Cerpen Oleh:
Irfan Anas
“Le tangi le man, sudah subuh!.”
Teriakan bapakku itu membangunkanku pagi ini.
“Emmm nggih pak, ini udah bangun pak.”
Jawabku lemas sambil angop. Biar
kukumpulkan dulu nyawaku, sambil mengingat-ingat mimpi apa aku semalam?
Akhirnya aku bangun dan enyah juga dari kasur dinginku. Setengah malas karena
dinginnya udara pagi. Aku berjalan pelan ke kamar mandi untuk kencing dan
mengambil wudhu, lalu bergegas ke mushola yang tak jauh dari rumahku.
Dingin dan masih sangat sepi sekali. Di dalam mushola kulihat
sudah ada beberapa orang sedang melakukan qobliyah subuh. Aku segera
masuk, tanpa ikut melakukan qobliyah,
aku segera mengambil mic, lalu melantunkan puji-pujian sembari menunggu jama’ah
yang lain. Biasanya tak banyak yang sholat jama’ah di mushola ini, hanya dua shaf
jama’ah laki-laki kisaran belasan orang dan lima jama’ah wanita, termasuk mbok
dan ibuku.
Oh ya, namaku Darmanto. Entah kenapa, orang-orang lebih suka
memanggilku “maman”, supaya lebih gampang mungkin. Aku tinggal di sebuah desa
yang sangat asri di kaki sebuah gunung, di ujung barat Jawa Timur. Geyong nama
desaku. Baru mendengarnya saja mungkin orang sudah tau betapa ndeso dan katroknya desaku.
Namun banyak orang yang iri dengan keasrian desaku, desa yang selalu adem ayem baik dari segi geografis
maupun dari segi kehidupan masyarakatnya.
Sebagian besar penduduk di desaku berprofesi sebagai petani.
Biasanya kami menanam berbagai macam sayur mayur dan buah-buahan, karena memang
tekstur tanah di sini sangat cocok untuk itu. Selain sebagai petani, beberapa
orang di sini juga menambah pundi penghasilannya dengan berternak. Biasanya
kami berternak kelinci, selain juga kambing dan sapi. Beberapa juga ada
yang setiap Minggu dan hari libur mengais rejeki dengan berjualan sate kelinci
di sebuah objek wisata yang ada di seberang desaku, Sarangan. Begitulah desaku,
desa yang permai walau sebagian orang kota dan sok kota menganggapnya ndeso.
Saat ini aku tengah duduk di kelas tiga SMA, di sebuah SMA negeri
yang ada di kota. Perjalanan dari desa ke sekolah cukup jauh, lebih dari
setengah jam dengan melewati jalan makadaman dan naik turun melewati
bukit. Mau bagaimana lagi? Memang hanya itu SMA terdekat dari desaku. Aku
sendiri sebenarnya sudah sangat beruntung bisa sekolah hingga sejauh ini, SMA.
Remaja di desaku biasanya hanya bersekolah hingga SD atau SMP saja, setelah itu
membantu orang tuanya berladang atau menjual sate kelinci di Sarangan, beberapa
juga menikah di usia yang sangat belia. Itulah desaku.
“Ini sangumu le, pulang
sekolah langsung ke tegal ya! Bantu bapak sama makmu panen
wortel!.” Tegas bapakku sambil memberikan selembar uang sepuluh ribu sebelum
aku menaiki motor vespaku.
“nggih pak!.”
Jawabku sambil tersenyum. Aku pun segera bergegas ke sekolah, jika tak begitu
aku bisa terlambat dan berjemur di lapangan basket hari ini. Aku terlalu sering
dihukum seperti itu karena terlambat. Bukan karena aku malas, bayangkan saja
seberapa jauh jarak yang harus aku tempuh untuk pergi ke sekolah. Belum lagi
aku mengendarai vespa dengan medan jalan yang cukup sulit hingga sampai di
jalan raya.
