Rabu, 21 Oktober 2015

Darmanto Ingin Kuliah, pak!

Cerpen Oleh: Irfan Anas



“Le tangi le man, sudah subuh!.” Teriakan bapakku itu membangunkanku pagi ini.

“Emmm nggih pak, ini udah bangun pak.” Jawabku lemas sambil angop. Biar kukumpulkan dulu nyawaku, sambil mengingat-ingat mimpi apa aku semalam? Akhirnya aku bangun dan enyah juga dari kasur dinginku. Setengah malas karena dinginnya udara pagi. Aku berjalan pelan ke kamar mandi untuk kencing dan mengambil wudhu, lalu bergegas ke mushola yang tak jauh dari rumahku.


Dingin dan masih sangat sepi sekali. Di dalam mushola kulihat sudah ada beberapa orang sedang melakukan qobliyah subuh. Aku segera masuk, tanpa ikut melakukan qobliyah, aku segera mengambil mic, lalu melantunkan puji-pujian sembari menunggu jama’ah yang lain. Biasanya tak banyak yang sholat jama’ah di mushola ini, hanya dua shaf jama’ah laki-laki kisaran belasan orang dan lima jama’ah wanita, termasuk mbok dan ibuku.

Oh ya, namaku Darmanto. Entah kenapa, orang-orang lebih suka memanggilku “maman”, supaya lebih gampang mungkin. Aku tinggal di sebuah desa yang sangat asri di kaki sebuah gunung, di ujung barat Jawa Timur. Geyong nama desaku. Baru mendengarnya saja mungkin orang sudah tau betapa ndeso dan katroknya desaku. Namun banyak orang yang iri dengan keasrian desaku, desa yang selalu adem ayem baik dari segi geografis maupun dari segi kehidupan masyarakatnya.

Sebagian besar penduduk di desaku berprofesi sebagai petani. Biasanya kami menanam berbagai macam sayur mayur dan buah-buahan, karena memang tekstur tanah di sini sangat cocok untuk itu. Selain sebagai petani, beberapa orang di sini juga menambah pundi penghasilannya dengan berternak. Biasanya kami berternak kelinci, selain juga kambing dan sapi. Beberapa juga ada yang setiap Minggu dan hari libur mengais rejeki dengan berjualan sate kelinci di sebuah objek wisata yang ada di seberang desaku, Sarangan. Begitulah desaku, desa yang permai walau sebagian orang kota dan sok kota menganggapnya ndeso.

Saat ini aku tengah duduk di kelas tiga SMA, di sebuah SMA negeri yang ada di kota. Perjalanan dari desa ke sekolah cukup jauh, lebih dari setengah jam dengan melewati jalan makadaman dan naik turun melewati bukit. Mau bagaimana lagi? Memang hanya itu SMA terdekat dari desaku. Aku sendiri sebenarnya sudah sangat beruntung bisa sekolah hingga sejauh ini, SMA. Remaja di desaku biasanya hanya bersekolah hingga SD atau SMP saja, setelah itu membantu orang tuanya berladang atau menjual sate kelinci di Sarangan, beberapa juga menikah di usia yang sangat belia. Itulah desaku.

“Ini sangumu le, pulang sekolah langsung ke tegal ya! Bantu bapak sama makmu panen wortel!.” Tegas bapakku sambil memberikan selembar uang sepuluh ribu sebelum aku menaiki motor vespaku.

nggih pak!.” Jawabku sambil tersenyum. Aku pun segera bergegas ke sekolah, jika tak begitu aku bisa terlambat dan berjemur di lapangan basket hari ini. Aku terlalu sering dihukum seperti itu karena terlambat. Bukan karena aku malas, bayangkan saja seberapa jauh jarak yang harus aku tempuh untuk pergi ke sekolah. Belum lagi aku mengendarai vespa dengan medan jalan yang cukup sulit hingga sampai di jalan raya.

“Tumben sekali kamu datang sepagi ini man!.” Sapa pak Wahyu, guru BK di sekolah yang biasa menghukumku karena datang terlambat.

“Alhamdulillah pak, di jalan nggak ada paku.” Cetusku sambil cengar-cengir, tanda mengajak bercanda pak Wahyu.

“Sudah sana parkir motormu lalu segera masuk kelas, bapak tau ada PR yang belum kamu selesaikan di rumah kan?.” Timpal pak Wahyu menanggapi candaanku.

“Siap komandan!.” Jawabku singkat, sambil hormat ke pak Wahyu. Aku segera ke parkiran, lalu berlari ke kelas.

