arab dan Indonesia. Tak ada satu pun buku dan kitab yang berisi tentang radikalisme dan terorisme. Selain itu, Nizam juga memiliki akun facebook, ia selalu menulis kata-kata bijak agamawi, artikel-artikel keislaman, dan status-status yang menjabarkan ayat dan hadits. Tak pernah sekali pun ia menulis tulisan tentang radikalisme dan terorisme. Entah apa alasan media dan pihak kepolisian, densus 88, menyimpulkan bahwa Nizam terlibat dalam aksi terorisme.

Hampir setiap malam Nizam bertelfon dengan sanak keluarganya, ayah ibunya, juga teman-temannya. Sore itu Nizam sedang duduk di salah satu kelas yang ada di sekolah pesantren, ia sedang bercengkerama dengan ibunya lewat telfon. Wajahnya menampakkan ketegaran walau permasalahan besar tengah ia hadapi, senyum tak pernah lepas dari bibir dan wajahnya.

“Ibu dan ayah, juga keluarga besar tidak usah khawatir. Nizam benar-benar tidak pernah dan tidak mempunyai rencana apa pun untuk melakukan aksi kejahatan, apalagi terorisme yang sangat tidak manusiawi itu bu. Biarkan media menyebar fitnah tentang Nizam, Nizam sabar dan tidak takut karena Nizam memang tak pernah dan tak akan melakukan tindakan yang merugikan siapa pun”
“Ibu percaya nak pada Nizam, sholat malam dan puasa sunnahnya jangan pernah terlewat ya. Minta pada Allah, InsyaAllah pertolongan segera datang untuk Nizam, untuk pesantren dan umat Islam”
“InsyaAllah bu, doanya ya bu buat Nizam. Semoga keluarga besar di rumah selalu diberi ketabahan dan kekuatan menghadapi segala permasalahan, segala fitnah yang menimpa Nizam dan keluarga”
Sepertinya sore itu adalah kali terakhir Nizam mendengar suara ibunya. Terakhir kalinya ibunya mendengar suara Nizam.

**

Malam semakin larut, Nizam masih begitu mengingat suara dan nasehat yang disampaikan ibunya beberapa jam yang lalu. “InsyaAllah semua akan berakhir dengan baik!” ia meyakinkan dirinya sendiri. Malam itu di saat semua santri tengah terlelap dalam tidurnya. Para pimpinan pesantren, Ustadz senior, dan Ustadz muda berkumpul di dalam masjid, ada Nizam di tengah-tengah mereka. Mereka tengah berunding, membicarakan permasalahan yang serius. Di depan pesantren telah berjaga beberapa densus 88, mengintai aktivitas di dalam komplek pesantren. Para densus itu tak pernah diizinkan untuk masuk tanpa pengawalan pimpinan pesantren. Mereka disediakan tempat untuk istirahat di salah satu kamar yang ada di ruang tamu pesantren yang berada tepat di bagian paling depan komplek pesantren, di samping gerbang masuk pesantren. Mereka masih mengincar Nizam, dan hendak menculik Nizam saat pengawasan pihak pesantren tengah lengang.

Seusai berkumpul dan berunding membicarakan permasalahan yang dihadapi pesantren Darul Mujahidin dan fitnah yang menimpa salah satu Ustadznya, Nizam. Seperti biasa Nizam melakukan shalat malam di dalam masjid, biasanya ia ditemani beberapa Ustadz muda yang lain termasuk Ustadz Malik. Namun malam itu hanya Nizam yang ada di dalam masjid, karena Ustadz muda yang lain, juga para pimpinan pesantren dan Ustadz senior tengah berbagi tugas demi menyelesaikan permasalahan yang menimpa Pesantren Darul Mujahidin. Seusai sholat, Nizam menangis tersedu dalam doanya, ia tengah berkomunikasi dengan Tuhannya, meminta yang terbaik padaNya. Nizam melangkahkan kaki keluar dari dalam masjid hendak kembali ke asrama. Ia harus segera makan sahur sebelum fajar dan subuh menjelang. Nizam hendak berpuasa hari ini.

Dooorrrrrrrr!!! Suara kencang itu mematahkan kesunyian malam. Beberapa santri terbangun oleh suara itu dan bergegas memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Ustadz Basyir, Ustadz Malik dan semua Ustadz yang ada di komplek pesantren juga menuju ke arah suara kencang itu berasal. Semua yang ada di sana tercengang dengan apa yang mereka saksikan saat itu. “Ustadz Nizam tertembak!” teriak salah seorang santri.

Di depan masjid, tubuh Nizam terbaring dengan tembakan di dadanya, darah perlahan mengalir membercak  gamis putih yang biasa ia pakai. Di tengah keramaian, berlari seorang berpakaian serba hitam dan bertopeng ‘kethu’ hitam yang menenteng laras panjang. Segera Ustadz Malik mengejar pria serba hitam itu, namun si pria serba hitam itu berlari sangat kencang, “ayo segera cabut, target sudah beres!” ujar pria hitam itu pada temannya yang sudah siap mengendarai sebuah motor trail. Kedua orang itu segera lalang dengan gesit meninggalkan komplek pesantren. Ustadz Malik tak berhasil mengejar pria serba hitam itu. Ternyata pria itu adalah salah satu anggota densus 88 yang berhasil masuk ke dalam komplek pesantren. Nizam dinaikkan ke dalam mobil pesantren, dengan  ditemani beberapa Ustadz di dalam mobil, ia segera dilarikan ke Rumah Sakit  Yarsis yang tak jauh dari Pesantren Darul Mujahidin. Namun sayang, setelah beberapa saat ditangani beberapa tim medis UGD Rumah Sakit Yarsis, nyawa Nizam tak berhasil diselamatkan. Darah yang keluar dari lobang tembakan di dadanya terlalu banyak mengucur keluar. Senyum merekah di bibir Nizam, aroma wangi menyapu kepedihan di antara para Ustadz yang saat itu mengantarnya ke Rumah Sakit Yarsis. Pesantren Darul Mujahidin tengah dilanda kepedihan yang mendalam, ditinggal pergi oleh salah satu Ustadz terbaiknya.

