Cerpen oleh:
Irfan Anas
Jam sudah menunjukkan pukul 2 dini
hari, tapi rasa kantuk sama sekali belum menjemputku dan mengajakku berkenala
ke dunia mimpi, aku sangat merindukan itu. Sudah beberapa hari ini aku sulit
sekali untuk bisa tidur, apalagi tidur pulas hingga bermimpi indah, hampir lama
tak kurasakan itu. Entah apa penyebabnya, mungkin karena otakku yang tengah
kacau. Ribuan pertanyaan, jutaan permasalahan serasa menyerangku, otakku bertubi-tubi. Yang kurasakan hanyalah kepenatan, resah, atau galau kalau
kata abege sekarang.
Pagi itu setelah sedikit
mendinginkan otak dengan beberapa
siraman air kamar mandi tua kosanku, aku segera bergegas ke kampus.
Sebenarnya sudah tak ada materi yang aku ambil smester ini, semua sudah tuntas,
bahkan tugas akhirkupun sudah menginjak bab akhir. Tujuanku ke kampus hari ini,
mungkin juga saat-saat ini hanya untuk berjumpa kawan-kawan selain sesekali
menemui dosen pembimbing tugas akhirku, hanya tersisa itu hiburanku saat ini,
obat penatku.
“Hai san gimana beres?” sapa Edo,
kawan seangkatanku saat aku sampai di belakang fakultas. Ya biasanya saat masih
kuliah materi dulu mahasiswa fakultasku, fakultas sastra biasa berkumpul di
belakang fakultas, ada kantin kecil yang menjual kopi juga berbagai jajanan
yang biasanya mengganjal perut mahasiswa.
“Alhamdulillah 80% cak” jawabku, aku
tau apa yang ditanyakan Edo, sudah jelas kabar tugas akhirku, karena memang aku
dan Edo tengah sama-sama menyelesaikan itu, ada beberapa kawan sejurusan,
seangkatan yang mungkin saat ini tengah berkutat dengan itu. Sisanya sebagian
besar sudah mendahului diwisuda, sisanya lagi hanya beberapa yang masih
mengulang beberapa mata kuliah karena mungkin di awal-awal smester mereka
terlena dengan dunianya, lupa kuliahnya, itu sudah biasa di dunia mahasiswa.
Akupun menyalami Edo, duduk di
hadapannya, lantas mengambil satu batang rokok di atas meja kecil tepat di
depan Edo dan menyalakannya.
“Gimana punyamu? Beres?” tanyaku
mengawali obrolan.
“Halah apa san, pembimbingku Prof.
Mawi sibuk melulu, jadinya sudah, stagnan berhenti di bab satu deh!” jawabnya
setengah kesal, bukan padaku, pada pembingbingnya sang dosen yang sibuk itu.
“Kejar terus lah cak, nanggung, biar
cepet rampung, akhir tahun ini wisudalah kita!” maksudku menyemangati.
Pagi itu tak hanya aku dan si Edo
yang bercengkerama ngalor-ngidul, ada juga Amir dan Rosyid yang juga kawan
seperjuanganku. Setelah dhuhur dan sholat di maskam kami berempatpun pergi ke
belakang kampus, ditemani terik matahari siang, kami makan di warung langganan
kami, itulah jam sarapan kami biasanya.
Matahari semakin menyingsing ke
barat, aku menemani leptop hitam jadulku di dalam kamar, bukan menyelesaikan
tugas akhirku, aku hobi menulis puisi, tentang apapun itu. Tiba-tiba hpku
berdering, kulihat di layar, ibuku menelfon. Segera kuangkat telefon itu, suara
ibu cukup menenangkan kemelut yang ada dalam pikiranku, tentu saja selain sajak
dan syair ini, atau juga kopi.
“Assalamualaikum buk.”
“Waalaikum salam.” Jawab ibuku,
“gimana le? udah makan? Sehat to?” ibuku meneruskan.
