Selasa, 20 Oktober 2015

Kaji Kanip

(Untuk para Kyai, Ustadz, dan Santri yang dengan ikhlas menjadi agen kebaikan semesta alam)



Perawakannya tinggi, tidak terlalu kurus, cukup berisi. Bentuk wajahnya lonjong, dengan dahi tak terlalu lebar dan dagu dengan jenggotnya yang rata. Mulutnya bak bulan sabit sepanjang hari, tak pernah lepas dari senyuman. Pantas ribuan santri betah di pesantren yang telah puluhan tahun ia rintis itu. Begitu pula masyarakat, selalu segan padanya. Kaji Kanip, adalah seorang Kyai pendiri salah satu pesantren di pelosok kota di Jawa Timur. Nama aslinya Kyai Haji Khanif Anwar, mungkin itu alasan mengapa ia dipanggil Kaji Kanip.

Bagi  ribuan santrinya, Kaji Kanip adalah sosok Kyai panutan. Wawasan pengetahuannya luas, tak hanya ilmu agama. Walaupun ia seorang Kyai, tak pernah ada seorang santri pun yang pernah bisa mencium tangannya saat bersalaman dengannya. Mungkin itu salah satu bentuk ketawadhu’annya. Di mana pun Kaji Kanip berada, di situ ada ilmu, di situ ia menebar hikmah dan manfaat. Bagai peri bahasa, ada gula ada semut.


“Di mana pun kalian berada, tebarlah benih kebaikan pada sekalian umat, jangan pilih-pilih.” Kalimat itulah yang tak bosan ia wasiatkan pada para santrinya. Mungkin juga pada setiap jama’ah pengajiannya, dengan bahasa yang berbeda. Memang, Kaji Kanip adalah lambang kebaikan. Ia bagaikan petani yang selalu menebar benih, yang ditebar tak sembarang benih, benih kebaikan. Bagi orang sebaik Kaji Kanip, sudah pasti ia sering memanen benih-benih kebaikan yang selalu ia tebar. Tak heran, rumahnya tak pernah sepi dari tamu-tamu yang datang dari berbagai daerah. Terlihat dari nomor-nomor kendaaraannya, dari sepeda motor hingga bis kecil dan besar yang biasa terparkir di depan masjid pesantren. Begitu pula saat pesantrennya mengadakan pengajian-pengajian, selain ribuan santrinya, tak pernah absen ribuan jama’ah dari luar pesantren, juga dari luar kota. Herannya, dengan jama’ah pengajian yang ribuan itu tak pernah sekali pun kekurangan ‘snek’ untuk dibagikan pada yang hadir. Mungkin itu salah satu karomah dari kebaikannya.

Hari itu seusai Jum’atan, Kaji Kanip mengumpulkan para santri di ruangan utama masjid. Biasanya memang seperti ini, Kaji Kanip selalu memberikan wejangan dan kucuran ilmu pada seluruh santrinya. Setelah para santri berkumpul, semuanya diam menghormati Kyainya hendak membagikan ilmu-ilmunya, sebagian banyak membawa alat tulis untuk menulis pesan-pesan yang disampaikan Kaji Kanip. Bagai ladang di tengah musim penghujan, bulir-bulir air menyiraminya; begitulah gambaran saat Kaji Kanip menyampaikan ilmunya pada para santri. Petuahnya menyirami ribuan hati yang gersang hingga tumbuh subur kehidupan di dalamnya.

