Cerpen: Irfan Anas
TIDAK ada yang
mengenalnya dengan jelas. Siapa lelaki tua itu sebenarnya? Dari mana asalnya?
Dimana keluarganya tinggal? Satu pun tak ada yang tau. Orang-orang hanya tau,
lelaki tua itu Mbah Sabdo, penunggu Pasar.
Di Pasar ada
sebuah bilik kecil yang biasa ditinggali seorang lelaki tua, Mbah Sabdo.
Usianya kisaran 70 tahun, perawakannya kecil, rambutnya gondrong, pakaiannya
compang-camping. Mbah Sabdo bukan orang gila, kendati sekilas terlihat seperti
orang gila. Sebutan Mbah Sabdo sebenarnya bukan nama asli dari lelaki tua itu.
Orang pasar saja yang biasa memanggilnya itu, Mbah Sabdo. Mungkin karena ia
biasa khotbah di pasar. Bukan berkoar soal agama, lebih pada soal kehidupan dan
kesejatian.
Biasanya Mbah
Sabdo makan dari makanan pemberian orang yang iba melihat penampilannya yang
nampak melas itu, tapi Mbah Sabdo tak pernah mengemis sekali pun pada orang
yang ada di pasar.
“Urip kuwi kudu
urap lan urup”
Suatu pagi saat
pasar sedang ramai-ramainya Mbah Sabdo mengatakan sabdanya dengan suara yang
agak lantang. Orang-orang yang ada di pasar tidak ada yang merasa aneh apalagi
heran dengan hal itu. Memang itulah kerjaan yang biasa dilakukan Mbah Sabdo di
pasar. Di tengah riuk tawar menawar dan ramai pasar saat itu, seseorang nampak
bergeming menterjemahkan apa yang diucap Mbah Sabdo itu. “Hidup itu harus bercampur
dan menyala” gemingnya pelan, entah apa yang ia dan orang lain tafsirkan dari
perkataan Mbah Sabdo itu. Setiap hari apa yang diucap Mbah Sabdo selalu
berbeda, isinya nasehat dengan bahasa Jawa. Bahkan tak jarang ada yang pergi ke
pasar hanya untuk mendengar petuah yang diucap Mbah Sabdo.
**
Pernah suatu
hari ada keributan kecil di pasar. Seseorang tertangkap sedang berusaha mengambil
tas seorang wanita yang sedang belanja. Para laki-laki yang mengetahui segera
menyergap maling itu, hendak menghujaninya dengan pukulan dan tendangan. Di
tengah keributan Mbah Sabdo berteriak,
“Sing maling
ben maling, ben tibo polahe dhewe!”; yang maling biar saja maling, biar jatuh
akibat ulahnya sendiri. Teriakan Mbah Sabdo itu menggugurkan niat para
laki-laki yang tangan dan kakinya siap akan meninju dan menyepak si maling.
Tidak ada satu orang pun yang akhirnya menghukumi si maling.
Semua mata
tertuju pada Mbah Sabdo yang tengah berdiri di atas bangku kecil depan bilik
tempatnya tinggal, “ben uculke wae maling e, ben tibo ben ora nggratil meneh
tangane!”; lepaskan saja maling itu, biar jatuh biar tidak usil lagi
tangannya. Maling pun dilepas, lantas terbirit enyah dari pasar. Suasana pasar
kembali tenang setelah Mbah Sabdo kembali ke dalam biliknya.
**
Keesokan hari
setelah kejadian itu, ada kabar yang tersebar di pasar. Katanya orang yang
kemarin maling itu tertabrak mobil di perempatan tak jauh dari pasar. Si maling
mengalami patah tulang di bagian tangan. Tak heran si maling itu mengalami
nasib naas setelah Mbah Sabdo menyumpahinya. Biasanya yang seperti itu juga
terjadi, saat setelah ada yang tak beres di pasar. Makanya orang yang biasa ke
pasar tak pernah berulah. Orang yang biasa berulah dan membuat keributan di
pasar adalah orang yang tak biasa ke pasar itu. Orang pasar menyebutnya orang
luar.
**
Pernah juga
suatu ketika ada preman tak diundang datang ke pasar. Preman itu bukan orang
dari sekitar pasar, entah dari mana ia datang. Tiba-tiba saja ia memalak ke
setiap pedagang dan orang yang ada di pasar, membuat keributan baru. Para kaum
laki-laki di pasar tak ada yang berani melawannya, ia tampak sangar dan
menakutkan.
