Cerpen
Mohammad Irfan Anas
AKHIR-akhir ini
sebuah isu mencuat ke udara. Bagai angin kencang yang menggiring dedebuan, semua
media gencar menjadikan isu ini sebagai trending topic dan isu utamanya.
Terorisme. Akibat isu ini, umat Islam
dijadikan sebagai kambing hitam. Sederetan nama pesantren, yayasan, dan lembaga
pendidikan Islam dicurigai sebagai kandang dan pencetak teroris. Termasuk Pesantren
Darul Mujahidin yang berada di pinggiran kota Solo, tak lepas dari tudingan dan
fitnah itu. Bukan tanpa alasan, beberapa waktu yang lalu terjadi sebuah bom
bunuh diri di sebuah hotel di Jakarta. Salah satu dari tiga pelakunya diduga
jebolan Pesantren Darul Mujahidin. Sejak saat itulah, banyak mata-mata media
dan intelejen negara termasuk densus 88 dari aparat kepolisian negara mengintai
segala aktivitas di dalam Pesantren Darul Mujahidin.
**
Sore itu,
seperti biasanya Nizam berkeliling kampung sekitar pesantren menaiki sepeda
jengkinya. Setiap sore, Nizam memang bertugas berkeliling komplek pesantren dan
kampung untuk memeriksa kalau-kalau ada santri mbeling yang keluar asrama
tanpa izin. Nizam adalah salah satu Ustadz muda di Pesantren Darul Mujahidin.
Baru tahun lalu ia lulus dari pesantren itu. Semenjak lulus ia mengabdikan diri
sebagai Ustadz yang mengajar di sana. Selain mengajar mata pelajaran Fikih,
Nizam juga memegang amanah sebagai ketua bagian keamanan pesantren. Jadi wajar
jika setiap hari dan sore, termasuk sore itu ia bertugas berkeliling kampung
sekitar pesantren, memastikan keamanan di lingkungan Pesantren Darul Mujahidin.
“Eh awas ada
Ustadz Nizam menuju ke arah sini, kita ngumpet aja dulu di gang itu” ujar
Hanan, salah satu santri yang saat itu sedang keluar pesantren tanpa izin.
“Aduh gimana
kalo ntar kita ketahuan Nan? Rambutku baru aja tumbuh masak iya harus digundul
lagi?!” timpal Ghazi khawatir.
“Udah tenang
aja Zi, aman kalo sama aku, aku ahlinya ngumpet”
Kedua santri mbeling
itu pun segera mengendap berjalan ke sebuah gang sempit yang ada di
depannya.
“Assalamualaikum!
Dari mana mau ke mana kalian anak-anak pintar?” gertak Nizam mengagetkan kedua
santrinya itu.
“Emmm emmmm
tadi cuma beli sabun cuci Tadz, di koperasi pesantren stok sabun cucinya habis,
makanya kami keluar Tadz” jawab Ghazi gemetar, terkejut dan bertanya-tanya
bagaimana bisa Ustadznya itu tahu kalau ia dan Hanan bersembunyi di situ.
“Udah ayo
sekarang segera kembali ke asrama, Ustadz tunggu di kantor ya!”
Segera kedua
santri itu berlari terbirit-birit menuju asrama, dikejar Ustadz mereka yang
dengan tenang mengendarai sepeda jengkinya. Hukuman telah menanti mereka berdua
di kantor asrama pesantren.
Hampir sering,
Nizam memergoki santri yang keluar asrama tanpa izin seperti itu. Biasanya ia
memberi hukuman dengan membersihkan kamar mandi asrama selama tiga hari kepada
santri-santri bandel seperti itu. Jika sudah kelewat batas, biasanya ia
menghukum santri dengan menggundul rambutnya.