“santri-santri, di manapun kalian berada nanti, mengabdikan diri mengamalkan ilmu di tengah masyarakat, kalian-kalian inilah yang bertanggung jawab atas keshalehan umat di sana. Kedamaian dan kerukunan masyarakat di sana. Itulah yang akan menjadi amal jariyah kalian saat kalian mati nanti, yang akan selalu menerangi kubur-kubur kalian. Yang akan menghantarkan kalian pada surga-Nya. Jadi, jadilah sumber-sumber air di tengah padang tandus, yang tiap saat bisa diambil manfaatnya oleh orang-orang sekitarnya.” Gaya bicaranya yang khas, kalem, ramah, selalu nikmat untuk didengarkan, mengalahkan syair-syair rebana yang dinyanyikan penyanyi-penyanyi ulung. Itulah mengapa setiap kali Kaji Kanip mengumpulkan santri-santrinya, tak ada satu pun santri yang absen dan meninggalkan kegiatan itu. Kecuali mereka yang ditugaskan oleh Kaji Kanip untuk keperluan tertentu, biasanya belanja di pasar sayur, untuk masak di dapur umum pesantren.

Setelah lebih dari satu jam Kaji Kanip memberikan wejangannya, menyirami hati-hati para santrinya, lantas Kaji Kanip tetap berada di masjid. Biasanya Kaji Kanip menunggu waktu ashar sambil membaca qur’an atau buku, atau juga berdzikir bermunajat di shaf pertama, depan mimbar masjid. Selain berbagai kebaikan itu, Kaji Kanip juga khas dengan peci putihnya yang bersih. Berbeda dengan peci putih para santri yang biasanya lebih kekuningan atau kecoklatan. Selain itu baunya juga harum dengan minyak wangi khas mistik putihnya yang biasa Kaji Kanip beli saat keluar kota mengisi pengajian.

Setelah para santri meninggalkan masjid, meneruskan aktivitas mereka, juga makan siang. Kaji Kanip berjalan menuju ke arah mimbar, lalu duduk di depan mimbar, tempat biasa Kaji Kanip bermunajat selain di tempat perimaman. Lantas Kaji Kanip mengeluarkan tasbih kayu cendana yang ada di saku baju sebelah kanannya. Saat itu dari peci hingga sarungnya berwarna putih, bersih tanpa terlihat satupun bekas noda. Kaji Kanip nampak memutar tasbihnya, matanya terpejam, bibirnya bergeming memuji asma-asmaNya.

Ketika shalat ashar tiba. Segera salah satu santri nampak berjalan dari asrama menuju masjid. Sepertinya santri itu yang bertugas adzan ashar ini. Melihat Kaji Kanip masih duduk khusyu’ di depan mimbar, si santri memasuki masjid lalu menghidupkan speaker dan mengambil microfon pelan-pelan menghormati Kaji Kanip yang ia kira tengah khusyu’ berdzikir. Adzan berkumandang, satu-persatu santri berjalan menuju masjid. Hingga semua santri telah berkumpul di dalam masjid, mereka mengaji dengan qur’an-qur’an kecilnya sambil menunggu iqomat. Nampak Kaji Kanip masih khusyu’ dengan dzikirnya, matanya terpejam, bibirnya nampak diam. Mungkin hatinya berdzikir, pikir para santri yang ada di sebelahnya.

