Kamis, 22 Oktober 2015

Mbah Sabdo

Cerpen: Irfan Anas



TIDAK ada yang mengenalnya dengan jelas. Siapa lelaki tua itu sebenarnya? Dari mana asalnya? Dimana keluarganya tinggal? Satu pun tak ada yang tau. Orang-orang hanya tau, lelaki tua itu Mbah Sabdo, penunggu Pasar.




Di Pasar ada sebuah bilik kecil yang biasa ditinggali seorang lelaki tua, Mbah Sabdo. Usianya kisaran 70 tahun, perawakannya kecil, rambutnya gondrong, pakaiannya compang-camping. Mbah Sabdo bukan orang gila, kendati sekilas terlihat seperti orang gila. Sebutan Mbah Sabdo sebenarnya bukan nama asli dari lelaki tua itu. Orang pasar saja yang biasa memanggilnya itu, Mbah Sabdo. Mungkin karena ia biasa khotbah di pasar. Bukan berkoar soal agama, lebih pada soal kehidupan dan kesejatian. 

Biasanya Mbah Sabdo makan dari makanan pemberian orang yang iba melihat penampilannya yang nampak melas itu, tapi Mbah Sabdo tak pernah mengemis sekali pun pada orang yang ada di pasar.

“Urip kuwi kudu urap lan urup”
Suatu pagi saat pasar sedang ramai-ramainya Mbah Sabdo mengatakan sabdanya dengan suara yang agak lantang. Orang-orang yang ada di pasar tidak ada yang merasa aneh apalagi heran dengan hal itu. Memang itulah kerjaan yang biasa dilakukan Mbah Sabdo di pasar. Di tengah riuk tawar menawar dan ramai pasar saat itu, seseorang nampak bergeming menterjemahkan apa yang diucap Mbah Sabdo itu. “Hidup itu harus bercampur dan menyala” gemingnya pelan, entah apa yang ia dan orang lain tafsirkan dari perkataan Mbah Sabdo itu. Setiap hari apa yang diucap Mbah Sabdo selalu berbeda, isinya nasehat dengan bahasa Jawa. Bahkan tak jarang ada yang pergi ke pasar hanya untuk mendengar petuah yang diucap Mbah Sabdo.

**

Pernah suatu hari ada keributan kecil di pasar. Seseorang tertangkap sedang berusaha mengambil tas seorang wanita yang sedang belanja. Para laki-laki yang mengetahui segera menyergap maling itu, hendak menghujaninya dengan pukulan dan tendangan. Di tengah keributan Mbah Sabdo berteriak,
“Sing maling ben maling, ben tibo polahe dhewe!”;  yang maling biar saja maling, biar jatuh akibat ulahnya sendiri. Teriakan Mbah Sabdo itu menggugurkan niat para laki-laki yang tangan dan kakinya siap akan meninju dan menyepak si maling. Tidak ada satu orang pun yang akhirnya menghukumi si maling.

Semua mata tertuju pada Mbah Sabdo yang tengah berdiri di atas bangku kecil depan bilik tempatnya tinggal, “ben uculke wae maling e, ben tibo ben ora nggratil meneh tangane!”; lepaskan saja maling itu, biar jatuh biar tidak usil lagi tangannya. Maling pun dilepas, lantas terbirit enyah dari pasar. Suasana pasar kembali tenang setelah Mbah Sabdo kembali ke dalam biliknya.

**

Keesokan hari setelah kejadian itu, ada kabar yang tersebar di pasar. Katanya orang yang kemarin maling itu tertabrak mobil di perempatan tak jauh dari pasar. Si maling mengalami patah tulang di bagian tangan. Tak heran si maling itu mengalami nasib naas setelah Mbah Sabdo menyumpahinya. Biasanya yang seperti itu juga terjadi, saat setelah ada yang tak beres di pasar. Makanya orang yang biasa ke pasar tak pernah berulah. Orang yang biasa berulah dan membuat keributan di pasar adalah orang yang tak biasa ke pasar itu. Orang pasar menyebutnya orang luar.