“Tumben sekali kamu datang sepagi ini man!.” Sapa pak Wahyu, guru
BK di sekolah yang biasa menghukumku karena datang terlambat.
“Alhamdulillah pak, di jalan nggak ada paku.” Cetusku sambil
cengar-cengir, tanda mengajak bercanda pak Wahyu.
“Sudah sana parkir motormu lalu segera masuk kelas, bapak tau ada
PR yang belum kamu selesaikan di rumah kan?.” Timpal pak Wahyu menanggapi
candaanku.
“Siap komandan!.” Jawabku singkat, sambil hormat ke pak Wahyu. Aku
segera ke parkiran, lalu berlari ke kelas.
Aku sampai di sekolah sebelum teman-temanku tiba. Tumben sekali
kelas masih kosong, hanya beberapa orang yang kulihat di halaman tadi, selain
pak Wahyu dan pak Jumiran, tukang kebun di sekolah.
Sepulang dari sekolah aku segera menuju ke tegal, ada bapak
dan mak menunggu di
sana. Selain ke sekolah, memang itu kebiasaanku setiap hari.
“Eh bocah sekolahan sudah pulang to?.” Sapa pak Parno, tetangga
sebelah rumahku.
Pak Parno juga ayah dari Udin, teman kecilku. Tapi sayangnya Udin
tak dapat melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi lagi, ia hanya
lulusan SD. Ada yang salah memang dari paradigma dan persepsi sebagian besar
orang tua di desaku, pikiran mereka terlalu sempit. Menurut mereka untuk apa
menyekolahkan anak tingi-tinggi, toh akhirnya sama saja hanya jadi petani dan
penjual sate kelinci, paling banter mungkin hanya jadi modin atau perangkat desa yang
lain. Seperti bapakku, selain petani ia juga seorang modin yang ada di desa. Saking
banyaknya yang berpikiran sempit seperti itu, kini paradigma itu bahkan telah
menjadi semacam adat dan tradisi di sini. Itulah yang selama ini kulawan, aku
tak mau terlalu bodoh untuk tidak sekolah. Bahkan aku ingin melanjutkan kuliah
nanti!
“Hehe iya pak, Udin mana pak?.”
“Itu man lagi di kandang, ngasih makan sapi.” Jawabnya sambil
mengangkat setundun rumput yang baru saja ia pangkas, untuk makan ternak
biasanya. Setelah itu, pak Parno langsung berlalu berlawanan arah denganku
menuju ke kandangnya.
Sebenarnya Udin juga sangat ingin melanjutkan sekolah sepertiku,
dulu aku selalu memaksanya agar meneruskan sekolah. Tapi ternyata pikiran
ayahnya terlanjur membatu, tak ingin anaknya sekolah tinggi-tinggi. Sama saja
tak ingin punya anak pintar, pikirku melawan.
Setiap harinya aku selalu menjalani hari-hari dengan bersemangat,
mengalir seperti air, sesekali juga melawan arus jika ada sesuatu yang
melawan pikiran yang kuyakini itu baik dan benar. Akhirnya detik-detik akhir
masa SMAku pun tiba, tiga hari ke depan aku menjalani Ujian Akhir Sekolah.
Tandanya aku harus lebih giat dan rajin selama itu, supaya nanti nilai yang
kudapat sesuai dengan apa yang kuinginkan, agar aku dapat melanjutkan kuliah!
Keinginanku untuk melanjutkan kuliah ini sama sekali belum pernah
aku sampaikan pada kedua orang tuaku, hanya teman-teman sekolah dan beberapa
guru yang dekat denganku yang tau. Aku belum tau pasti, apakah bapakku
merestuinya ataukah tidak. Yang jelas, selama ini ibu selalu mendukung
keinginanku selama itu baik. Sebenarnya belum pernah terpikirkan bagaimana
sikapku jika mungkin nanti bapak tau dan melawan keinginanku, tetap saja aku
harus melawan tradisi yang kuanggap dangkal tadi.