Setelah lebih dari setengah jam Kaji Kanip belum juga memberikan isyarat untuk iqomat, santri pun mulai khawatir. Santri yang tadi adzan menghampiri Kaji Kanip, lalu duduk dibelakangnya. Ia berbisik.
“Yai, sudah saatnya iqomat.”
Namun tak ada respon dari Kaji Kanip. ia mengulang.
“maaf yai sudah saatnya iqomat”
Lagi-lagi tak ada respon apa-apa dari Kaji Kanip.
Si santri itu pun tampak tolah-toleh mencari salah satu ustadz agar dibangunkannya Kaji Kanip yang pikir santri itu Kaji Kanip tertidur. Ia tak cukup berani untuk menyentuh Kaji Kanip dan membangunkannya. Akhirnya ia berjalan ke salah satu ustadz, pak Sholikin.
“maaf pak dari tadi saya sudah berbisik ke pak yai tapi pak yai diam saja, tidak merespon. Mungkin beliau tertidur?”
“oh iya coba saya yang bangunkan ya. Kamu segera siap-siap iqomat.”
“iya pak.”
Pak sholikin dengan tenang menuju ke arah Kaji kanip, duduk di sampingnya, lalu berbisik sambil menyentuh salah satu lutut Kaji kanip dengan sangat pelan dan sopan.
Ngapunten Kaji Kanip, sudah saatnya iqomat. Kaji atau saya yang menjadi imam?”
Kaji Kanip tetap diam. Kekhawatiran mulai timbul di hati para santri dan ustadz di samping dan belakang kaji Kanip. “ada apa dengan Kaji Kanip ya?” tanya orang-orang itu dalam hati, termasuk pak Sholikin yang ada di sampingnya. Pak Sholikin memberanikan diri untuk menggoyang badan Kaji Kanip. “yai.... yai....?????” tetap tak ada respon. Setelah ustadz Sholikin memeriksa, ia kaget Kaji Kanip tak lagi bernafas. “Kaji Kanip wafat???” ratap para santri dan ustadz yang nampak mata-mata mereka mulai merah mengetahui apa yang terjadi pada Kyai mereka, Kaji Kanip. Tak ada yang pernah menduga bahwa secepat itu Kaji Kanip wafat. Padahal baru beberapa jam yang lalu Kaji Kanip masih mengimami sholat Jum’at hingga memberi wejangan untuk para santri. Tak ada tanda-tanda darinya. Sungguh tiba-tiba, saat tengah melantunkan dzikir, bermunajat, malaikat malakut menjemput arwah Kaji Kanip dengan begitu damai. “Subhanallah....” hati para santri dan ustadz bergetar.

Lantas ustadz Sholikin segera menuju ke ndalem Kaji Kanip untuk mengabari Nyai Sholikah, istri Kaji Kanip. Hanya ada Nyai dan beberapa santriwati di ndalem. Anak-anaknya tengah kuliah di Mesir dan Madinah, tak mungkin bisa menghubungi mereka kecuali lewat email atau jejaring sosial, itu pun tak mesti langsung dibaca.

Seusai sholat ashar, para santri segera berebut untuk memandikan jenazah Kaji Kanip, orang desa berkumpul di situ. Bahkan orang-orang dari luar desa yang telah mendengar kabar itu pun telah ada di situ. Akhirnya para ustadzlah yang memandikan jenazah Kaji Kanip, lalu mengkafaninya. Bau harum mistik putih yang biasa Kaji Kanip pakai tercium di seluruh komplek pesantren. Padahal para ustadz yang memandikan dan mengkafani tidak memberinya wangi-wangian sama sekali kecuali beberapa bunga. Para petakziah yang telah hadir semua bergetar menghirup keharuman itu, “subhanallah... karomah Kaji Kanip ini, orang baik dan shaleh....” Kata salah seorang petakziah.

Jenazah telah siap untuk disholatkan. Ternyata di depan, petakziah telah membeludak, ratusan, mereka bergantian menyolati jenazah. Harum mistik putih makin menguat, sungguh menciptakan kedamaian saat itu. Tiap detik selalu ada saja petakziah yang datang, belum ada yang pulang sama sekali sejak awal. Yang ada makin banyak yang datang, setiap detiknya. Sampai-sampai jenazah dari ndalem  dipindahkan ke masjid, disholatkan di masjid secara bergantian. Karena saat sholat jenazah jama’ah nampak memenuhi masjid. Begitu seterusnya bergantian selalu penuh. Aroma mistik putih menyebar di seluruh penjuru masjid. Banyak orang bersenandung mengucap pujian. Sungguh orang baik, saat wafat pun masih menebar kebaikan.

