(Untuk para Kyai, Ustadz, dan Santri
yang dengan ikhlas menjadi agen kebaikan semesta alam)
Perawakannya tinggi, tidak terlalu kurus, cukup berisi.
Bentuk wajahnya lonjong, dengan dahi tak terlalu lebar dan dagu dengan jenggotnya yang rata. Mulutnya bak bulan
sabit sepanjang hari, tak pernah lepas dari senyuman. Pantas ribuan santri
betah di pesantren yang telah puluhan tahun ia rintis itu. Begitu pula
masyarakat, selalu segan padanya. Kaji Kanip, adalah seorang Kyai pendiri salah
satu pesantren di pelosok kota di Jawa Timur. Nama aslinya Kyai Haji Khanif
Anwar, mungkin itu alasan mengapa ia dipanggil Kaji Kanip.
Bagi ribuan
santrinya, Kaji Kanip adalah sosok Kyai panutan. Wawasan pengetahuannya luas,
tak hanya ilmu agama. Walaupun ia seorang Kyai, tak pernah ada seorang santri
pun yang pernah bisa mencium tangannya saat bersalaman dengannya. Mungkin itu
salah satu bentuk ketawadhu’annya. Di mana pun Kaji Kanip berada, di situ ada
ilmu, di situ ia menebar hikmah dan manfaat. Bagai peri bahasa, ada gula ada
semut.
“Di mana pun kalian berada, tebarlah benih kebaikan pada
sekalian umat, jangan pilih-pilih.” Kalimat itulah yang tak bosan ia wasiatkan
pada para santrinya. Mungkin juga pada setiap jama’ah pengajiannya, dengan
bahasa yang berbeda. Memang, Kaji Kanip adalah lambang kebaikan. Ia bagaikan
petani yang selalu menebar benih, yang ditebar tak sembarang benih, benih
kebaikan. Bagi orang sebaik Kaji Kanip, sudah pasti ia sering memanen
benih-benih kebaikan yang selalu ia tebar. Tak heran, rumahnya tak pernah sepi
dari tamu-tamu yang datang dari berbagai daerah. Terlihat dari nomor-nomor
kendaaraannya, dari sepeda motor hingga bis kecil dan besar yang biasa
terparkir di depan masjid pesantren. Begitu pula saat pesantrennya mengadakan
pengajian-pengajian, selain ribuan santrinya, tak pernah absen ribuan jama’ah
dari luar pesantren, juga dari luar kota. Herannya, dengan jama’ah pengajian
yang ribuan itu tak pernah sekali pun kekurangan ‘snek’ untuk dibagikan pada
yang hadir. Mungkin itu salah satu karomah dari kebaikannya.
Hari itu seusai Jum’atan, Kaji Kanip mengumpulkan para
santri di ruangan utama masjid. Biasanya memang seperti ini, Kaji Kanip selalu
memberikan wejangan dan kucuran ilmu pada seluruh santrinya. Setelah para
santri berkumpul, semuanya diam menghormati Kyainya hendak membagikan
ilmu-ilmunya, sebagian banyak membawa alat tulis untuk menulis pesan-pesan yang
disampaikan Kaji Kanip. Bagai ladang di tengah musim penghujan, bulir-bulir air
menyiraminya; begitulah gambaran saat Kaji Kanip menyampaikan ilmunya pada para
santri. Petuahnya menyirami ribuan hati yang gersang hingga tumbuh subur
kehidupan di dalamnya.
“santri-santri, di manapun kalian berada nanti, mengabdikan
diri mengamalkan ilmu di tengah masyarakat, kalian-kalian inilah yang
bertanggung jawab atas keshalehan umat di sana. Kedamaian dan kerukunan
masyarakat di sana. Itulah yang akan menjadi amal jariyah kalian saat kalian
mati nanti, yang akan selalu menerangi kubur-kubur kalian. Yang akan
menghantarkan kalian pada surga-Nya. Jadi, jadilah sumber-sumber air di tengah
padang tandus, yang tiap saat bisa diambil manfaatnya oleh orang-orang
sekitarnya.” Gaya bicaranya yang khas, kalem, ramah, selalu nikmat untuk
didengarkan, mengalahkan syair-syair rebana yang dinyanyikan penyanyi-penyanyi
ulung. Itulah mengapa setiap kali Kaji Kanip mengumpulkan santri-santrinya, tak
ada satu pun santri yang absen dan meninggalkan kegiatan itu. Kecuali mereka
yang ditugaskan oleh Kaji Kanip untuk keperluan tertentu, biasanya belanja di
pasar sayur, untuk masak di dapur umum pesantren.