“Alhamdulillah sehat, sampun buk.
Ibuk bapak dek Anis sehat kan?”
“Sehat le alhamdulillah, tugas
akhirmu sampai mana?”
Aku sudah paham kemana arah
pembicaraan ibuku, memang biasanya seperti ini, tanya tugas akhirku.
“Restunya buk, ini sudah bab akhir.”
Jawabku menenangkan ibu.
Pembicaraan kamipun berlanjut,
ngalor-ngidul tapi aku senang, setidaknya rasa kangenku sedikit terkikis.
Beberapa hari ini pekerjaanku sama
saja, hanya sesekali membuka file tugas akhirku. Bukan hanya ini sebenarnya
yang membebaniku saat ini. Kalau aku mau, tak sampai sebulanpun aku yakin akan
selesai. Tapi permasalahannya, mau kemana aku setelah melepas toga nanti?
Banyak temanku yang mendahului wisuda, tapi akhirnya hanya kluntrang-kluntrung
kerjaannya. Aku khawatir nasibku sama. Walaupun ada beberapa yang kerja, sebagai guru misalnya. Ada
satu-dua berdagang, sarjana. Ada juga yang beberapa kembali ke pesantren mereka
sebelum kuliah dulu, mengabdikan diri mengajar disana. Aku tak punya niat untuk
itu semua, aku ingin melanjutkan S-2 sebenarnya, tapi tak mungkin juga aku
masih mengemis pada orang tuaku, adik-adikku juga butuh biaya. Aku harus
otak-atik otak mencari solusi.
Tok... tok... tok.... pintu kamarku
ada yang mengetuk dari luar, halah mungkin anak-anak pikirku.
Setelah kubuka ternyata dek Ratih berdiri di depan pintu.
“Pagi mas, ini mas aku bawain sup
pak min kesukaan mas buat sarapan.” Sapanya manis.
“Loh dek gak ngajar?.” jawabku
singkat.
“Kan tanggal merah mas, ada waisak.”
“Loh iya po?.” Bahkan sampai tanggalanpun
aku tak tau.
Kami berdua duduk di kursi panjang
depan kamar kosku, sambil makan, kamipun bergurau. Melepas rindu. Dek Ratih
adalah seorang yang kusebut peri hidupku setelah ibu dan adik-adik perempuanku.
Kami saling kenal sejak semester pertama, kami seangkatan, hanya beda jurusan
beda fakultas. Tapi tiga bulan lalu, awal tahun ini dia sudah wisuda. Dan sudah
sejak itu pula ia mengajar di salah satu SDIT di Yogyakarta yayasan
keluarganya. Sebenarnya pertengahan kuliah lalu, semester 3 sampai 5 aku juga
mengajar disana tentu saja di luar jam kuliah, pagi biasanya. Ayahnya sendiri
sebagai ketua yayasan yang meminta. Tapi, semenjak menggarap tugas akhir aku
mengundurkan diri untuk sementara niatnya, supaya fokusku tak bercabang. Entah
nanti setelah rampung kembali kesana atau tidak, tapi ayahnya, Abah Husain
biasa aku memanggilnya, memintaku untuk kembali mengajar disana. Lihat nantilah
pikirku.
“Mas, abah pengen ketemu sama mas
lo, makanya aku kesini buat ngasih tau mas.” Obrolan kami berlanjut.
“Loh kok abah nggak nelfon aku
langsung dek?.”
“Sebenernya kemarin mau nelfon mas,
tapi aku sela, biar aku aja yang langsung nemuin mas, mumpung sekolah libur.”
“Oh iya, besok sore aku ke rumah
ya?”. Tanpa bertanya ada apa abah memanggilku, mungkin memintaku kembali
mengajar, pikirku tenang.
Keesokan harinya akupun pergi ke
rumah dek Ratih yang hanya 30 menit dari tempat kosku menggunakan sepeda
motorku ini.