Mbah Sabdo yang
saat itu terlihat sedang duduk bersila di dalam biliknya tiba-tiba keluar saat
si preman yang besar badannya itu membentak minta uang ke pedagang ikan di
samping bilik Mbah Sabdo.
“sopo kowe ora
ono sing ngundang teko-teko nggawe perkoro?”;
siapa kamu tak ada yang mengundang tiba-tiba membuat masalah?
Si preman itu
tercengang bukan kepalang tiba-tiba ada lelaki tua yang tak pernah ia lihat
berteriak padanya. Entah dari goa mana pak tua itu muncul, pikirnya.
“sopo kowe mbah
aku ora ngajak ngomong kowe, kono kono! Aku yo ora njaluk duwit kowe!”; siapa kamu kek aku tidak ngajak bicara kamu, sana sana! Aku juga
tidak akan minta uang ke kamu!
“kono minggat
ojo gawe rusuh neng kene, neng omahku! Tobat tobat anak bojomu pengen berkah!”; sana pergi jangan bikin keributan di sini, di rumahku! Tobatlah
anak istrimu ingin yang berkah!
Entah kenapa
tiba-tiba saja si preman itu enyah dari pasar, meninggalkan uang hasil
palakannya begitu saja.
**
Beberapa hari
setelah itu, ada salah satu pedagang di pasar yang melihat preman yang beberapa
hari sebelumnya membuat ulah di pasar itu berada di sebuah pesantren, saat
pedagang itu menjenguk anaknya yang belajar di sana. Karena heran dan merasa
tak percaya dengan apa yang dilihatnya, pedagang itu menghampiri si preman.
“lho bukannya
sampean yang memalak di pasar itu ya?”
“lho kok bapak
tau?”
“saya salah
satu pedagang di pasar yang sampean palak juga”
“astaghfirullah,
maaf pak atas kelakuan saya yang bejat itu. Tiap malam, saat tidur, setelah
saya pulang dari pasar itu saya selalu mimpi buruk, saya dikejar-kejar orang
tinggi besar badannya hitam yang membawa besi besar di tangannya. Saya sangat
gelisah dan ketakutan akibat mimpi-mimpi itu, akhirnya saya datang ke pesantren
ini, saya ingin tobat, menjadi orang benar. Maafkan saya pak, mohon....” sangat
terasa aneh jika orang segarang itu memelas ciut.
“alhamdulillah
itu artinya sampean dapat hidayah mas, Allah masih memberi jalan dan kemudahan
buat sampean, biar sampean menginsyafi kesalahan di masa lalu.”
“iya pak, ini
mungkin akibat saya bertemu Pak tua yang ada di pasar itu, Allah memberikan
hidayah lewat perjumpaan saya dengan Pak tua itu.”
“itu Mbah Sabdo
mas, dia penunggu pasar. Meski terlihat tak terawat, tapi sebenarnya dia wali”
pedagang itu lantas menyalami si preman dan berlalu pergi meninggalkannya.
**
Mungkin benar apa
yang dikatakan pedagang itu. Mbah Sabdo sebenarnya adalah seorang wali. Mbah
Sabdo ialah seorang sufi di zaman modern yang semakin edan ini, sufi yang
bertapa di pasar. Mengapa pasar? Mungkin karena “pasar” identik dengan
keramaiannya, kehirukpikukannya. Segala macam orang ada di pasar dengan segala
tabiatnya. Mbah Sabdo ingin merenung, mendekatkan diri pada Sang Pencipta
dengan cara itu, berada di tengah gumulan orang dengan berbagai tingkah dan
ulah. Menyampaikan petuah kepada orang-orang yang sedang terlena oleh dunia,
oleh urusannya sendiri-sendiri. Hingga Mbah Sabdo sendiri meninggalkan dunianya
yang sebelumnya, dunia yang menyilaukan dan membuat banyak orang terlena dan
terbuai. Akhirnya Mbah Sabdo mencari dunianya sendiri, dunia kezuhudan yang
hanya dilalui oleh orang-orang pilihan. Dunia para sufi dan wali.
***
Gubug pencari kesejatian,
2015
0 komentar:
Posting Komentar