Sabtu, 17 Oktober 2015

Ibuku Bukan Janda!

Cerpen Oleh: Irfan Anas



Selain seorang anak kecil, yang kutau aku hanyalah anak seorang janda yang hidup di sebuah kampung. Tak seperti teman-temanku, aku dan ibuku tinggal di sebuah rumah tua yang telah reyot. Orang-orang menyebutnya gubuk. Sudah hampir tiga tahun ayahku pergi meninggalkan ibuku, tak tau kemana. Padahal dulunya ibuku adalah bunga desa di sini. Tentu saja banyak lelaki yang memasang umpan untuk menjerat hati ibuku. Namun ayahku datang sebagai pemenang.


Sebelum ayahku pergi, dulu kami hidup dengan bahagia. Ayahku seorang petani dengan beberapa ladang peninggalan kakek, ayah ibuku. Memang, ayahku bukan orang kampung ini. Ia berasal dari kampung sebelah tetapi orang tuanya telah lama mati. Ia sebaya dengan ibuku, ia juga tampan. Aku tak heran mengapa ibuku menaruh hati padanya.


Aku teringat dengan percakapan ayah dengan ibuku sebelum ia pergi, jauh hampir lima tahun yang lalu.


“Mas benar akan ke kota?.” Tanya ibuku berat melepas.

“Sudah jelas iya, aku akan mencari pekerjaan yang lebih layak di sana.” Jawabnya sambil menutup tas ransel biru yang warnanya sudah mulai luntur,  compang-camping.

“Lalu bagaimana nasibku dan anakmu di sini mas?.” Tanya ibuku yang mulai meneteskan air mata. Ia memegang erat tangan ayahku yang yang hendak mengangkat tas ranselnya.

Ayahku memegang bahu ibuku, menatap dalam matanya, “Jangan khawatir, setiap bulan akan kukirimi kalian uang lewat pos. Nanti kalau aku sudah sukses di kota dan bisa membeli rumah, akan kuboyong kalian ke kota. Ikut bersamaku.”

“Tapi mas...” Belum genap apa yang ingin dikatakan ibuku, ayahku bergegas keluar dari rumah dan beranjak pergi.


Aku dan ibuku berdiri di antara gawang pintu. Ibuku menangis tersedu, sedang aku hanya diam tak tau apa yang sebenarnya tengah terjadi. Aku terlalu kecil untuk tau.
Di kejauhan sosok ayahku semakin merabun hingga akhirnya ia lenyap ditelan kegelapan malam. Di kampungku tak begitu banyak ada lampu sebagai penerangan jalan.

Kini aku telah cukup dewasa, usiaku sudah hampir 18 tahun. Selama belasan tahun setelah ayahku pergi, aku hanya hidup berdua dengan ibuku. Ibuku menjual gorengan dengan berkeliling kampung tiap sore, aku selalu membantunya. Aku bisa sekolah bukan karena kiriman ayahku, ia hanya berjanji saat itu. Bukan pula dari hasil jualan gorengan ibuku, ladang peninggalan kakekku hanya tersisa satu yang saat ini tengah kutanami padi. Yang lain telah terjual untuk biaya sekolahku, juga untuk makan sehari-hari termasuk membenahi rumahku yang hampir roboh dua tahun lalu.


Ayahku? Tak tau kemana ia pergi, tak tau ia seperti apa sekarang. Aku dan ibuku saja tak tau, apalagi orang-orang kampung. Sebenarnya ayah dan ibuku tidak bercerai, hanya karena begitu lamanya ayahku pergi, orang-orang menyebut ibuku rondo deso. Sebenarnya selama ini banyak orang datang ke rumahku, bermaksud melamar ibuku. Tapi ibuku selalu menolaknya, ia masih menunggu ayahku pulang. Kasian ibuku, tak pernah kujumpa dan dengari tiap malam kecuali hanya tangisan ibuku.


Malam ini sama seperti biasanya, ibuku merintih dalam tangisan. Aku paham betul bagaimana perasaannya.

“Ibu, mengapa ibu tak pernah lelah menangis?.” Aku datang memeluk ibuku, lalu duduk di hadapannya sambil mengusap air matanya.