**
Tuliluliiit....
hp Nizam berdering beberapa kali, ada telfon masuk. Nizam yang pagi itu tengah muroja’ah
(mengulang hafalan Qur’an), mengabaikan telfon itu. Biasanya saat pagi seusai
subuh seperti itu beberapa orang tua wali menelfonnya, menanyakan kabar anaknya
di pesantren. Nizam membiarkan hpnya berdering, “nanti sajalah biar
kuselesaikan dulu muroja’ahku, mungkin itu wali santri yang menelfon”
gumamnya dalam hati. Derrrr.... derrrr.... hpnya kembali berdering, kali ini
ada sms masuk. Setelah ia selesai muroja’ah, segera ia mengambil hpnya
dan segera melihat siapa yang barusan menelfon dan mengirim sms padanya.
Setelah ia melihat daftar panggilan, ternyata ibunya yang baru saja menelfon. Kemudian
ia membuka sms yang masuk.
“Nak telfon ibu
ya kalau sudah tidak ada kesibukan” ternyata ibunya yang mengirim sms, mungkin
karena Nizam tak sempat mengangkat telfon ibunya. Setelah membaca sms itu,
segera Nizam melangkah ke balik almari-almari di kamar Ustadz yang tertata
rapi. Di balik almari-almari itu ada ruang yang biasa digunakan ia dan
teman-temannya sebagai Ustadz muda di pesantren untuk membaca buku atau
menggarap tugas sebagai Ustadz di pesantren. Nizam segera menelfon ibunya.
“Assalamualaikum
ibu”
“Wa
alaikumussalam nak, tadi masih ada kegiatan ya di pesantren? Kok telfon ibu
nggak kamu angkat?”
“Tadi Nizam
masih baca Qur’an bu, ngulang hafalan.
Ayah sama ibu sehat kan di rumah?”
“Alhamdulillah,
ibu kira kamu lagi ngurus santri kamu. Sehat nak ayah ibu, Nizam sehat?
“Alhamdulillah,
Nizam juga sehat bu. Ada apa bu kok tumben nelfon Nizam pagi-pagi? Biasanya
malam ibu nelfonnya”
“Kamu sudah
baca koran atau lihat televisi akhir-akhir ini nak?” nada bicara ibunya sedikit
melirih, tampak ada kecemasan dalam diri ibunya.
“Ibu pasti
khawatir ya dengan pemberitaan di media-media yang memberitakan pesantren
Nizam? Bom bunuh diri yang beberapa waktu lalu terjadi sebenarnya bukan ulah
alumni pesantren bu. Abu Nuas salah satu pelakunya yang dikatakan sebagai
alumni pesantren sebenarnya bukan alumni bu, sebenarnya kakak dari Abu Nuas
yang alumni pesantren. Media saja yang akhirnya melebih-lebihkan pemberitaan
dan menuding pesantren terlibat dalam kejadian itu. Ibu ayah dan keluarga tenang
ya, InsyaAllah Nizam baik-baik saja. Pesantren juga baik-baik saja kok bu”
belum sempat ibunya menyampaikan unek-uneknya pada Nizam, ia bisa menebak apa
yang ibunya khawatirkan dari nada bicaranya.
“Ibu sebenarnya
tahu nak kalau pesantren tidak mungkin terlibat dalam kejadian itu, makanya
dulu ibu menitipkan kamu ke pesantren, ke pimpinan pesantrenmu, Ustadz Basyir.
Walau begitu tetap saja ibu khawatir terjadi apa-apa padamu, pada para santri
dan Ustadz di pesantren. Media saat ini terlalu buas memberitakan aksi
terorisme, memberitakan kejadian bom bunuh diri di Jakarta beberapa waktu lalu.
Nizam tetap hati-hati ya di pesantren, ibu percaya Nizam dan warga pesantren
tidak mungkin melakukan perbuatan-perbuatan buruk, apalagi terorisme seperti
itu” setelah cukup Nizam dan ibunya berbincang di udara lewat telfon, Nizam
segera mengakhiri telfonnya. Jam masuk sekolah di pesantren telah tiba, Nizam
ada jam mengajar pagi ini. Segera setelah itu, ia segera bergegas bersiap diri
untuk mengajar.
