Sabtu, 17 Oktober 2015

Tak Pernah Terduga

Cerpen oleh: Irfan Anas



Jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari, tapi rasa kantuk sama sekali belum menjemputku dan mengajakku berkenala ke dunia mimpi, aku sangat merindukan itu. Sudah beberapa hari ini aku sulit sekali untuk bisa tidur, apalagi tidur pulas hingga bermimpi indah, hampir lama tak kurasakan itu. Entah apa penyebabnya, mungkin karena otakku yang tengah kacau. Ribuan pertanyaan, jutaan permasalahan serasa menyerangku, otakku bertubi-tubi. Yang kurasakan hanyalah kepenatan, resah, atau galau kalau kata abege sekarang.




Pagi itu setelah sedikit mendinginkan otak dengan beberapa  siraman air kamar mandi tua kosanku, aku segera bergegas ke kampus. Sebenarnya sudah tak ada materi yang aku ambil smester ini, semua sudah tuntas, bahkan tugas akhirkupun sudah menginjak bab akhir. Tujuanku ke kampus hari ini, mungkin juga saat-saat ini hanya untuk berjumpa kawan-kawan selain sesekali menemui dosen pembimbing tugas akhirku, hanya tersisa itu hiburanku saat ini, obat penatku.

“Hai san gimana beres?” sapa Edo, kawan seangkatanku saat aku sampai di belakang fakultas. Ya biasanya saat masih kuliah materi dulu mahasiswa fakultasku, fakultas sastra biasa berkumpul di belakang fakultas, ada kantin kecil yang menjual kopi juga berbagai jajanan yang biasanya mengganjal perut mahasiswa.

“Alhamdulillah 80% cak” jawabku, aku tau apa yang ditanyakan Edo, sudah jelas kabar tugas akhirku, karena memang aku dan Edo tengah sama-sama menyelesaikan itu, ada beberapa kawan sejurusan, seangkatan yang mungkin saat ini tengah berkutat dengan itu. Sisanya sebagian besar sudah mendahului diwisuda, sisanya lagi hanya beberapa yang masih mengulang beberapa mata kuliah karena mungkin di awal-awal smester mereka terlena dengan dunianya, lupa kuliahnya, itu sudah biasa di dunia mahasiswa.

Akupun menyalami Edo, duduk di hadapannya, lantas mengambil satu batang rokok di atas meja kecil tepat di depan Edo dan menyalakannya.

“Gimana punyamu? Beres?” tanyaku mengawali obrolan.

“Halah apa san, pembimbingku Prof. Mawi sibuk melulu, jadinya sudah, stagnan berhenti di bab satu deh!” jawabnya setengah kesal, bukan padaku, pada pembingbingnya sang dosen yang sibuk itu.

“Kejar terus lah cak, nanggung, biar cepet rampung, akhir tahun ini wisudalah kita!” maksudku menyemangati.


Pagi itu tak hanya aku dan si Edo yang bercengkerama ngalor-ngidul, ada juga Amir dan Rosyid yang juga kawan seperjuanganku. Setelah dhuhur dan sholat di maskam kami berempatpun pergi ke belakang kampus, ditemani terik matahari siang, kami makan di warung langganan kami, itulah jam sarapan kami biasanya.


Matahari semakin menyingsing ke barat, aku menemani leptop hitam jadulku di dalam kamar, bukan menyelesaikan tugas akhirku, aku hobi menulis puisi, tentang apapun itu. Tiba-tiba hpku berdering, kulihat di layar, ibuku menelfon. Segera kuangkat telefon itu, suara ibu cukup menenangkan kemelut yang ada dalam pikiranku, tentu saja selain sajak dan syair ini, atau juga kopi.

“Assalamualaikum buk.”

“Waalaikum salam.” Jawab ibuku, “gimana le? udah makan? Sehat to?” ibuku meneruskan.

“Alhamdulillah sehat, sampun buk. Ibuk bapak dek Anis sehat kan?”

“Sehat le alhamdulillah, tugas akhirmu sampai mana?”
Aku sudah paham kemana arah pembicaraan ibuku, memang biasanya seperti ini, tanya tugas akhirku.

“Restunya buk, ini sudah bab akhir.” Jawabku menenangkan ibu.
Pembicaraan kamipun berlanjut, ngalor-ngidul tapi aku senang, setidaknya rasa kangenku sedikit terkikis.