Setelah lebih dari satu jam Kaji Kanip memberikan
wejangannya, menyirami hati-hati para santrinya, lantas Kaji Kanip tetap berada
di masjid. Biasanya Kaji Kanip menunggu waktu ashar sambil membaca qur’an atau
buku, atau juga berdzikir bermunajat di shaf pertama, depan mimbar masjid.
Selain berbagai kebaikan itu, Kaji Kanip juga khas dengan peci putihnya yang
bersih. Berbeda dengan peci putih para santri yang biasanya lebih kekuningan
atau kecoklatan. Selain itu baunya juga harum dengan minyak wangi khas mistik
putihnya yang biasa Kaji Kanip beli saat keluar kota mengisi pengajian.
Setelah para santri meninggalkan masjid, meneruskan
aktivitas mereka, juga makan siang. Kaji Kanip berjalan menuju ke arah mimbar,
lalu duduk di depan mimbar, tempat biasa Kaji Kanip bermunajat selain di tempat
perimaman. Lantas Kaji Kanip mengeluarkan tasbih kayu cendana yang ada di saku
baju sebelah kanannya. Saat itu dari peci hingga sarungnya berwarna putih,
bersih tanpa terlihat satupun bekas noda. Kaji Kanip nampak memutar tasbihnya,
matanya terpejam, bibirnya bergeming memuji asma-asmaNya.
Ketika shalat ashar tiba. Segera salah satu santri nampak
berjalan dari asrama menuju masjid. Sepertinya santri itu yang bertugas adzan
ashar ini. Melihat Kaji Kanip masih duduk khusyu’ di depan mimbar, si santri
memasuki masjid lalu menghidupkan speaker dan mengambil microfon pelan-pelan
menghormati Kaji Kanip yang ia kira tengah khusyu’ berdzikir. Adzan
berkumandang, satu-persatu santri berjalan menuju masjid. Hingga semua santri
telah berkumpul di dalam masjid, mereka mengaji dengan qur’an-qur’an kecilnya
sambil menunggu iqomat. Nampak Kaji Kanip masih khusyu’ dengan dzikirnya,
matanya terpejam, bibirnya nampak diam. Mungkin hatinya berdzikir, pikir para
santri yang ada di sebelahnya.
Setelah lebih dari setengah jam Kaji Kanip belum juga
memberikan isyarat untuk iqomat, santri pun mulai khawatir. Santri yang tadi
adzan menghampiri Kaji Kanip, lalu duduk dibelakangnya. Ia berbisik.
“Yai, sudah saatnya iqomat.”
Namun tak ada respon dari Kaji Kanip. ia mengulang.
“maaf yai sudah saatnya iqomat”
Lagi-lagi tak ada respon apa-apa dari Kaji Kanip.
Si santri itu pun tampak tolah-toleh mencari salah satu
ustadz agar dibangunkannya Kaji Kanip yang pikir santri itu Kaji Kanip
tertidur. Ia tak cukup berani untuk menyentuh Kaji Kanip dan membangunkannya.
Akhirnya ia berjalan ke salah satu ustadz, pak Sholikin.
“maaf pak dari tadi saya sudah berbisik ke pak yai tapi pak
yai diam saja, tidak merespon. Mungkin beliau tertidur?”
“oh iya coba saya yang bangunkan ya. Kamu segera siap-siap
iqomat.”
“iya pak.”
Pak sholikin dengan tenang menuju ke arah Kaji kanip, duduk
di sampingnya, lalu berbisik sambil menyentuh salah satu lutut Kaji kanip
dengan sangat pelan dan sopan.