Ujian Akhir Sekolah telah berlalu, tak lama lagi nilai ujianku
keluar, aku tak sabar menunggu hari itu, sambil terus berdoa tentunya.
Alhamdulillah, hari itupun tiba, hari pengumuman ujianku. Aku sudah
merencanakannya sebelumnya, jika nilaiku baik aku akan menyampaikan keinginanku
pada ibu, semoga ibu bisa membantuku untuk menyampaikan itu pada bapak. Nilaiku
pun keluar, aku lulus dengan rata-rata nilai ujianku hampir sembilan. Inilah
saatnya, pikirku tenang.
“Buk? Maman pengen ngomong sama ibuk.” Kataku pada ibuku saat
kulihat ibu sedang memasak di dapur.
“Ada apa to le? Ooo iya, gimana nilaimu? Bukannya keluar hari ini
le?.” Ibu membalas, ia mematikan kompor lalu menghampiriku.
“Maman lulus buk, alhamdulillah nilainya pun bagus.” “Tapi ada
yang lebih penting dari itu buk.” Lanjutku.
“Kenapa to le kenapa?” Tanya ibu sambil menatapku tajam, terlihat
ibu penasaran dengan apa yang ingin aku katakan.
Aduh aku takut ibu kaget dengan apa yang akan aku sampaikan
padanya. Wajar saja, jarang sekali orang di desaku ini yang melanjutkan kuliah.
Kalaupun ada mungkin satu-dua orang yang nekat merantau dan kuliah tanpa
sepengetahuan orang tuanya, tiba-tiba mereka pulang ke desa sudah dengan gelar
sarjananya saja, lalu mengajar di sekolah-sekolah sekitar desa. Bagiku mereka
itu orang-orang hebat, mereka pejuang yang berani. Mungkin itu jalan
selanjutnya jika bapak benar-benar tak dapat kululuhkan. Toh ada mas Anang anak pakdheku di kota
yang saat ini tengah kuliah di Solo, pasti ia dan pakdhe mau membantu. Alasan
mengapa aku bisa melanjutkan sekolah hingga SMA, sebenarnya juga karena bantuan
kakak sepupu dan pakdheku itu.
“Maman pengen ku...ku...kuliah buk.” Kataku gagap.
Ibuku terdiam mendengar apa yang aku katakan. Terlihat ada beban
dalam pikirannya, mungkin karena khawatir jika aku kuliah ibu tak dapat
membiayainya, atau takut bapak akan marah jika mengetahui itu. Entahlah aku
benar-benar tak tega sebenarnya, tapi tekadku sudah hampir bulat sempurna. Ibu
juga tau jika dari dulu prinsipku dalam hal pendidikan memang sulit untuk
dilawan.
Sebenarnya aku tak butuh kuliah di kampus-kampus besar yang
terkenal mahal biayanya, cukup di kampus negeri yang biayanya relatif
terjangkau, aku tau kampus-kampus itu. Aku ingin kesana, walau dengan biaya
murah asal aku bisa pandai. Selain itu, jika mungkin bapak tidak mengijinkan,
aku bisa tetap nekat kuliah di kampus yang biayanya murah itu. Aku bisa kerja part time di luar jam kuliahku
nanti.
“Nanti ya le kita bicarakan dengan bapakmu, juga mak sama mbokmu.” Kata ibuku
lemas.
“Buk maman bisa minta tolong mas Anang nanti, untuk sementara
maman bisa tinggal di kos mas Anang, untuk biaya kuliah maman bisa jualan sate
selama liburan ini. Ya buk?”
“Nanti le, tunggu bapakmu pulang.” Ibuku pun kembali ke dapur
melanjutkan memasak yang tadi sempat kujeda.