Beberapa hari ini pekerjaanku sama saja, hanya sesekali membuka file tugas akhirku. Bukan hanya ini sebenarnya yang membebaniku saat ini. Kalau aku mau, tak sampai sebulanpun aku yakin akan selesai. Tapi permasalahannya, mau kemana aku setelah melepas toga nanti? Banyak temanku yang mendahului wisuda, tapi akhirnya hanya kluntrang-kluntrung kerjaannya. Aku khawatir nasibku sama. Walaupun ada beberapa  yang kerja, sebagai guru misalnya. Ada satu-dua berdagang, sarjana. Ada juga yang beberapa kembali ke pesantren mereka sebelum kuliah dulu, mengabdikan diri mengajar disana. Aku tak punya niat untuk itu semua, aku ingin melanjutkan S-2 sebenarnya, tapi tak mungkin juga aku masih mengemis pada orang tuaku, adik-adikku juga butuh biaya. Aku harus otak-atik otak mencari solusi.


Tok... tok... tok.... pintu kamarku ada yang mengetuk dari luar, halah mungkin anak-anak pikirku.
Setelah kubuka ternyata dek Ratih berdiri di depan pintu.

“Pagi mas, ini mas aku bawain sup pak min kesukaan mas buat sarapan.” Sapanya manis.

“Loh dek gak ngajar?.” jawabku singkat.

“Kan tanggal merah mas, ada waisak.”

“Loh iya po?.” Bahkan sampai tanggalanpun aku tak tau.

Kami berdua duduk di kursi panjang depan kamar kosku, sambil makan, kamipun bergurau. Melepas rindu. Dek Ratih adalah seorang yang kusebut peri hidupku setelah ibu dan adik-adik perempuanku. Kami saling kenal sejak semester pertama, kami seangkatan, hanya beda jurusan beda fakultas. Tapi tiga bulan lalu, awal tahun ini dia sudah wisuda. Dan sudah sejak itu pula ia mengajar di salah satu SDIT di Yogyakarta yayasan keluarganya. Sebenarnya pertengahan kuliah lalu, semester 3 sampai 5 aku juga mengajar disana tentu saja di luar jam kuliah, pagi biasanya. Ayahnya sendiri sebagai ketua yayasan yang meminta. Tapi, semenjak menggarap tugas akhir aku mengundurkan diri untuk sementara niatnya, supaya fokusku tak bercabang. Entah nanti setelah rampung kembali kesana atau tidak, tapi ayahnya, Abah Husain biasa aku memanggilnya, memintaku untuk kembali mengajar disana. Lihat nantilah pikirku.

“Mas, abah pengen ketemu sama mas lo, makanya aku kesini buat ngasih tau mas.” Obrolan kami berlanjut.

“Loh kok abah nggak nelfon aku langsung dek?.”

“Sebenernya kemarin mau nelfon mas, tapi aku sela, biar aku aja yang langsung nemuin mas, mumpung sekolah libur.”

“Oh iya, besok sore aku ke rumah ya?”. Tanpa bertanya ada apa abah memanggilku, mungkin memintaku kembali mengajar, pikirku tenang.


Keesokan harinya akupun pergi ke rumah dek Ratih yang hanya 30 menit dari tempat kosku menggunakan sepeda motorku ini.

Aku lihat abah sedang di teras rumah, membaca buku.

“Assalamualaikum.” Salamku pada abah, juga orang rumah yang mungkin ada di dalam.

“Alaikum salam nak, sini duduk biar dibikinkan teh si Ratih.” Jawab Abah ramah, beliau memang sosok yang lembut dan halus, ramah kepada siapapun, termasuk padaku yang belum jelas statusnya sebagai apanya selain mantan guru honorer di SDIT yayasannya, juga tunangan anaknya.

“Kok tumben bah manggil saya, wonten punopo njih?”

Dek Ratihpun keluar dari rumah sambil membawa nampan kecil dengan segelass teh hangat di atasnya juga ada pisang goreng kesukaanku.

“Ini sambil dimakan, diminum tehnya. Santai ya? Gimana kabarnya? kapan wisuda?”
Aduh, akupun sebenarnya sudah setengah tau apa maksud abah memanggilku. Menanyakan kabar kuliahku, juga kapan aku kembali mengajar.

“Alhamdulillah sae bah, hehehe InsyaAllah akhir tahun ini, Desember bah.” Jawabku santai sambil menyeruput teh anget buatan dek Ratih.

“Kok lama nak? Bukannya Agustus nanti juga ada wisuda?” Timpal abah penasaran.

“Iya sebenarnya bah, tapi bingung mau apa setelah wisuda nanti mau kemana kalau terlalu cepat, belum ada pikiran bah.” Jawabku memelas.

“Lhooo lhoo lhooo, gimana to kamu ini, ya jelas ngajar di SDIT, setelah itu ajak bapak ibumu kesini, lamar Ratih dan kita resepsikan kamu sama Ratih!.”
Jawaban abah cukup mengagetkanku, tak pernah terpikirkan olehku untuk secepat itu menikah. 