“Ngapunten Kaji Kanip, sudah saatnya iqomat. Kaji
atau saya yang menjadi imam?”
Kaji Kanip tetap diam. Kekhawatiran mulai timbul di hati
para santri dan ustadz di samping dan belakang kaji Kanip. “ada apa dengan Kaji
Kanip ya?” tanya orang-orang itu dalam hati, termasuk pak Sholikin yang ada di
sampingnya. Pak Sholikin memberanikan diri untuk menggoyang badan Kaji Kanip.
“yai.... yai....?????” tetap tak ada respon. Setelah ustadz Sholikin memeriksa,
ia kaget Kaji Kanip tak lagi bernafas. “Kaji Kanip wafat???” ratap para santri
dan ustadz yang nampak mata-mata mereka mulai merah mengetahui apa yang terjadi
pada Kyai mereka, Kaji Kanip. Tak ada yang pernah menduga bahwa secepat itu
Kaji Kanip wafat. Padahal baru beberapa jam yang lalu Kaji Kanip masih
mengimami sholat Jum’at hingga memberi wejangan untuk para santri. Tak ada
tanda-tanda darinya. Sungguh tiba-tiba, saat tengah melantunkan dzikir,
bermunajat, malaikat malakut menjemput arwah Kaji Kanip dengan begitu damai. “Subhanallah....”
hati para santri dan ustadz bergetar.
Lantas ustadz Sholikin segera menuju ke ndalem Kaji Kanip
untuk mengabari Nyai Sholikah, istri Kaji Kanip. Hanya ada Nyai dan beberapa
santriwati di ndalem. Anak-anaknya tengah kuliah di Mesir dan Madinah,
tak mungkin bisa menghubungi mereka kecuali lewat email atau jejaring sosial,
itu pun tak mesti langsung dibaca.
Seusai sholat ashar, para santri segera berebut untuk
memandikan jenazah Kaji Kanip, orang desa berkumpul di situ. Bahkan orang-orang
dari luar desa yang telah mendengar kabar itu pun telah ada di situ. Akhirnya
para ustadzlah yang memandikan jenazah Kaji Kanip, lalu mengkafaninya. Bau
harum mistik putih yang biasa Kaji Kanip pakai tercium di seluruh komplek
pesantren. Padahal para ustadz yang memandikan dan mengkafani tidak memberinya
wangi-wangian sama sekali kecuali beberapa bunga. Para petakziah yang telah
hadir semua bergetar menghirup keharuman itu, “subhanallah... karomah Kaji
Kanip ini, orang baik dan shaleh....” Kata salah seorang petakziah.
Jenazah telah siap untuk disholatkan. Ternyata di depan,
petakziah telah membeludak, ratusan, mereka bergantian menyolati jenazah. Harum
mistik putih makin menguat, sungguh menciptakan kedamaian saat itu. Tiap detik
selalu ada saja petakziah yang datang, belum ada yang pulang sama sekali sejak
awal. Yang ada makin banyak yang datang, setiap detiknya. Sampai-sampai jenazah
dari ndalem dipindahkan ke
masjid, disholatkan di masjid secara bergantian. Karena saat sholat jenazah
jama’ah nampak memenuhi masjid. Begitu seterusnya bergantian selalu penuh.
Aroma mistik putih menyebar di seluruh penjuru masjid. Banyak orang
bersenandung mengucap pujian. Sungguh orang baik, saat wafat pun masih menebar
kebaikan.
Dengan berbagai pertimbangan, jenazah segera dimakamkan.