Aku lihat abah sedang di teras
rumah, membaca buku.
“Assalamualaikum.” Salamku pada
abah, juga orang rumah yang mungkin ada di dalam.
“Alaikum salam nak, sini duduk biar
dibikinkan teh si Ratih.” Jawab Abah ramah, beliau memang sosok yang lembut dan
halus, ramah kepada siapapun, termasuk padaku yang belum jelas statusnya
sebagai apanya selain mantan guru honorer di SDIT yayasannya, juga tunangan
anaknya.
“Kok tumben bah manggil saya, wonten
punopo njih?”
Dek Ratihpun keluar dari rumah
sambil membawa nampan kecil dengan segelass teh hangat di atasnya juga ada
pisang goreng kesukaanku.
“Ini sambil dimakan, diminum tehnya.
Santai ya? Gimana kabarnya? kapan wisuda?”
Aduh, akupun sebenarnya sudah
setengah tau apa maksud abah memanggilku. Menanyakan kabar kuliahku, juga kapan
aku kembali mengajar.
“Alhamdulillah sae bah, hehehe
InsyaAllah akhir tahun ini, Desember bah.” Jawabku santai sambil menyeruput
teh anget buatan dek Ratih.
“Kok lama nak? Bukannya Agustus
nanti juga ada wisuda?” Timpal abah penasaran.
“Iya sebenarnya bah, tapi bingung
mau apa setelah wisuda nanti mau kemana kalau terlalu cepat, belum ada pikiran
bah.” Jawabku memelas.
“Lhooo lhoo lhooo, gimana to kamu
ini, ya jelas ngajar di SDIT, setelah itu ajak bapak ibumu kesini, lamar Ratih
dan kita resepsikan kamu sama Ratih!.”
Jawaban abah cukup mengagetkanku,
tak pernah terpikirkan olehku untuk secepat itu menikah.
Akupun bingung, malu,
campur takut, juga mungkin ada rasa bahagia dalam hatiku. Aku harus ngomong apa
ini, pikirku.
“Njih bah InsyaAllah, tapi
sebenarnya kulo pingin lanjut S-2 dulu baru nikah hehe.” Jawabku setengah malu,
juga bingung mau ngomong apa lagi.
“Ya S-2 kan gampang nanti sambil
jalan, kamu ambil di Gajah Mada saja nanti abah bantu untuk biayanya.” Jawab
abah makin membuatku malu, tentu saja aku malu, aku ini siapa, aku hanya bocah ndeso
yang kebetulan anaknya suka padaku dan kebetulan juga pernah mengajar di SDIT
yayasannya.
Ya walaupun aku tau abah pasti tulus
berkata seperti itu tadi, tapi tetap saja aku malu, seakan aku tak bisa
apa-apa. Walaupun ada sedikit ketenangan dalam hatiku. Aku tak perlu terlalu
khawatir untuk S-2ku. Tapi aku bukan pengemis! Kataku dalam hati. Aku punya
prinsip untuk tidak membebani orang lain, walaupun mungkin orang itu tak merasa
terbebani olehku.
“Injih bah InsyaAllah njih.” Jawabku
singkat.
Hari berhari berlalu, bahkan tak
terasa sudah Desember di depan mata. Alhamdulillah tugas akhirku rampunglah
sudah, tinggal wisuda. Kesibukanku saat ini membantu si Edo yang tugas akhirnya
belum juga rampung, aku dan Edo tak dapat wisuda bersamaan tentu saja. Mungkin
Edo Maret tahun depan, semoga saja. Kesibukan lainku selain mungkin menulis
syair dan sedikit kisah singkat di blog, aku juga mengikuti kursus bahasa
Inggris di salah satu kampus swasta yang terkenal bahasa Inggrisnya paling
bagus di Yogya.