**
Jam makan malam
bagi santri dan para ustadz telah tiba. Setelah sholat jama’ah Isya’ di masjid,
segera para santri antri di loket-loket pembagian makan yang ada di dapur umum
pesantren. Para Ustadz muda pun tengah menikmati hidangan makan malam yang
dimasak ibu-ibu dapur umum. Para Ustadz itu biasa makan di satu ruangan khusus untuk
makan Ustadz di samping dapur umum, samping tempat makan para santri.
“Zam antum
dipanggil Ustadz Basyir di rumah beliau, ada perkara mendesak yang ingin beliau
sampaikan pada antum!” kata Malik, teman seangkatannya di pesantren yang juga
menjadi Ustadz muda di pesantren.
“Loh ada apa
Lik? Jarang-jarang Ustadz Basyir manggil ana. Oke habis ini ana segera ke sana.
Syukron ya Lik” segera setelah usai makan malam, Nizam berjalan cepat menuju ke
rumah Ustadz Basyir yang ada di samping masjid pesantren, lima puluh meter dari
asrama tapi masih dalam satu komplek pesantren yang dikelilingi pagar-pagar
tinggi dan besar. Di samping rumah Ustadz Basyir berjejer rumah-rumah pimpinan
pesantren dan Ustadz senior pesantren lainnya.
Tok..tok...tok...
“Assalamualaikum Ustadz?” Nizam mengetuk pintu rumah Ustadz Basyir dan mengucap
salam. Saat itu pintu rumah Ustadz Basyir terbuka, terlihat di ruang tamu telah
ada beberapa pembesar pesantren seperti pimpinan pesantren dan beberapa Ustadz
senior telah berkumpul dan duduk lesehan di sana.
“Alaikumussalam”
jawab para Ustadz yang ada di dalam serentak, “silahkan masuk Ustadz Nizam”
sahut Ustadz Basyir yang duduk di tengah-tengah para hadirin saat itu.
Segera Nizam
melepas sandalnya dan menatanya di depan teras di dekat sandal-sandal Ustadz
yang lain. Nizam masuk ke dalam rumah, melangkahkan kakinya ke ruang tamu di
balik pintu depan rumah Ustadz Basyir. Pandangannya mengarah ke satu-persatu Ustadz
yang ada di ruang tamu.
Dengan perasaan setengah kaget ternyata para pembesar
pesantren yang ada di situ, ia segera menyalami satu-persatu, lalu duduk di
ujung hadirin. Ada tujuh orang yang telah berkumpul saat itu, diantaranya;
Ustadz Basyir, Ustadz Hakim, Ustadz Yahya, Ustadz Ibrahim, Ustadz Sholeh,
Ustadz Ali, dan dirinya sendiri yang paling muda di antara mereka.
“Jadi begini
Ustadz Nizam, antum sudah tahu kan isu yang menyebar di tengah masyarakat saat
ini? Isu yang diberitakan media-media terkait pesantren kita?” dengan tenang,
Ustadz Basyir mengawali pembicaraan.
“Alhamdulillah
sudah Ustadz, kebetulan tadi pagi ibu saya juga menelfon saya, kami juga
membicarakan itu”
“Ini ada yang
lebih urgent lagi Ustadz Nizam, media semakin keras menggigit pesantren
kita lewat pemberitaannya. Selain pesantren kita ini yang diduga menjadi sarang
dan pencetak embrio terorisme, ada beberapa nama yang dituding sebagai terduga
teroris. Salah satu dari nama-nama itu, ada satu nama Ustadz di pesantren kita
ini” Ustadz Sholeh sebagai ketua kesantrian ikut berkomentar, memberikan
penjelasan singkat pada Nizam yang baru saja hadir. Sebelum Nizam datang, para
pembesar pesantren yang ada di situ telah terlebih dahulu membicarakan
permasalahan itu.
“Innalillahi,
bagaimana bisa Ustadz? Lantas siapa satu nama itu Ustadz?” tanya Nizam
penasaran.