Aku sampai di sekolah sebelum teman-temanku tiba. Tumben sekali kelas masih kosong, hanya beberapa orang yang kulihat di halaman tadi, selain pak Wahyu dan pak Jumiran, tukang kebun di sekolah.


Sepulang dari sekolah aku segera menuju ke tegal, ada bapak dan mak menunggu di sana. Selain ke sekolah, memang itu kebiasaanku setiap hari.

“Eh bocah sekolahan sudah pulang to?.” Sapa pak Parno, tetangga sebelah rumahku.
Pak Parno juga ayah dari Udin, teman kecilku. Tapi sayangnya Udin tak dapat melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi lagi, ia hanya lulusan SD. Ada yang salah memang dari paradigma dan persepsi sebagian besar orang tua di desaku, pikiran mereka terlalu sempit. Menurut mereka untuk apa menyekolahkan anak tingi-tinggi, toh akhirnya sama saja hanya jadi petani dan penjual sate kelinci, paling banter mungkin hanya jadi modin atau perangkat desa yang lain. Seperti bapakku, selain petani ia juga seorang modin yang ada di desa. Saking banyaknya yang berpikiran sempit seperti itu, kini paradigma itu bahkan telah menjadi semacam adat dan tradisi di sini. Itulah yang selama ini kulawan, aku tak mau terlalu bodoh untuk tidak sekolah. Bahkan aku ingin melanjutkan kuliah nanti!

“Hehe iya pak, Udin mana pak?.”

“Itu man lagi di kandang, ngasih makan sapi.” Jawabnya sambil mengangkat setundun rumput yang baru saja ia pangkas, untuk makan ternak biasanya. Setelah itu, pak Parno langsung berlalu berlawanan arah denganku menuju ke kandangnya.

Sebenarnya Udin juga sangat ingin melanjutkan sekolah sepertiku, dulu aku selalu memaksanya agar meneruskan sekolah. Tapi ternyata pikiran ayahnya terlanjur membatu, tak ingin anaknya sekolah tinggi-tinggi. Sama saja tak ingin punya anak pintar, pikirku melawan.

Setiap harinya aku selalu menjalani hari-hari dengan bersemangat, mengalir seperti  air, sesekali juga melawan arus jika ada sesuatu yang melawan pikiran yang kuyakini itu baik dan benar. Akhirnya detik-detik akhir masa SMAku pun tiba, tiga hari ke depan aku menjalani Ujian Akhir Sekolah. Tandanya aku harus lebih giat dan rajin selama itu, supaya nanti nilai yang kudapat sesuai dengan apa yang kuinginkan, agar aku dapat melanjutkan kuliah!

Keinginanku untuk melanjutkan kuliah ini sama sekali belum pernah aku sampaikan pada kedua orang tuaku, hanya teman-teman sekolah dan beberapa guru yang dekat denganku yang tau. Aku belum tau pasti, apakah bapakku merestuinya ataukah tidak. Yang jelas, selama ini ibu selalu mendukung keinginanku selama itu baik. Sebenarnya belum pernah terpikirkan bagaimana sikapku jika mungkin nanti bapak tau dan melawan keinginanku, tetap saja aku harus melawan tradisi yang kuanggap dangkal tadi.

Ujian Akhir Sekolah telah berlalu, tak lama lagi nilai ujianku keluar, aku tak sabar menunggu hari itu, sambil terus berdoa tentunya. Alhamdulillah, hari itupun tiba, hari pengumuman ujianku. Aku sudah merencanakannya sebelumnya, jika nilaiku baik aku akan menyampaikan keinginanku pada ibu, semoga ibu bisa membantuku untuk menyampaikan itu pada bapak. Nilaiku pun keluar, aku lulus dengan rata-rata nilai ujianku hampir sembilan. Inilah saatnya, pikirku tenang.

“Buk? Maman pengen ngomong sama ibuk.” Kataku pada ibuku saat kulihat ibu sedang memasak di dapur.

“Ada apa to le? Ooo iya, gimana nilaimu? Bukannya keluar hari ini le?.” Ibu membalas, ia mematikan kompor lalu menghampiriku.

“Maman lulus buk, alhamdulillah nilainya pun bagus.” “Tapi ada yang lebih penting dari itu buk.” Lanjutku.

“Kenapa to le kenapa?” Tanya ibu sambil menatapku tajam, terlihat ibu penasaran dengan apa yang ingin aku katakan.