Akupun bingung, malu, campur takut, juga mungkin ada rasa bahagia dalam hatiku. Aku harus ngomong apa ini, pikirku.

“Njih bah InsyaAllah, tapi sebenarnya kulo pingin lanjut S-2 dulu baru nikah hehe.” Jawabku setengah malu, juga bingung mau ngomong apa lagi.

“Ya S-2 kan gampang nanti sambil jalan, kamu ambil di Gajah Mada saja nanti abah bantu untuk biayanya.” Jawab abah makin membuatku malu, tentu saja aku malu, aku ini siapa, aku hanya bocah ndeso yang kebetulan anaknya suka padaku dan kebetulan juga pernah mengajar di SDIT yayasannya.

Ya walaupun aku tau abah pasti tulus berkata seperti itu tadi, tapi tetap saja aku malu, seakan aku tak bisa apa-apa. Walaupun ada sedikit ketenangan dalam hatiku. Aku tak perlu terlalu khawatir untuk S-2ku. Tapi aku bukan pengemis! Kataku dalam hati. Aku punya prinsip untuk tidak membebani orang lain, walaupun mungkin orang itu tak merasa terbebani olehku.

“Injih bah InsyaAllah njih.” Jawabku singkat.


Hari berhari berlalu, bahkan tak terasa sudah Desember di depan mata. Alhamdulillah tugas akhirku rampunglah sudah, tinggal wisuda. Kesibukanku saat ini membantu si Edo yang tugas akhirnya belum juga rampung, aku dan Edo tak dapat wisuda bersamaan tentu saja. Mungkin Edo Maret tahun depan, semoga saja. Kesibukan lainku selain mungkin menulis syair dan sedikit kisah singkat di blog, aku juga mengikuti kursus bahasa Inggris di salah satu kampus swasta yang terkenal bahasa Inggrisnya paling bagus di Yogya.


Desemberpun tiba, ayah ibuku ke Yogya sehari sebelum aku wisuda, tentu saja mengajak dek Anis, adik bungsuku yang sekarang kelas 5 SD. Dua adikku yang lain, Fuad yang sekarang kuliah di Malang, juga dek Iza yang sekarang kelas akhir di Gontor Mantingan sudah kuhubungi secara langsung jauh-jauh hari. Namun sayang Iza sedang konsen dengan ujian akhir kepondokannya, aku paham itu aku beri motivasi dan semangat untuknya. Fuad, dek Anis dan bapak ibukupun akhirnya bisa berkumpul di Yogya. Aku sewakan saja dua kamar di hotel daerah Malioboro untuk menginap satu dua malam ini selama aku wisuda dan juga nanti setelah wisuda aku ajak silaturahmi ke rumah dek Ratih. Hanya silaturrahmi, tak lebih tegasku. Prinsipku aku tak akan menikahi dek Ratih sebelum aku rampung S-2 atau di tengah-tengah S-2ku.


Hari wisudakupun tiba. Aku bersama ribuan mahasiswa yang kebanyakan seangkatankupun berkumpul di gedung kampus dengan toga-toga harumnya. Ada beberapa mahasiswa seniorku yang kuliahnya sedikit lama, bahkan kakak tingkat 3 tahun di atasku. Ngapain saja mereka selama kuliah pikirku. Aku saja yang juga aktif di beberapa organisasi bisa lancar 4 tahun walau wisuda menjelang akhir periode.

Di belakang kulihat Edo sangat melas karena dari 4 kawannya, hanya dia yang belum bisa wisuda Desember ini. Bukan karena dia malas, tapi karena pembimbing tugas akhirnya yang sulit katanya.


Setelah wisuda seperti biasa kami berfoto-foto mengabadikan momen spesial itu di depan maskam 
tempat biasanya kami diskusi dulu ketika menjadi aktivis. Kegembiraan menyelimuti kami termasuk Edo yang tadinya nampak muram. Kulihat dek Ratih berjalan menghampiriku, bapak ibu dan kedua adikku yang hari ini hadir tengah sholat di dalam maskam.

“Maaf ya mas, tadi ada ngajar gak bisa ijin, jadi telat deh, maaf ya mas.” Sapanya sambil memberikan seikat bunga dan sepasang boneka bertoga. Ada namaku dan Ratih di kedua boneka itu.
Kulihat kawan-kawanku masih asik berfoto dengan keluarga mereka.

“Iya nggak apa-apa dek, smsmu semalampun sudah sangat menghiburku dan mewakili keberadaanmu disini. Makasih ya bunganya, bonekanya lucu hehehe.” Candaku pada dek Ratih supaya ia tak lagi merasa bersalah.

“Ibu bapak sama adek-adek mana mas?.”