Sambil terisak, “Tidak apa-apa nak, ibu hanya sedikit rindu pada ayahmu. Ibu khawatir nasibnya tak lebih baik dari kita di kota.”

Aku hanya diam dalam keterenyuhan, matanya merah terlalu banyak menangis, hidupnya hanya untuk itu. Pipinya tak seberisi dahulu, badannyapun sama, semakin kurus. Kecantikannya mulai memudar oleh aliran air mata di wajahnya. Aku tak bisa hanya terus membiarkan seperti ini! Tegasku dalam hati.

“Baiklah bu, besok aku akan coba ke kampung sebelah, barangkali kawan ayah ada yang tau di mana ayah sekarang. Akan kucari ayah bu.” Jawabku dengan tekad, menenangkan hati ibuku yang semakin keronta.


Benar, dengan bekal seadanya aku pergi mecari tau kabar ayahku. Kudengar dari orang di kampungnya, kini ayah tinggal di Surabaya. Hanya itu yang kudapat. Sangat kurang sekali sebagai bahan untuk melacak keberadaan ayahku. Tanpa pikir panjang, aku pergi ke Surabaya yang cukup jauh dari kampungku. Bis antar kota mengantarkanku. Semoga aku bisa bertemu ayahku nanti, harapku sambil memandangi foto ayahku yang mulai menguning oleh waktu.


Tak terasa, sudah dua hari aku di Surabaya. Hanya mondar-mandir sambil bertanya pada tiap orang yang kutemui, apakah ia mengenal orang yang ada di foto yang kutunjukkan? Semua orang berkata, “Tidak!!.”


Hari ke-empat pencarianku. Siang itu aku berada di sebuah masjid di tengah kota. Setelah usai sholat dhuhur, aku rebahkan badanku di teras samping kanan masjid. Foto ayahku masih dalam genggamanku. Akupun tertidur oleh rasa lelah yang terlalu banyak menumpuk.

“Mas.. mas... waktunya ashar!.” Suara itu membangunkanku.

Akupun bangun dan segera mengambil air wudhu lalu ikut sholat di dalam. Setelah sholat, aku keluar dan duduk di teras depan masjid, kurenungi jalan yang ada di depanku. Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku dari belakang, dengan kaget aku melihat ke belakang.

“Tadi saya lihat mas memegang foto seorang pria ya?.” Tanya seorang pemuda yang kira-kira lebih tua beberapa tahun dariku.

“Eh iya mas, apa mas mengenalinya?.” Tanyaku penasaran, pemuda itu duduk di sampingku.
Ia pakai topi coklat yang tadi hanya dipeganginya. Ia berkata,”Dulu saya pernah bekerja kepada orang itu mas, sebagai pelayan di rumah makan miliknya.”

Tersontak aku dengan apa yang dikatakan pemuda itu, setengah percaya setengah juga tidak aku kembali bertanya, “Maaf sekali mas, apa mas masih ingat alamat rumah makan itu?.”

Jika pemuda ini masih ingat di rumah makan sebelah mana ia dulu pernah bekerja dan katanya ayahku pemilik rumah makan itu, maka aku akan segera mencarinya. Sendiri! pikirku.

“Pak Hendra itu yang punya rumah makan itu. Rumah makan jawa, kira-kira dua blok dari sini, mas.” Jawabnya.

Benar itu nama ayahku, aku semakin yakin bahwa itu ayahku. Tanpa berpikir panjang, kuberikan sesobek kertas dan pensil kecil padanya.

“Maaf mas, bisa mas tulis alamatnya?.” Pintaku pada pemuda itu.
Setelah ia tuliskan alamat rumah makan yang katanya milik pak Hendra itu, ayahku. Tanpa berpikir panjang aku segera pergi ke alamat itu.


Aku sampai di depan rumah makan itu. Cukup besar juga rumah makannya, ternyata selama ini ayah telah sukses, pikirku.

“Mas mau makan?.” Tanya seorang pelayan wanita padaku yang dari tadi hanya berdiri dan memandangi rumah makan itu.