Aduh aku takut ibu kaget dengan apa yang akan aku sampaikan padanya. Wajar saja, jarang sekali orang di desaku ini yang melanjutkan kuliah. Kalaupun ada mungkin satu-dua orang yang nekat merantau dan kuliah tanpa sepengetahuan orang tuanya, tiba-tiba mereka pulang ke desa sudah dengan gelar sarjananya saja, lalu mengajar di sekolah-sekolah sekitar desa. Bagiku mereka itu orang-orang hebat, mereka pejuang yang berani. Mungkin itu jalan selanjutnya jika bapak benar-benar tak dapat kululuhkan. Toh ada mas Anang anak pakdheku di kota yang saat ini tengah kuliah di Solo, pasti ia dan pakdhe mau membantu. Alasan mengapa aku bisa melanjutkan sekolah hingga SMA, sebenarnya juga karena bantuan kakak sepupu dan pakdheku itu.

“Maman pengen ku...ku...kuliah buk.” Kataku gagap.
Ibuku terdiam mendengar apa yang aku katakan. Terlihat ada beban dalam pikirannya, mungkin karena khawatir jika aku kuliah ibu tak dapat membiayainya, atau takut bapak akan marah jika mengetahui itu. Entahlah aku benar-benar tak tega sebenarnya, tapi tekadku sudah hampir bulat sempurna. Ibu juga tau jika dari dulu prinsipku dalam hal pendidikan memang sulit untuk dilawan.

Sebenarnya aku tak butuh kuliah di kampus-kampus besar yang terkenal mahal biayanya, cukup di kampus negeri yang biayanya relatif terjangkau, aku tau kampus-kampus itu. Aku ingin kesana, walau dengan biaya murah asal aku bisa pandai. Selain itu, jika mungkin bapak tidak mengijinkan, aku bisa tetap nekat kuliah di kampus yang biayanya murah itu. Aku bisa kerja part time di luar jam kuliahku nanti.

“Nanti ya le kita bicarakan dengan bapakmu, juga mak sama mbokmu.” Kata ibuku lemas.

“Buk maman bisa minta tolong mas Anang nanti, untuk sementara maman bisa tinggal di kos mas Anang, untuk biaya kuliah maman bisa jualan sate selama liburan ini. Ya buk?”

“Nanti le, tunggu bapakmu pulang.” Ibuku pun kembali ke dapur melanjutkan memasak yang tadi sempat kujeda.

Senja pun tiba, semua sudah ada di rumah termasuk bapak dan mak yang seharian berada di tegal. Biasanya setiap sore kami berkumpul di depan rumah, menikmati senja dengan hawa damainya sambil bercengkerama. Ini saat yang paling tepat menurutku, di samping itu bapak juga sudah beristirahat setelah ashar tadi. Aku pun mengutarakan keinginanku di tengah-tengah obrolan senja kami.

“Pak alhamdulillah maman lulus, nilainya juga bagus.” Aku mulai bicara, mengarahkan pembicaraan ke topik yang lain, keinginanku untuk kuliah.

“Wah selamat ya le, akhirnya sudah lulus juga kamu, bisa bantu bapak ke tegal tiap hari.” Bapak tersenyum. Aku tau kini bapak lega aku tak perlu sekolah lagi, tapi bukan itu maksudku.

“Tapi pak, apa tidak eman-eman. Nilai maman bagus, masak iya harus berhenti pak?” Aku tak berani langsung terus terang ke bapak, takut senyumnya berganti emosi dan kemarahan padaku.

“Maksudmu le? Kamu pengen apa to? Sekolah lagi? Memangnya setelah SMA ada sekolah lagi? Bukannya SMA itu yang terakhir le?.” Bapak menimpal pertanyaanku sebelumnya dengan berbagai pertanyaan itu. Wajar saja jika bapak tak tau tentang kuliah, apalagi kampus atau universitas. Mungkin jika aku mengatakan universitas, bapak mengira itu nama salah satu permainan di pasar malam. Bapak hanya lulusan MTs, setara dengan SMP.

“Maman pengen kuliah pak, seperti mas Anang.” Aku menundukkan kepala.

“Sekolah seperti mas Anang le? Bukannya butuh biaya yang banyak? Tegal yang mana yang harus bapak jual untuk membiayaimu? Atau rumah ini saja bapak jual biar mak sama mbokmu tinggal di gubuk yang ada di tegal itu, atau di kandang sapi?.” Aku tau bapak mulai marah.

“Tidak semua kuliah itu mahal pak.” Aku tak berani berkata lagi, takut bapak malah mengumpatiku, atau bahkan menendangku dari rumah.

“Ngapain kamu sekolah sampai SMA kalau akhirnya kamu minta kuliah seperti ini? Ngapain kamu kuliah kalau nanti akhirnya kamu cuma jualan sate le?.” Benar saja bapak semakin marah padaku.