“Sebelumnya
Ustadz Nizam tak usah kaget, juga tak perlu khawatir, InsyaAllah kami selaku
pimpinan pesantren akan menyelesaikan permasalahan ini sebelum media terlalu
liar dan memelintir berita lebih keras lagi”
“InsyaAllah
Ustadz”
“Jadi tadi pagi
di beberapa koran memberitakan aksi terorisme beberapa waktu yang lalu dan
memperluas pemberitaannya dengan mencamtumkan beberapa nama yang dituding
sebagai terduga teroris, entah bagaimana media-media itu bisa menyimpulkan
berita seperti itu sampai-sampai menyebar fitnah besar. Nama antum, Nizam Mirza
salah satu yang tercantum di sana. Selain itu beberapa televisi juga mulai
memberitakannya”
“Astaghfirullah,
apa yang telah saya lakukan sehingga saya difitnah sekejam ini Ustadz?” bulir
air mata mulai mengalir keluar dari kedua mata Nizam, ia tak percaya bagaimana
bisa namanya dituding sebagai terduga teroris.
Ustadz Basyir
kembali berbicara, berusaha menenangkan hati dan pikiran Nizam yang saat itu
mulai tak karuan, “untuk sementara antum tidak usah keluar komplek pesantren
dulu, segala urusan dan tugas antum di luar pesantren biar digantikan Ustadz
muda yang lain sampai keadaan mulai kondusif. Sebelumnya kami telah
membicarakan hal ini, juga memikirkan solusi yang akan pesantren tempuh. Demi
menunjukkan fakta yang sebenarnya bahwa pesantren sama sekali tidak terlibat
apa pun dalam aksi-aksi terorisme yang telah terjadi beberapa waktu lalu itu.
Membersihkan kembali nama pesantren kita, juga pesantren-pesantren lain, nama
umat Islam, juga tentunya nama antum, Ustadz Nizam” setelah berdiskusi dalam
suasana yang cukup tegang dan penuh haru, akhirnya pembicaraan malam itu
mencapai beberapa keputusan dan solusi yang akan pesantren lakukan.
Suasana
pesantren mulai menegang. Santri untuk sementara tidak diperbolehkan keluar
dari komplek pesantren hingga permasalahan dapat teratasi. Semua tugas Nizam di
luar komplek pesantren telah dilimpahkan pada Ustadz Malik dengan senang hati.
Para wali yang khawatir pada anak-anaknya pun berdatangan ke pesantren dan
langsung ditemui oleh Ustadz Basyir. Begitu pula para awak media yang tak
pernah absen mengeruk informasi-informasi dari Pesantren Darul Mujahidin,
Ustadz Basyir dan beberapa pimpinan pesantren yang secara langsung menanggapi
mereka, mengklarifikasi dan menunjukkan fakta yang sebenarnya. Bahwa Pesantren
Darul Mujahidin sama sekali tidak terlibat dalam aksi-aksi terorisme. Beberapa
densus 88 pun juga selalu bergantian mengawasi tiap aktivitas di dalam
Pesantren Darul Mujahidin.
**
Sudah sebulan
berlalu sejak pemberitaan nama Nizam dan beberapa nama lain di media, nampaknya
media tak pernah mengindahkan dan mendengarkan apa yang disampaikan para
pimpinan pesantren. Media telah banyak mengeruk keuntungan dari
pemberitaan-pemberitaan tentang terorisme itu. Fakta yang sebenarnya ada, bahwa
Pesantren Darul Mujahidin sama sekali tidak terlibat dalam segala bentuk
terorisme yang terjadi juga tak pernah diberitakan. Yang ada, media-media
semakin liar dan buas memberitakan fitnah terhadap Pesantren Darul Mujahidin,
umat Islam, juga nama Nizam dan nama-nama terduga teroris lain. Bahkan nama-nama
itu saat ini telah menjadi DPO dan dikejar-kejar oleh polisi, oleh Densus 88.
**
Di kampung halaman
Nizam pun telah ramai lalu lalang wartawan dan densus 88. Berita begitu cepat
berhembus, bagai debu yang diterpa angin dan menyebar ke setiap permukaan.