Selain seluruh komplek pesantren yang penuh dengan ribuan petakziah dari berbagai kalangan, termasuk para Kyai pimpinan berbagai pesantren lain, juga jama'ah pengajian Kaji Kanip di berbagai daerah. Sepanjang
jalan kampung juga tak sepi dari petakziah. Ribuan petakziah mengiringi
jenazah Kaji Kanip. Sebenarnya ada sebuah pertanda, sejak pagi langit nampak
damai dan teduh dengan awan putihnya yang menggumpal memayungi jagad. Khususnya
di atas pesantren. Matahari nampak malu menampakkan diri dengan teriknya, malu
saat malaikat malakut membawa roh Kaji Kanip yang shaleh itu. Sore itu ketika
pemakaman pun langit sangat teduh dan hawa yang damai. Yang lebih membuat
puluhan ribu petakziah yang hadir bergetar adalah adanya awan yang
membentuk lafadz Allah yang di sampingnya nampak ada awan yang membentuk wajah
senyum seseorang. Subhanallah, puji-pujian melantun dari mulut ribuan petakziah
yang menghantarkan jenazah Kaji Kanip menuju pemakaman.
Tiba-tiba dari kejauhan terlihat beberapa mobil berhenti
karena tak lagi bisa lewat, sepanjang jalan di penuhi ribuan orang petakziah.
Gus Ramli, putra sulung Kaji Kanip yang sedang S-2 di Mesir tampak turun dari salah satu mobil itu. Berjalan menuju ndalem, saat jenazah sedang hendak diantar ke pemakaman.
“tunggu pak, tunggu saya.” Gus Romli berteriak lirih kepada
orang-orang yang ada di depan ndalem.
Pak Sholikin dan beberapa ustadz menghampiri Gus Romli, membawakan barang Gus Romli lalu menggandengnya. Nampak mata Gus Romli merah
menandakan air mata telah menetes sebelumnya. Ia berjalan ke arah keranda,
memeluk Nyai Sholikah yang berdiri di belakangnya.
“alhamdulillah kebetulan dari kemarin saya pengen sekali
pulang ke Indonesia bu, akhirnya tadi subuh saya pulang naik pesawat.
Sebelumnya saya belum mendengar apa-apa, saya memang benar-benar ingin pulang. Habis
ashar pas sudah sampai perbatasan kota, saya mendapat telfon dari mantan santri, katanya abah meninggal buk.” Gus Romli meneteskan air mata lantas melepas
pelukan dari ibunya, ia menggantikan salah satu orang yang memikul keranda
bagian depan.
Jenazah pun digiring menuju pemakaman. Di pemakaman beberapa
penggali kubur telah rampung menggalikan kubur untuk Kaji Kanip. Tak sesulit
dan selama biasanya, mereka rampung hanya dengan beberapa menit saja. Dengan
senang hati, bumi menunggu kedatangan jenazah Kaji Kanip yang shaleh itu.
Burung-burung kecil yang warna-warni telah berkumpul di atas pohon-pohon
kamboja, menggantikan dedaunan dan bunganya yang telah gugur, burung-burung itu turut
mengantarkan kepergian Kaji Kanip. Sungguh jarang ada kematian yang seindah
itu.
Berbagai kebaikan yang telah Kaji Kanip tebar selama
hidupnya, juga berbagai keikhlasan yang Kaji Kanip sumbangkan kepada siapa saja
dan kapan saja semasa hidupnya, di hari kematiannya ikut berkumpul mengiringi
dan mendoakan Kyai sebaik Kaji Kanip. Kaji Kanip wafat di hari Jum’at, hari
yang mulia. Ia wafat setelah mengajarkan ilmu pada para santrinya. Ia juga
wafat saat tengah bermunajat kepada Tuhan. Begitulah orang baik yang selama
hidupnya tak pernah absen menebar kebaikan, saat wafat pun ia wafat di hari
yang baik, saat yang baik pula. Tak hanya orang yang pernah dibagi kebaikan
oleh Kaji Kanip yang merasa kehilangan dan turut mengantar kebaikan.
Bahkan
matahari, awan, tanah, udara, hewan, dan setiap kehidupan dan alam turut serta
merasa kehilangan mengantarkan kepergian Kaji Kanip dengan lantunan damai doa-doa yang
melangit untuk kebaikan Kaji Kanip di alam dan kehidupan selanjutnya. Semesta
alam bertasbih menghantar kepergian sosok panutan penebar kebaikan, Kaji Kanip.
SELESAI
Yogyakarta,
21 Oktober 2015
0 komentar:
Posting Komentar