Senja pun tiba, semua sudah ada di rumah termasuk bapak dan mak yang seharian berada
di tegal. Biasanya setiap sore kami berkumpul di depan rumah, menikmati
senja dengan hawa damainya sambil bercengkerama. Ini saat yang paling tepat
menurutku, di samping itu bapak juga sudah beristirahat setelah ashar tadi. Aku
pun mengutarakan keinginanku di tengah-tengah obrolan senja kami.
“Pak alhamdulillah maman lulus, nilainya juga bagus.” Aku mulai
bicara, mengarahkan pembicaraan ke topik yang lain, keinginanku untuk kuliah.
“Wah selamat ya le, akhirnya sudah lulus juga kamu, bisa bantu
bapak ke tegal tiap hari.” Bapak
tersenyum. Aku tau kini bapak lega aku tak perlu sekolah lagi, tapi bukan itu
maksudku.
“Tapi pak, apa tidak eman-eman.
Nilai maman bagus, masak iya harus berhenti pak?” Aku tak berani langsung terus
terang ke bapak, takut senyumnya berganti emosi dan kemarahan padaku.
“Maksudmu le? Kamu pengen apa to? Sekolah lagi? Memangnya setelah
SMA ada sekolah lagi? Bukannya SMA itu yang terakhir le?.” Bapak menimpal
pertanyaanku sebelumnya dengan berbagai pertanyaan itu. Wajar saja jika bapak
tak tau tentang kuliah, apalagi kampus atau universitas. Mungkin jika aku
mengatakan universitas, bapak mengira itu nama salah satu permainan di pasar
malam. Bapak hanya lulusan MTs, setara dengan SMP.
“Maman pengen kuliah pak, seperti mas Anang.” Aku menundukkan
kepala.
“Sekolah seperti mas Anang le? Bukannya butuh biaya yang banyak? Tegal yang mana yang harus bapak
jual untuk membiayaimu? Atau rumah ini saja bapak jual biar mak sama mbokmu tinggal di
gubuk yang ada di tegal itu, atau di kandang sapi?.”
Aku tau bapak mulai marah.
“Tidak semua kuliah itu mahal pak.” Aku tak berani berkata lagi,
takut bapak malah mengumpatiku, atau bahkan menendangku dari rumah.
“Ngapain kamu sekolah sampai SMA kalau akhirnya kamu minta kuliah
seperti ini? Ngapain kamu kuliah kalau nanti akhirnya kamu cuma jualan sate
le?.” Benar saja bapak semakin marah padaku.
“Nggak usah kuliah! Bantu saja makmu angon sapi!.” Tambah bapakku.
Bapak pun masuk ke dalam rumah, mengambil sarung lalu pergi ke mushola. Ibu dan mbok yang mendengar itu lantas
menangis, mereka masuk ke dalam rumah. Tinggal aku sendiri sekarang, aku
termenung.
Sejak saat itu aku tak lagi berani mengajak bapak berbicara. Bapak
sendiri juga tak pernah membangunkanku lagi saat subuh, pekerjaan itu
digantikan ibuku yang sangat sabar dan lembut padaku.
Aku sudah bosan dengan ini semua, aku bosan dengan segala
kebodohan yang ada di sini. Bukan berarti semua orang di sini bodoh, tidak.
Tapi pemikiran sempit orang-orang di sini, orang-orang tua yang berpikir
terlalu sempit hingga anaknya haram untuk menjadi pintar.
Karena kebosananku itu akhirnya kuberanikan diri untuk melawan,
aku ingin menemui mas Anang di Solo. Pasti ia mau membantuku, aku optimis
karena memang biasanya seperti itu. Mas Anang anak yang pintar sejak kecil,
sebenarnya ia tau akan wabah kebodohan di desaku, selama ini ia juga yang
memberiku motivasi untuk terus sekolah, menjadi orang yang berpendidikan. Pasti
mas Anang mau membantuku.
Pagi ini aku berniat untuk pergi ke Solo, menemui mas Anang. Aku
sudah pamit pada ibu dan mbok semalam, dengan berat hati
mereka mengijinkan. Selain dengan bekal uang hasil tabunganku selama ini, juga
beberapa lembar sangu dari ibuk, aku berangkat
ke Solo.