Desemberpun tiba, ayah ibuku ke
Yogya sehari sebelum aku wisuda, tentu saja mengajak dek Anis, adik bungsuku
yang sekarang kelas 5 SD. Dua adikku yang lain, Fuad yang sekarang kuliah di
Malang, juga dek Iza yang sekarang kelas akhir di Gontor Mantingan sudah
kuhubungi secara langsung jauh-jauh hari. Namun sayang Iza sedang konsen dengan
ujian akhir kepondokannya, aku paham itu aku beri motivasi dan semangat
untuknya. Fuad, dek Anis dan bapak ibukupun akhirnya bisa berkumpul di Yogya.
Aku sewakan saja dua kamar di hotel daerah Malioboro untuk menginap satu dua
malam ini selama aku wisuda dan juga nanti setelah wisuda aku ajak silaturahmi ke rumah dek Ratih. Hanya silaturrahmi, tak lebih tegasku. Prinsipku aku tak
akan menikahi dek Ratih sebelum aku rampung S-2 atau di tengah-tengah S-2ku.
Hari wisudakupun tiba. Aku bersama
ribuan mahasiswa yang kebanyakan seangkatankupun berkumpul di gedung kampus
dengan toga-toga harumnya. Ada beberapa mahasiswa seniorku yang kuliahnya
sedikit lama, bahkan kakak tingkat 3 tahun di atasku. Ngapain saja mereka
selama kuliah pikirku. Aku saja yang juga aktif di beberapa organisasi bisa
lancar 4 tahun walau wisuda menjelang akhir periode.
Di belakang kulihat Edo sangat melas
karena dari 4 kawannya, hanya dia yang belum bisa wisuda Desember ini. Bukan
karena dia malas, tapi karena pembimbing tugas akhirnya yang sulit katanya.
Setelah wisuda seperti biasa kami
berfoto-foto mengabadikan momen spesial itu di depan maskam
tempat biasanya
kami diskusi dulu ketika menjadi aktivis. Kegembiraan menyelimuti kami termasuk
Edo yang tadinya nampak muram. Kulihat dek Ratih berjalan menghampiriku, bapak
ibu dan kedua adikku yang hari ini hadir tengah sholat di dalam maskam.
“Maaf ya mas, tadi ada ngajar gak
bisa ijin, jadi telat deh, maaf ya mas.” Sapanya sambil memberikan seikat bunga
dan sepasang boneka bertoga. Ada namaku dan Ratih di kedua boneka itu.
Kulihat kawan-kawanku masih asik
berfoto dengan keluarga mereka.
“Iya nggak apa-apa dek, smsmu
semalampun sudah sangat menghiburku dan mewakili keberadaanmu disini. Makasih
ya bunganya, bonekanya lucu hehehe.” Candaku pada dek Ratih supaya ia tak lagi
merasa bersalah.
“Ibu bapak sama adek-adek mana
mas?.”
“Itu di dalam, lagi sholat. Kamu
udah sholat dek?.” Tanyaku bodoh karena aku tau jelas saja ia sudah jamaah di
SDIT.
“Sampun mas, mas udah?.” Tanyanya
lagi, “iya gantian jaga barang dek, nih kamu tolong jagain dong, aku tak
sholat, sembari kamu tunggu bapak ibuk.” Jawabku sambil menyuruhnya duduk di
serambi masjid di samping barang-barangku dan keluarga.
Akupun masuk ke dalam masjid dan
sholat sembari sujud syukur pada Ilahi Rabbi atas hari ini.
Setelah sholat kulihat keluarga
sedang bercanda dengan dek ratih.
“Le Ihsan, ayo kita cari makan siang
ajak nduk Ratih juga, mumpung tadi dia diantar temen ustadzahnya.” Ajak ibuku.
Akupun mengangguk tanda menyetujui
permintaan ibuku, kami bergegas berjalan menuju ke parkiran, memasuki mobil
bapak lantas cari makan di daerah Condong Catur, ada tempat makan segala macam
bakaran enak di sana.