“Nggak usah kuliah! Bantu saja makmu angon sapi!.” Tambah bapakku. Bapak pun masuk ke dalam rumah, mengambil sarung lalu pergi ke mushola. Ibu dan mbok yang mendengar itu lantas menangis, mereka masuk ke dalam rumah. Tinggal aku sendiri sekarang, aku termenung.

Sejak saat itu aku tak lagi berani mengajak bapak berbicara. Bapak sendiri juga tak pernah membangunkanku lagi saat subuh, pekerjaan itu digantikan ibuku yang sangat sabar dan lembut padaku.

Aku sudah bosan dengan ini semua, aku bosan dengan segala kebodohan yang ada di sini. Bukan berarti semua orang di sini bodoh, tidak. Tapi pemikiran sempit orang-orang di sini, orang-orang tua yang berpikir terlalu sempit hingga anaknya haram untuk menjadi pintar.

Karena kebosananku itu akhirnya kuberanikan diri untuk melawan, aku ingin menemui mas Anang di Solo. Pasti ia mau membantuku, aku optimis karena memang biasanya seperti itu. Mas Anang anak yang pintar sejak kecil, sebenarnya ia tau akan wabah kebodohan di desaku, selama ini ia juga yang memberiku motivasi untuk terus sekolah, menjadi orang yang berpendidikan. Pasti mas Anang mau membantuku.

Pagi ini aku berniat untuk pergi ke Solo, menemui mas Anang. Aku sudah pamit pada ibu dan mbok semalam, dengan berat hati mereka mengijinkan. Selain dengan bekal uang hasil tabunganku selama ini, juga beberapa lembar sangu dari ibuk, aku berangkat ke Solo.

Sudah hampir seminggu aku di Solo, berkat mas Anang aku bisa mendaftar kuliah di kampusnya yang negeri itu. Kata mas Anang biaya kuliah di kampusnya sangat terjangkau, hingga kampusnya terkenal dengan sebutan "kampus rakyat". Aku didaftarkan pada dua jalur sekaligus, jalur undangan tanpa tes dan jalur tes tulis. Jalur undangan tinggal menunggu pengumumannya dua minggu lagi. Tes tulisnya dijadwalkan sehari setelah pengumuman jalur undangan. Selama menunggu itu aku tinggal di kos mas Anang, belajar demi tes tulis kalau saja aku tidak lolos jalur undangan.

Besok penerimaan jalur undangan diumumkan. Sore ini aku diajak mas Anang ke kampus. Mas Anang juga seorang aktivis, dia ketua BEM di Fakultasnya. Sore ini ia ada rapat dengan teman-teman BEMnya. Aku ingin seperti mas Anang ketika kuliah nanti, anganku. Aku berkeliling kampus selama mas Anang rapat di salah satu ruangan di Fakultasnya. Seusai sholat magrib mas Anang mengajakku untuk makan di angkringan langganannya, selama di Solo mas Anang selalu mengajakku makan malam di sini. Aku paham betul mahasiswa seperti mas Anang ini, harus pandai mengatur pengeluaran. Aku juga harus seperti itu nanti agar bisa bertahan hidup di perantauan.

“Mas sebenarnya bapak itu takut kalau nanti biaya kuliahku mahal.”

Sambil menyendok nasi kucingnya dia menjawab, “Santai saja nanti aku yang ngomong ke bapakmu. Kalau besok kamu dinyatakan lulus, lihat sendiri semurah apa biaya kuliah di sini. Kamu bisa kerja di tempat fotocopy utara kampus, ada temanku di sana. Gajinya lumayan, cukuplah buat makan nasi kucing sama biaya kuliahmu tiap semester.”

Setelah makan, kami kembali ke kos. Semoga besok ada namaku di pengumuman.

Assolaatukhairumminannaum..... Adzan subuh berkumandang, aku masih bersila di atas sajadah. Mas Anang juga sudah bangun, ia mengajakku pergi ke masjid dekat kosnya.

“Gimana man deg-degan to?.” Kata mas Anang sambil membenarkan kancing baju kokonya, kami berjalan ke masjid.

“Ya... lumayan mas, titip doanya ya mas hehe.” Jawabku sambil nyengir.

Setelah cukup terang mas Anang menyuruhku untuk segera mandi dan bersiap, aku diajak ke kampus pagi ini. Kata mas Anang kalau lihat pengumuman online keluarnya masih lama, bisa-bisa hingga dhuhur nanti baru ada. Mas anang mengajakku melihat di papan pengumuman depan kampus. Bukannya tak sabar, mas Anang juga ada urusan di kampus, sekalian saja katanya.