Sudah hampir seminggu aku di Solo, berkat mas Anang aku bisa
mendaftar kuliah di kampusnya yang negeri itu. Kata mas Anang biaya kuliah di
kampusnya sangat terjangkau, hingga kampusnya terkenal dengan sebutan
"kampus rakyat". Aku didaftarkan pada dua jalur sekaligus, jalur undangan
tanpa tes dan jalur tes tulis. Jalur undangan tinggal menunggu pengumumannya
dua minggu lagi. Tes tulisnya dijadwalkan sehari setelah pengumuman jalur undangan.
Selama menunggu itu aku tinggal di kos mas Anang, belajar demi tes tulis kalau
saja aku tidak lolos jalur undangan.
Besok penerimaan jalur undangan diumumkan. Sore ini aku diajak mas
Anang ke kampus. Mas Anang juga seorang aktivis, dia ketua BEM di Fakultasnya.
Sore ini ia ada rapat dengan teman-teman BEMnya. Aku ingin seperti mas Anang
ketika kuliah nanti, anganku. Aku berkeliling kampus selama mas Anang rapat di
salah satu ruangan di Fakultasnya. Seusai sholat magrib mas Anang mengajakku
untuk makan di angkringan langganannya, selama di Solo mas Anang selalu
mengajakku makan malam di sini. Aku paham betul mahasiswa seperti mas Anang
ini, harus pandai mengatur pengeluaran. Aku juga harus seperti itu nanti agar
bisa bertahan hidup di perantauan.
“Mas sebenarnya bapak itu takut kalau nanti biaya kuliahku mahal.”
Sambil menyendok nasi kucingnya dia menjawab, “Santai saja nanti
aku yang ngomong ke bapakmu. Kalau besok kamu dinyatakan lulus, lihat sendiri
semurah apa biaya kuliah di sini. Kamu bisa kerja di tempat fotocopy utara
kampus, ada temanku di sana. Gajinya lumayan, cukuplah buat makan nasi kucing
sama biaya kuliahmu tiap semester.”
Setelah makan, kami kembali ke kos. Semoga besok ada namaku di
pengumuman.
Assolaatukhairumminannaum..... Adzan subuh berkumandang,
aku masih bersila di atas sajadah. Mas Anang juga sudah bangun, ia mengajakku
pergi ke masjid dekat kosnya.
“Gimana man deg-degan to?.” Kata mas Anang sambil membenarkan
kancing baju kokonya, kami berjalan ke masjid.
“Ya... lumayan mas, titip doanya ya mas hehe.” Jawabku sambil
nyengir.
Setelah cukup terang mas Anang menyuruhku untuk segera mandi dan
bersiap, aku diajak ke kampus pagi ini. Kata mas Anang kalau lihat pengumuman
online keluarnya masih lama, bisa-bisa hingga dhuhur nanti baru ada. Mas anang
mengajakku melihat di papan pengumuman depan kampus. Bukannya tak sabar, mas
Anang juga ada urusan di kampus, sekalian saja katanya.
Di depan kampus sudah banyak orang ternyata, mereka juga mau
melihat pengumuman sepertiku. Dari dalam sebuah ruangan seorang bapak
berpakaian rapi berjalan keluar menuju papan pengumuman membawa satu map
lumayan tebal. Mungkin bapak itu salah satu dosen di sini dan membawa hasil
pengumuman, hendak menempelkannya di papan pengumuman. Ternyata benar
terkaanku, bapak itu menempelkan satu-persatu kertas di papan pengumuman.
Setelah selesai, orang-orang yang tadinya berkumpul di depan kampus segera
mendekat ke papan pengumuman. Beberapa terlihat tersenyum setelah membaca
pengumuman itu, beberapa terlihat biasa-biasa saja, beberapa juga tampak sayu
dan sedih. Aku tau maksud yang tersirat dari berbagai ekspresi itu, entah apa
ekspresiku setelah membaca pengumuman nanti.