“Itu di dalam, lagi sholat. Kamu udah sholat dek?.” Tanyaku bodoh karena aku tau jelas saja ia sudah jamaah di SDIT.

“Sampun mas, mas udah?.” Tanyanya lagi, “iya gantian jaga barang dek, nih kamu tolong jagain dong, aku tak sholat, sembari kamu tunggu bapak ibuk.” Jawabku sambil menyuruhnya duduk di serambi masjid di samping barang-barangku dan keluarga.

Akupun masuk ke dalam masjid dan sholat sembari sujud syukur pada Ilahi Rabbi atas hari ini.
Setelah sholat kulihat keluarga sedang bercanda dengan dek ratih.

“Le Ihsan, ayo kita cari makan siang ajak nduk Ratih juga, mumpung tadi dia diantar temen ustadzahnya.” Ajak ibuku.

Akupun mengangguk tanda menyetujui permintaan ibuku, kami bergegas berjalan menuju ke parkiran, memasuki mobil bapak lantas cari makan di daerah Condong Catur, ada tempat makan segala macam bakaran enak di sana.

Belum kembali ke hotel, ke kos, bapak mengajakku sekalian ke rumah dek Ratih menemui abah Husain serta umi Salimah orang tua dek Ratih karena memang searah dari sini, sekalian nganter dek Ratih katanya. Akupun menyanggupi dan segera menyetir mobil menuju ke rumah dek Ratih.

Sesampainya di rumah, abah Husain dan umi Salimah menyambut kami, bapak ibu serta kedua adikku yang ikut dengan sangat ramah. Kamipun bercengkerama dengan sangat hangat sambil sesekali meminum teh anget dan memakan jajanan yang ada di meja tamu.
Tiba-tiba obrolan menjadi serius.

“Nak Ihsan, ini mumpung ada bapak ibu di sini kok ndak sekalian saja kita bahas yang kemarin sudah kita bahas.” Kata abah mengagetkanku. Aku sampai sedikit tersendak mendengarnya.

“Loh obrolan opo to le kok ndak cerita ke bapak?.” Tanya bapak penasaran yang semakin membuatku bingung harus menjawabnya mulai darimana, dua pertanyaan dari dua orang yang sangat aku hormati kini menunggu jawabanku.

“Ini lo pak Fathoni, katanya nak Ihsan ingin segera tinggal di sini, membantu saya mengurus yayasan.” Jawab abah setengah mencandai aku dan bapak. Ratih memang anak bungsu di keluarganya, dia hanya punya kakak, mas Ilyas yang sekarang jadi direktur di sebuah perusahaan di Jakarta. Jadi wajar saja jika abah Husain sangat mengharapkan menantu untuk tinggal bersamanya agar membantu mengurus yayasan.

“Gimana kalau langsung saja kita akadkan secara agama di sini sekarang, saya kira semua persyaratannya sudah ada, tinggal memanggil petugas pencatat nikah. KUA dekat kok dari sini.” Lanjut abah semakin serius.

Aduh aku makin bingung, sekaligus malu di sini. Kulihat bapak dan ibu hanya senyum-senyum tanpa menimpali jawaban. Akhirnya aku berani angkat bicara.

“Kalau saya sendiri sebenarnya belum ingin menikah bah saat ini, tapi kalau bapak ibu beserta abah dan umi di sini merestui dan meminta, apa daya saya bah, bapak ibuk.” Jawabku setengah gugup.

Akhirnya benar, di luar dugaan. Aku dan dek Ratihpun diakadkan saat itu juga. Aku bisa apa pikirku bahagia walau memang kaget dan tak menyangka akan seperti ini akhirnya.

Setelah beberapa hari setelah hari itu, hari bahagia itu,  tentu saja semua beban yang selama ini mengganjal pikiranku sirnalah sudah. Aku menjalani hari dengan tinggal bersama abah dan umi mertuaku. Tiap hari aku juga mengajar di SDIT dan syukur alhamdulillah aku juga berhasil masuk di pasca sarjana Gajah Mada, dengan beasiswa dari kementrian budaya karena puisi dan cerpen coretanku yang beberapa bulan lalu aku ikutkan dalam perlombaan sastra yang diadakan kementrian budaya berhasil mendapatkan juara pertama. Sebagai satu-satunya juara dengan hadiah berupa beasiswa pendidikan di dalam maupun di luar negeri. Tapi aku lebih memilih mengambil di sini saja, sambil membantu abah juga agar dekat dengan keluarga besarku, pikirku.

SELESAI


Yogyakarta, 17 Oktober 2015

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Udah baguuus Anas, perkaya referensi dan gaya bahasa dengan baca cerita yang banyak. Bravo! :)

Unknown mengatakan...

Iya makasih banyak ya Hasna, mari menulis :-)

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.