Keluarga Nizam tengah dirundung kemelut. Nizam, anak kedua dari tiga bersaudara
di keluarganya itu kini telah menjadi korban fitnah, korban media yang begitu
kejamnya. Semua anggota keluarga begitu mengkhawatirkan keselamatan Nizam yang
bisa saja tiap saat dalam bahaya. Mereka tahu bahwa Nizam tak pernah terlibat
dalam aksi terorisme, juga tak pernah punya niatan akan melakukan aksi-aksi tak
manusiawi seperti itu.
Di Pesantren
Darul Mujahidin Nizam dikenal sebagai santri dan Ustadz muda yang pandai dan
shaleh. Keshalehannya tergambar dari perilaku, ucapan, juga pakaian yang ia
kenakan selama ini. Jidatnya membekas hitam, menandakan ketaatannya dalam
beragama, menandakan kebiasaan bersujudnya. Kemana pun gamis warna putih tak
pernah lepas dari tubuhnya. Celananya yang cingkrang di atas mata kaki,
menunjukkan kesederhanaan dan keapaadanyaan pada diri Nizam, ia sangat taat
pada agama. Di rak bukunya yang ada di kamar Ustadz muda terjejer rapi
buku-buku dan kitab-kitab berbahasa Arab dan Indonesia. Tak ada satu pun buku dan
kitab yang berisi tentang radikalisme dan terorisme. Selain itu, Nizam juga
memiliki akun facebook, ia selalu menulis kata-kata bijak agamawi,
artikel-artikel keislaman, dan status-status yang menjabarkan ayat dan hadits.
Tak pernah sekali pun ia menulis tulisan tentang radikalisme dan terorisme.
Entah apa alasan media dan pihak kepolisian, densus 88, menyimpulkan bahwa
Nizam terlibat dalam aksi terorisme.
Hampir setiap
malam Nizam bertelfon dengan sanak keluarganya, ayah ibunya, juga
teman-temannya. Sore itu Nizam sedang duduk di salah satu kelas yang ada di sekolah
pesantren, ia sedang bercengkerama dengan ibunya lewat telfon. Wajahnya
menampakkan ketegaran walau permasalahan besar tengah ia hadapi, senyum tak
pernah lepas dari bibir dan wajahnya.
“Ibu dan ayah,
juga keluarga besar tidak usah khawatir. Nizam benar-benar tidak pernah dan tidak
mempunyai rencana apa pun untuk melakukan aksi kejahatan, apalagi terorisme
yang sangat tidak manusiawi itu bu. Biarkan media menyebar fitnah tentang
Nizam, Nizam sabar dan tidak takut karena Nizam memang tak pernah dan tak akan
melakukan tindakan yang merugikan siapa pun”
“Ibu percaya
nak pada Nizam, sholat malam dan puasa sunnahnya jangan pernah terlewat ya.
Minta pada Allah, InsyaAllah pertolongan segera datang untuk Nizam, untuk
pesantren dan umat Islam”
“InsyaAllah bu,
doanya ya bu buat Nizam. Semoga keluarga besar di rumah selalu diberi ketabahan
dan kekuatan menghadapi segala permasalahan, segala fitnah yang menimpa Nizam
dan keluarga”
Sepertinya sore
itu adalah kali terakhir Nizam mendengar suara ibunya. Terakhir kalinya ibunya
mendengar suara Nizam.
**
Malam semakin
larut, Nizam masih begitu mengingat suara dan nasehat yang disampaikan ibunya
beberapa jam yang lalu. “InsyaAllah semua akan berakhir dengan baik!” ia
meyakinkan dirinya sendiri. Malam itu di saat semua santri tengah terlelap
dalam tidurnya. Para pimpinan pesantren, Ustadz senior, dan Ustadz muda
berkumpul di dalam masjid, ada Nizam di tengah-tengah mereka. Mereka tengah
berunding, membicarakan permasalahan yang serius. Di depan pesantren telah
berjaga beberapa densus 88, mengintai aktivitas di dalam komplek pesantren.