Setelah sepi aku mengajak mas Anang melihat papan pengumuman.
Hanya tersisa beberapa orang di depan papan itu, masih mecari-cari namanya.
“Sampean aja
mas yang lihat, aku ndredeg.” Pintaku
pada mas Anang. Aku berdiri beberapa langkah dari papan itu, tak cukup
bernyali untuk lebih mendekat lagi. Segera mas Anang pergi mendekati papan
pengumuman. Setelah melihat mas Anang menghampiriku dengan muka yang sangat
datar.
Aku penasaran sebenarnya, kenapa mas Anang tak nampak senang, apa
aku belum beruntung?
“Gimana mas aku?.”
“Gimana apanya, kamu kan dari tadi di sini? hahaha.” Mas Anang
malah mencandaiku.
“Jangan gitu mas, aku serius!.” Jawabku kesal.
“Ayo kita segera ke fotocopy utara kampus, setelah itu ke masjid
dekat kos, katanya masjid lagi butuh orang buat jadi takmirnya.” Mas Anang
menepuk pundakku.
Betapa tidak, aku makin penasaran dibuatnya. Mas Anang mau
fotocopy apa ini? Atau mas Anang juga mau jadi takmir? Akhirnya kami menaiki
motor dan segera pergi ke arah fotocopy.
“Kamu mulai minggu depan kerja di fotocopy ya? Nanti tinggalnya di
kamar pengurus masjid. Biar gajimu bisa buat daftar ulang semester pertama.
Oke?” Kata mas Anang sambil menyetir motornya.
“Jadi aku lulus mas?.” Tanyaku sangat penasaran.
“Alhamdulillah man! Berkat usaha nekatmu ini!.”
Akhirnya aku bisa kuliah juga. Selain rasa bahagia tak ada lagi
yang ada dalam diriku saat ini. Bahkan aku ingin meneriakkan takbir sekencang-kencangnya.
Allahu akbar!!! Hatiku berteriak kencang.
Masih ada waktu satu minggu sebelum aku bekerja di fotocopy. Bapak
ketua takmir masjid juga menyuruhku mengambil barang-barang dulu, santai saja
katanya. Aku harus pulang siang ini, mungkin beberapa hari aku di rumah. Akan
kusampaikan kebahagiaanku ini pada orang-orang di rumah. Semoga mereka, bapak
khususnya mengijinkanku untuk kuliah. Untuk biaya hidup dan semester aku
andalkan lewat fotocopy. Aku juga tak perlu memikirkan tempat tinggal, selain
ada kos mas Anang, aku juga bisa tinggal di masjid, mengurus masjid. Akhirnya
anakmu mau kuliah pak, buk. Cucumu bakal kuliah mak, mbok.
Kalimat-kalimat itu yang menemaniku selama perjalanan pulang.
SELESAI
Yogyakarta, 18 Oktober 2015
Catatan:
Tangi = bangun
Angop = menguap
Mak = kakek
Mbok = nenek
Qobliyah = sholat sunah sebelum
sholat wajib
Ndeso = Kampungan
Katrok = udik
Makadaman = jalan yang masih
berupa tatanan bebatuan sebelum diaspal
Sangu = uang jajan
Tegal = sawah atau ladang
Nggih = iya
Modin = perangkat desa yang bertugas
mengurus acara keagamaan di desa, seperti kematian, pernikahan, dll
Pakdhe = kakak dari ayah atau ibu
Part time = paruh waktu
Eman-eman = sayang
Angon = menggembala ternak
Sampean = kamu ke orang yang lebih
tua sedikit, seperti kakak dsb
Ndredeg = perasaan deg-degan
Shaf = barisan dalam sholat
Assolaatukhairumminannaum =
petikan adzan subuh
0 komentar:
Posting Komentar