Belum kembali ke hotel, ke kos,
bapak mengajakku sekalian ke rumah dek Ratih menemui abah Husain serta umi
Salimah orang tua dek Ratih karena memang searah dari sini, sekalian nganter
dek Ratih katanya. Akupun menyanggupi dan segera menyetir mobil menuju ke rumah
dek Ratih.
Sesampainya di rumah, abah Husain
dan umi Salimah menyambut kami, bapak ibu serta kedua adikku yang ikut dengan
sangat ramah. Kamipun bercengkerama dengan sangat hangat sambil sesekali
meminum teh anget dan memakan jajanan yang ada di meja tamu.
Tiba-tiba obrolan menjadi serius.
“Nak Ihsan, ini mumpung ada bapak
ibu di sini kok ndak sekalian saja kita bahas yang kemarin sudah kita bahas.”
Kata abah mengagetkanku. Aku sampai sedikit tersendak mendengarnya.
“Loh obrolan opo to le kok ndak
cerita ke bapak?.” Tanya bapak penasaran yang semakin membuatku bingung harus
menjawabnya mulai darimana, dua pertanyaan dari dua orang yang sangat aku
hormati kini menunggu jawabanku.
“Ini lo pak Fathoni, katanya nak
Ihsan ingin segera tinggal di sini, membantu saya mengurus yayasan.” Jawab abah
setengah mencandai aku dan bapak. Ratih memang anak bungsu di keluarganya, dia
hanya punya kakak, mas Ilyas yang sekarang jadi direktur di sebuah perusahaan
di Jakarta. Jadi wajar saja jika abah Husain sangat mengharapkan menantu untuk
tinggal bersamanya agar membantu mengurus yayasan.
“Gimana kalau langsung saja kita
akadkan secara agama di sini sekarang, saya kira semua persyaratannya sudah
ada, tinggal memanggil petugas pencatat nikah. KUA dekat kok dari sini.” Lanjut
abah semakin serius.
Aduh aku makin bingung, sekaligus
malu di sini. Kulihat bapak dan ibu hanya senyum-senyum tanpa menimpali
jawaban. Akhirnya aku berani angkat bicara.
“Kalau saya sendiri sebenarnya belum
ingin menikah bah saat ini, tapi kalau bapak ibu beserta abah dan umi di sini
merestui dan meminta, apa daya saya bah, bapak ibuk.” Jawabku setengah gugup.
Akhirnya benar, di luar dugaan. Aku
dan dek Ratihpun diakadkan saat itu juga. Aku bisa apa pikirku bahagia walau
memang kaget dan tak menyangka akan seperti ini akhirnya.
Setelah beberapa hari setelah hari
itu, hari bahagia itu, tentu saja semua
beban yang selama ini mengganjal pikiranku sirnalah sudah. Aku menjalani hari dengan
tinggal bersama abah dan umi mertuaku. Tiap hari aku juga mengajar di SDIT dan
syukur alhamdulillah aku juga berhasil masuk di pasca sarjana Gajah Mada,
dengan beasiswa dari kementrian budaya karena puisi dan cerpen coretanku yang
beberapa bulan lalu aku ikutkan dalam perlombaan sastra yang diadakan
kementrian budaya berhasil mendapatkan juara pertama. Sebagai satu-satunya
juara dengan hadiah berupa beasiswa pendidikan di dalam maupun di luar negeri.
Tapi aku lebih memilih mengambil di sini saja, sambil membantu abah juga agar dekat
dengan keluarga besarku, pikirku.
SELESAI
Yogyakarta, 17 Oktober 2015
2 komentar:
Udah baguuus Anas, perkaya referensi dan gaya bahasa dengan baca cerita yang banyak. Bravo! :)
Iya makasih banyak ya Hasna, mari menulis :-)
Posting Komentar