Di depan kampus sudah banyak orang ternyata, mereka juga mau melihat pengumuman sepertiku. Dari dalam sebuah ruangan seorang bapak berpakaian rapi berjalan keluar menuju papan pengumuman membawa satu map lumayan tebal. Mungkin bapak itu salah satu dosen di sini dan membawa hasil pengumuman, hendak menempelkannya di papan pengumuman. Ternyata benar terkaanku, bapak itu menempelkan satu-persatu kertas di papan pengumuman. Setelah selesai, orang-orang yang tadinya berkumpul di depan kampus segera mendekat ke papan pengumuman. Beberapa terlihat tersenyum setelah membaca pengumuman itu, beberapa terlihat biasa-biasa saja, beberapa juga tampak sayu dan sedih. Aku tau maksud yang tersirat dari berbagai ekspresi itu, entah apa ekspresiku setelah membaca pengumuman nanti.

Setelah sepi aku mengajak mas Anang melihat papan pengumuman. Hanya tersisa beberapa orang di depan papan itu, masih mecari-cari namanya.

Sampean aja mas yang lihat, aku ndredeg.” Pintaku pada mas Anang. Aku berdiri beberapa langkah dari papan itu,  tak cukup bernyali untuk lebih mendekat lagi. Segera mas Anang pergi mendekati papan pengumuman. Setelah melihat mas Anang menghampiriku dengan muka yang sangat datar. 

Aku penasaran sebenarnya, kenapa mas Anang tak nampak senang, apa aku belum beruntung?

“Gimana mas aku?.”

“Gimana apanya, kamu kan dari tadi di sini? hahaha.” Mas Anang malah mencandaiku.

“Jangan gitu mas, aku serius!.” Jawabku kesal.

“Ayo kita segera ke fotocopy utara kampus, setelah itu ke masjid dekat kos, katanya masjid lagi butuh orang buat jadi takmirnya.” Mas Anang menepuk pundakku.

Betapa tidak, aku makin penasaran dibuatnya. Mas Anang mau fotocopy apa ini? Atau mas Anang juga mau jadi takmir? Akhirnya kami menaiki motor dan segera pergi ke arah fotocopy.

“Kamu mulai minggu depan kerja di fotocopy ya? Nanti tinggalnya di kamar pengurus masjid. Biar gajimu bisa buat daftar ulang semester pertama. Oke?” Kata mas Anang sambil menyetir motornya.

“Jadi aku lulus mas?.” Tanyaku sangat penasaran.

“Alhamdulillah man! Berkat usaha nekatmu ini!.”

Akhirnya aku bisa kuliah juga. Selain rasa bahagia tak ada lagi yang ada dalam diriku saat ini. Bahkan aku ingin meneriakkan takbir sekencang-kencangnya. Allahu akbar!!! Hatiku berteriak kencang.

Masih ada waktu satu minggu sebelum aku bekerja di fotocopy. Bapak ketua takmir masjid juga menyuruhku mengambil barang-barang dulu, santai saja katanya. Aku harus pulang siang ini, mungkin beberapa hari aku di rumah. Akan kusampaikan kebahagiaanku ini pada orang-orang di rumah. Semoga mereka, bapak khususnya mengijinkanku untuk kuliah. Untuk biaya hidup dan semester aku andalkan lewat fotocopy. Aku juga tak perlu memikirkan tempat tinggal, selain ada kos mas Anang, aku juga bisa tinggal di masjid, mengurus masjid. Akhirnya anakmu mau kuliah pak, buk. Cucumu bakal kuliah mak, mbok. Kalimat-kalimat itu yang menemaniku selama perjalanan pulang.

SELESAI
Yogyakarta, 18 Oktober 2015

Catatan:
Tangi = bangun
Angop = menguap
Mak = kakek
Mbok = nenek
Qobliyah = sholat sunah sebelum sholat wajib
Ndeso = Kampungan
Katrok = udik
Makadaman = jalan yang masih berupa tatanan bebatuan sebelum diaspal
Sangu = uang jajan
Tegal = sawah atau ladang
Nggih = iya
Modin = perangkat desa yang bertugas mengurus acara keagamaan di desa, seperti kematian, pernikahan, dll
Pakdhe = kakak dari ayah atau ibu
Part time = paruh waktu
Eman-eman = sayang
Angon = menggembala ternak
Sampean = kamu ke orang yang lebih tua sedikit, seperti kakak dsb
Ndredeg = perasaan deg-degan
Shaf = barisan dalam sholat

Assolaatukhairumminannaum = petikan adzan subuh

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.