“InsyaAllah syahid, Ustadz Nizam khusnul khatimah!” ujar Ustadz Basyir yang saat itu memimpin doa untuk Nizam. Tubuhnya segera dibawa ke pesantren untuk dimandikan, dikafani, lalu dishalatkan oleh para santri dan seluruh warga Pesantren Darul Mujahidin.

Ustadz Malik segera menghubungi keluarga Nizam di kampung halamannya. Ibu dan keluarga besarnya di rumah kaget tak menduga, Nizam, anaknya yang penurut dan tidak neko-neko itu telah pergi menemui Tuhannya melalui jalan ketidakadilan. Seumur hidupnya, Nizam tak pernah terlibat dalam aktivitas-aktivitas radikalisme dan terorisme. Nizam hanyalah seorang santri polos yang kemudian mengabdikan dirinya mengamalkan dan mengajarkan ilmu-ilmu yang telah ia dapatkan selama menjadi santri, sebagai seorang Ustadz di Pesantren Darul Mujahidin yang telah menempanya selama bertahun-tahun. Jenazah Nizam paginya segera diantar ke kampung halamannya oleh para pimpinan pesantren, Ustadz, dan beberapa santrinya di Pesantren Darul Mujahidin. Santri yang tak ikut mengantar hanya bisa mengirimkan doa-doa lewat tangis haru dan tetesan air mata kehilangan di wajah-wajah mungil mereka. Langit tampak kehilangan atas meninggalnya Nizam. Dalam ketenangan dan rasa kehilangan yang begitu besar, mobil segera melaju membawa jenazah Nizam ke pelukan ibunya di kampung halamannya.

**

Ribuan orang yang terdiri dari teman-teman SD dan teman-teman kecil Nizam, para sanak keluarga dan handai taulan, para tetangga dan masyarakat, juga sebagian umat Islam telah menunggu kedatangan jenazah Nizam di kampung halamannya. Ayah dan ibunya berdiri di depan rumah menanti anak kesayangannya yang pulang dengan roh telah menemui Tuhannya. Setelah beberapa jam, sederetan mobil dan bis nampak berjalan pelan di jalan menuju ke arah rumah Nizam.

“Alhamdulillah jenazah Nizam telah sampai bu, ayo segera kita jemput dan sholatkan” ayahnya berkata tersedu pelan pada ibunya.

Segera setelah rombongan mobil dan bis dari Pesantren Darul Mujahidin berhenti di depan rumah Nizam, jenazahnya dikeluarkan dan segera dijemput oleh banyak orang lalu dimasukkan ke dalam keranda dan di masukkan ke dalam rumah joglo keluarga Nizam untuk dishalatkan, lalu segera disemayamkan. Rekah senyum di wajah jenazah Nizam dan aroma kasturi yang keluar dari tubuhnya, mengganti suasana sedih dengan suasana kedamaian. Seluruh orang yang ada di sana berkali-kali mengucapkan puji-pujian kepada Tuhan, mengantarkan Nizam ke pelukan dan ampunan Tuhannya. Nizam Mirza yang shaleh itu telah khusnul khotimah di tangan densus 88 yang tanpa bukti telah membredelnya seusai ia menunaikan shalat malam, menemui Tuhannya dalam kekhusyukan. Dan kini Nizam telah benar-benar berjumpa dengan Tuhannya, disambut mesra oleh bidadari-bidadari penjaga taman surgawi.

**

Begitulah kisah Nizam, Nizam Mirza. Santri shaleh yang juga merupakan salah satu Ustadz muda terbaik di Pesantren Darul Mujahidin, meninggal dunia akibat fitnah dari isu terorisme yang menimpanya. Ia hanya terduga teroris yang sama sekali belum dan tidak ada bukti yang membuktikan keterlibatannya dalam aktivitas terorisme. Ia hanyalah santri dan Ustadz muda shaleh dengan gamis dan celana cingkrang semata kakinya. Jidatnya membekas hitam sebagai bukti ketaatannya pada perintah Tuhan, ia hanya sering dan selalu bersujud pada Sang Pencipta. Tanpa aba-aba, tanpa peringatan, tanpa bukti yang jelas dan nyata, densus 88 segera menembakkan timah panas pada dadanya. Senyum merekah pada wajahnya yang berseri. Aroma kasturi yang sangat harum terus memancar dan keluar dari tubuhnya. Ia diantar para malaikat dan bidadari menemui kasih sayang dan ampunan Tuhannya.
Siapa yang sebenarnya adalah TERORIS?


Gubug perjuangan, Yogyakarta 2015.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.