Para densus itu tak pernah diizinkan untuk masuk tanpa pengawalan pimpinan
pesantren. Mereka disediakan tempat untuk istirahat di salah satu kamar yang
ada di ruang tamu pesantren yang berada tepat di bagian paling depan komplek
pesantren, di samping gerbang masuk pesantren. Mereka masih mengincar Nizam,
dan hendak menculik Nizam saat pengawasan pihak pesantren tengah lengang.
Seusai berkumpul
dan berunding membicarakan permasalahan yang dihadapi pesantren Darul Mujahidin
dan fitnah yang menimpa salah satu Ustadznya, Nizam. Seperti biasa Nizam
melakukan shalat malam di dalam masjid, biasanya ia ditemani beberapa Ustadz
muda yang lain termasuk Ustadz Malik. Namun malam itu hanya Nizam yang ada di
dalam masjid, karena Ustadz muda yang lain, juga para pimpinan pesantren dan
Ustadz senior tengah berbagi tugas demi menyelesaikan permasalahan yang menimpa
Pesantren Darul Mujahidin. Seusai sholat, Nizam menangis tersedu dalam doanya,
ia tengah berkomunikasi dengan Tuhannya, meminta yang terbaik padaNya. Nizam
melangkahkan kaki keluar dari dalam masjid hendak kembali ke asrama. Ia harus
segera makan sahur sebelum fajar dan subuh menjelang. Nizam hendak berpuasa
hari ini.
Dooorrrrrrrr!!!
Suara kencang itu mematahkan kesunyian malam. Beberapa santri terbangun oleh
suara itu dan bergegas memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Ustadz Basyir,
Ustadz Malik dan semua Ustadz yang ada di komplek pesantren juga menuju ke arah
suara kencang itu berasal. Semua yang ada di sana tercengang dengan apa yang
mereka saksikan saat itu. “Ustadz Nizam tertembak!” teriak salah seorang santri.
Di depan
masjid, tubuh Nizam terbaring dengan tembakan di dadanya, darah perlahan
mengalir membercak gamis putih yang
biasa ia pakai. Di tengah keramaian, berlari seorang berpakaian serba hitam dan
bertopeng ‘kethu’ hitam yang menenteng laras panjang. Segera Ustadz
Malik mengejar pria serba hitam itu, namun si pria serba hitam itu berlari
sangat kencang, “ayo segera cabut, target sudah beres!” ujar pria hitam itu
pada temannya yang sudah siap mengendarai sebuah motor trail. Kedua orang itu
segera lalang dengan gesit meninggalkan komplek pesantren. Ustadz Malik tak
berhasil mengejar pria serba hitam itu. Ternyata pria itu adalah salah satu
anggota densus 88 yang berhasil masuk ke dalam komplek pesantren. Nizam
dinaikkan ke dalam mobil pesantren, dengan
ditemani beberapa Ustadz di dalam mobil, ia segera dilarikan ke Rumah Sakit Yarsis yang tak jauh dari Pesantren Darul
Mujahidin. Namun sayang, setelah beberapa saat ditangani beberapa tim medis UGD
Rumah Sakit Yarsis, nyawa Nizam tak berhasil diselamatkan. Darah yang keluar
dari lobang tembakan di dadanya terlalu banyak mengucur keluar. Senyum merekah
di bibir Nizam, aroma wangi menyapu kepedihan di antara para Ustadz yang saat
itu mengantarnya ke Rumah Sakit Yarsis. Pesantren Darul Mujahidin tengah dilanda
kepedihan yang mendalam, ditinggal pergi oleh salah satu Ustadz terbaiknya.
“InsyaAllah
syahid, Ustadz Nizam khusnul khatimah!” ujar Ustadz Basyir yang saat itu
memimpin doa untuk Nizam. Tubuhnya segera dibawa ke pesantren untuk dimandikan,
dikafani, lalu dishalatkan oleh para santri dan seluruh warga Pesantren Darul
Mujahidin.