**

Pernah juga suatu ketika ada preman tak diundang datang ke pasar. Preman itu bukan orang dari sekitar pasar, entah dari mana ia datang. Tiba-tiba saja ia memalak ke setiap pedagang dan orang yang ada di pasar, membuat keributan baru. Para kaum laki-laki di pasar tak ada yang berani melawannya, ia tampak sangar dan menakutkan.

Mbah Sabdo yang saat itu terlihat sedang duduk bersila di dalam biliknya tiba-tiba keluar saat si preman yang besar badannya itu membentak minta uang ke pedagang ikan di samping bilik Mbah Sabdo.

“sopo kowe ora ono sing ngundang teko-teko nggawe perkoro?”; siapa kamu tak ada yang mengundang tiba-tiba membuat masalah?
Si preman itu tercengang bukan kepalang tiba-tiba ada lelaki tua yang tak pernah ia lihat berteriak padanya. Entah dari goa mana pak tua itu muncul, pikirnya.
“sopo kowe mbah aku ora ngajak ngomong kowe, kono kono! Aku yo ora njaluk duwit kowe!”; siapa kamu kek aku tidak ngajak bicara kamu, sana sana! Aku juga tidak akan minta uang ke kamu!
“kono minggat ojo gawe rusuh neng kene, neng omahku! Tobat tobat anak bojomu pengen berkah!”; sana pergi jangan bikin keributan di sini, di rumahku! Tobatlah anak istrimu ingin yang berkah!
Entah kenapa tiba-tiba saja si preman itu enyah dari pasar, meninggalkan uang hasil palakannya begitu saja.

**

Beberapa hari setelah itu, ada salah satu pedagang di pasar yang melihat preman yang beberapa hari sebelumnya membuat ulah di pasar itu berada di sebuah pesantren, saat pedagang itu menjenguk anaknya yang belajar di sana. Karena heran dan merasa tak percaya dengan apa yang dilihatnya, pedagang itu menghampiri si preman.

“lho bukannya sampean yang memalak di pasar itu ya?”
 “lho kok bapak tau?”
“saya salah satu pedagang di pasar yang sampean palak juga”
astaghfirullah, maaf pak atas kelakuan saya yang bejat itu. Tiap malam, saat tidur, setelah saya pulang dari pasar itu saya selalu mimpi buruk, saya dikejar-kejar orang tinggi besar badannya hitam yang membawa besi besar di tangannya. Saya sangat gelisah dan ketakutan akibat mimpi-mimpi itu, akhirnya saya datang ke pesantren ini, saya ingin tobat, menjadi orang benar. Maafkan saya pak, mohon....” sangat terasa aneh jika orang segarang itu memelas ciut.
alhamdulillah itu artinya sampean dapat hidayah mas, Allah masih memberi jalan dan kemudahan buat sampean, biar sampean menginsyafi kesalahan di masa lalu.”
“iya pak, ini mungkin akibat saya bertemu Pak tua yang ada di pasar itu, Allah memberikan hidayah lewat perjumpaan saya dengan Pak tua itu.”
“itu Mbah Sabdo mas, dia penunggu pasar. Meski terlihat tak terawat, tapi sebenarnya dia wali” pedagang itu lantas menyalami si preman dan berlalu pergi meninggalkannya.

**

Mungkin benar apa yang dikatakan pedagang itu. Mbah Sabdo sebenarnya adalah seorang wali. Mbah Sabdo ialah seorang sufi di zaman modern yang semakin edan ini, sufi yang bertapa di pasar. Mengapa pasar? Mungkin karena “pasar” identik dengan keramaiannya, kehirukpikukannya. Segala macam orang ada di pasar dengan segala tabiatnya. Mbah Sabdo ingin merenung, mendekatkan diri pada Sang Pencipta dengan cara itu, berada di tengah gumulan orang dengan berbagai tingkah dan ulah. Menyampaikan petuah kepada orang-orang yang sedang terlena oleh dunia, oleh urusannya sendiri-sendiri. Hingga Mbah Sabdo sendiri meninggalkan dunianya yang sebelumnya, dunia yang menyilaukan dan membuat banyak orang terlena dan terbuai. Akhirnya Mbah Sabdo mencari dunianya sendiri, dunia kezuhudan yang hanya dilalui oleh orang-orang pilihan. Dunia para sufi dan wali.

***
Gubug pencari kesejatian, 2015

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.