Dengan berbagai pertimbangan, jenazah segera dimakamkan. Selain seluruh komplek pesantren yang penuh dengan ribuan petakziah dari berbagai kalangan, termasuk para Kyai pimpinan berbagai pesantren lain, juga jama'ah pengajian Kaji Kanip di berbagai daerah. Sepanjang jalan kampung juga tak sepi dari petakziah. Ribuan petakziah mengiringi jenazah Kaji Kanip. Sebenarnya ada sebuah pertanda, sejak pagi langit nampak damai dan teduh dengan awan putihnya yang menggumpal memayungi jagad. Khususnya di atas pesantren. Matahari nampak malu menampakkan diri dengan teriknya, malu saat malaikat malakut membawa roh Kaji Kanip yang shaleh itu. Sore itu ketika pemakaman pun langit sangat teduh dan hawa yang damai. Yang lebih membuat puluhan ribu petakziah yang hadir bergetar adalah adanya awan yang membentuk lafadz Allah yang di sampingnya nampak ada awan yang membentuk wajah senyum seseorang. Subhanallah, puji-pujian melantun dari mulut ribuan petakziah yang menghantarkan jenazah Kaji Kanip menuju pemakaman.

Tiba-tiba dari kejauhan terlihat beberapa mobil berhenti karena tak lagi bisa lewat, sepanjang jalan di penuhi ribuan orang petakziah. Gus Ramli, putra sulung Kaji Kanip yang sedang S-2 di Mesir tampak turun dari salah satu mobil itu. Berjalan menuju ndalem, saat jenazah sedang hendak diantar ke pemakaman.
“tunggu pak, tunggu saya.” Gus Romli berteriak lirih kepada orang-orang yang ada di depan ndalem.
Pak Sholikin dan beberapa ustadz menghampiri Gus Romli, membawakan barang Gus Romli lalu menggandengnya. Nampak mata Gus Romli merah menandakan air mata telah menetes sebelumnya. Ia berjalan ke arah keranda, memeluk Nyai Sholikah yang berdiri di belakangnya.
“alhamdulillah kebetulan dari kemarin saya pengen sekali pulang ke Indonesia bu, akhirnya tadi subuh saya pulang naik pesawat. Sebelumnya saya belum mendengar apa-apa, saya memang benar-benar ingin pulang. Habis ashar pas sudah sampai perbatasan kota, saya mendapat telfon dari mantan santri, katanya abah meninggal buk.” Gus Romli meneteskan air mata lantas melepas pelukan dari ibunya, ia menggantikan salah satu orang yang memikul keranda bagian depan.

Jenazah pun digiring menuju pemakaman. Di pemakaman beberapa penggali kubur telah rampung menggalikan kubur untuk Kaji Kanip. Tak sesulit dan selama biasanya, mereka rampung hanya dengan beberapa menit saja. Dengan senang hati, bumi menunggu kedatangan jenazah Kaji Kanip yang shaleh itu. Burung-burung kecil yang warna-warni telah berkumpul di atas pohon-pohon kamboja, menggantikan dedaunan dan bunganya yang telah gugur, burung-burung itu turut mengantarkan kepergian Kaji Kanip. Sungguh jarang ada kematian yang seindah itu.

Berbagai kebaikan yang telah Kaji Kanip tebar selama hidupnya, juga berbagai keikhlasan yang Kaji Kanip sumbangkan kepada siapa saja dan kapan saja semasa hidupnya, di hari kematiannya ikut berkumpul mengiringi dan mendoakan Kyai sebaik Kaji Kanip. Kaji Kanip wafat di hari Jum’at, hari yang mulia. Ia wafat setelah mengajarkan ilmu pada para santrinya. Ia juga wafat saat tengah bermunajat kepada Tuhan. Begitulah orang baik yang selama hidupnya tak pernah absen menebar kebaikan, saat wafat pun ia wafat di hari yang baik, saat yang baik pula. Tak hanya orang yang pernah dibagi kebaikan oleh Kaji Kanip yang merasa kehilangan dan turut mengantar kebaikan. 
Bahkan matahari, awan, tanah, udara, hewan, dan setiap kehidupan dan alam turut serta merasa kehilangan mengantarkan kepergian Kaji Kanip dengan lantunan damai doa-doa yang melangit untuk kebaikan Kaji Kanip di alam dan kehidupan selanjutnya. Semesta alam bertasbih menghantar kepergian sosok panutan penebar kebaikan, Kaji Kanip.

SELESAI

Yogyakarta, 21 Oktober 2015

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.