Ustadz Malik
segera menghubungi keluarga Nizam di kampung halamannya. Ibu dan keluarga
besarnya di rumah kaget tak menduga, Nizam, anaknya yang penurut dan tidak
neko-neko itu telah pergi menemui Tuhannya melalui jalan ketidakadilan. Seumur
hidupnya, Nizam tak pernah terlibat dalam aktivitas-aktivitas radikalisme dan
terorisme. Nizam hanyalah seorang santri polos yang kemudian mengabdikan
dirinya mengamalkan dan mengajarkan ilmu-ilmu yang telah ia dapatkan selama
menjadi santri, sebagai seorang Ustadz di Pesantren Darul Mujahidin yang telah
menempanya selama bertahun-tahun. Jenazah Nizam paginya segera diantar ke
kampung halamannya oleh para pimpinan pesantren, Ustadz, dan beberapa santrinya
di Pesantren Darul Mujahidin. Santri yang tak ikut mengantar hanya bisa
mengirimkan doa-doa lewat tangis haru dan tetesan air mata kehilangan di
wajah-wajah mungil mereka. Langit tampak kehilangan atas meninggalnya Nizam.
Dalam ketenangan dan rasa kehilangan yang begitu besar, mobil segera melaju
membawa jenazah Nizam ke pelukan ibunya di kampung halamannya.
**
Ribuan orang
yang terdiri dari teman-teman SD dan teman-teman kecil Nizam, para sanak
keluarga dan handai taulan, para tetangga dan masyarakat, juga sebagian umat
Islam telah menunggu kedatangan jenazah Nizam di kampung halamannya. Ayah dan
ibunya berdiri di depan rumah menanti anak kesayangannya yang pulang dengan roh
telah menemui Tuhannya. Setelah beberapa jam, sederetan mobil dan bis nampak
berjalan pelan di jalan menuju ke arah rumah Nizam.
“Alhamdulillah
jenazah Nizam telah sampai bu, ayo segera kita jemput dan sholatkan” ayahnya
berkata tersedu pelan pada ibunya.
Segera setelah
rombongan mobil dan bis dari Pesantren Darul Mujahidin berhenti di depan rumah
Nizam, jenazahnya dikeluarkan dan segera dijemput oleh banyak orang lalu
dimasukkan ke dalam keranda dan di masukkan ke dalam rumah joglo keluarga Nizam
untuk dishalatkan, lalu segera disemayamkan. Rekah senyum di wajah jenazah
Nizam dan aroma kasturi yang keluar dari tubuhnya, mengganti suasana sedih
dengan suasana kedamaian. Seluruh orang yang ada di sana berkali-kali
mengucapkan puji-pujian kepada Tuhan, mengantarkan Nizam ke pelukan dan ampunan
Tuhannya. Nizam Mirza yang shaleh itu telah khusnul khotimah di tangan densus
88 yang tanpa bukti telah membredelnya seusai ia menunaikan shalat malam,
menemui Tuhannya dalam kekhusyukan. Dan kini Nizam telah benar-benar berjumpa
dengan Tuhannya, disambut mesra oleh bidadari-bidadari penjaga taman surgawi.
**
Begitulah kisah
Nizam, Nizam Mirza. Santri shaleh yang juga merupakan salah satu Ustadz muda
terbaik di Pesantren Darul Mujahidin, meninggal dunia akibat fitnah dari isu
terorisme yang menimpanya. Ia hanya terduga teroris yang sama sekali belum dan
tidak ada bukti yang membuktikan keterlibatannya dalam aktivitas terorisme. Ia
hanyalah santri dan Ustadz muda shaleh dengan gamis dan celana cingkrang semata
kakinya. Jidatnya membekas hitam sebagai bukti ketaatannya pada perintah Tuhan,
ia hanya sering dan selalu bersujud pada Sang Pencipta. Tanpa aba-aba, tanpa
peringatan, tanpa bukti yang jelas dan nyata, densus 88 segera menembakkan
timah panas pada dadanya. Senyum merekah pada wajahnya yang berseri. Aroma kasturi
yang sangat harum terus memancar dan keluar dari tubuhnya. Ia diantar para
malaikat dan bidadari menemui kasih sayang dan ampunan Tuhannya.
Siapa yang sebenarnya
adalah TERORIS?
Gubug
perjuangan, Yogyakarta 2015.
0 komentar:
Posting Komentar