“Emmmmm iya mbak.” Jawabku, aku memang belum makan sejak pagi. Aku lupa akan rasa laparku, yang kuingat hanya untuk mencari ayahku.

“Ini mas piringnya, silahkan ambil sendiri makanannya, minumnya juga sudah ada di dekat kasir.” Tegas si pelayan wanita sambil memberikan sebuah piring padaku.


Setelah aku mengambil makan, hanya nasi sayur dan dua tempe yang kuambil. Aku segera berjalan ke arah kasir, hendak mengambil minum. Aku terdiam, tak percaya dengan apa dan siapa yang kulihat saat ini. Seperti patung, aku memandang ke arah penjaga kasir. Aku hampir tak percaya, ayahku duduk di meja kasir. Ia sibuk mengkalkulasi entah penghasilannya hari ini atau apa. Aku menghampirinya.

“Ayah?????.” Sapaku dengan sangat bahagia padanya.

Ayahku hanya terdiam, setelah sadar dengan apa yang dilihatnya. Mungkin ia tak percaya, anaknya yang belasan tahun ia tinggalkan itu saat ini sudah cukup besar dan berdiri di hadapannya. Aku sendiri juga tak begitu yakin sebenarnya, apakah ayahku mengenaliku setelah belasan tahun ini?.

“Ayah???.” Kembali mulutku berkata itu karena ayahku hanya diam menatapku, kosong.

“Nak... nak.... bagaimana kau bisa sampai sini?.” Akhirnya ia mulai membuka mulutnya.

Aku dan ayahku duduk di salah satu meja makan yang ada di rumah makan itu. Sambil menyendok makananku, kami bercakap-cakap. Pembicaraan kami kemana-mana, ayahku menceritakan semua yang terjadi padanya selama ini. Akupun juga menceritakan semua yang aku dan ibu jalani di kampung setelah ayahku pergi.

Ternyata dulu awal hidup di kota ini, ayahku bekerja sebagai pelayan di rumah makan ini. Setelah beberapa lama ia bekerja, anak gadis pemilik rumah makan ini terpikat atas ketampanan ayahku.

“Lantas bagaimana setelah itu yah?.” Tanyaku, kuletakkan kembali sendok yang tadinya kupakai untuk makan. Nafsu makanku sedikit hilang oleh cerita ayahku.

“Ayah bisa apa nak, ayah khilaf dengan menelantarkanmu dengan ibumu di kampung. Karena keputusasaan atas kemiskinan yang mendera keluarga kita di kampung, ayah menikah dengan gadis pemilik rumah makan ini. Maaf nak, ayah memang tak tau malu.” Terang ayahku, ia mulai menangis. Tak peduli orang-orang yang ada di rumah makan itu melihat.

Aku hanya diam, tak menyangka ayahku setega itu padaku, pada ibuku.

“Awalnya ayah juga teringat denganmu nak, dengan ibumu. Tapi uang nampaknya telah membutakan ayah saat itu. Ayah mengaku sebagai perjaka, lajang, pada pemilik rumah makan ini. Akhirnya dengan paksaan anaknya, ayah menikah dengan anak gadis pemilik rumah makan ini.” Ayahku semakin terisak.

“Lantas ayah lupakan begitu saja kami di kampung yang tiap hari selama belasan tahun ini menunggu kepulangan ayah? Tak taukah ayah, ibu tiap harinya hanya dihabiskan dengan menangis? Menangisi kabar ayah? Dan ternyata ayah di sini bersenang-senang bahkan sampai menikah dengan wanita lain!.” Kataku dengan nada semakin mengeras. Aku juga semakin tak peduli dengan orang-orang yang mungkin tengah memperhatikanku.

“Bukan begitu nak, bu.....” Perkataan ayahku terhenti karena tangisannya makin menjadi.

Aku dan ayahku kini sama-sama hanyut dalam tangisan, aku sendiri sangat tak menyangka ayahku bisa setega itu pada ibuku, ibuku dibuatnya menjanda walau sebenarnya ia bukan janda. Sisa umur ibuku hanya digunakan untuk menangisi lelaki kejam suaminya yang kupanggil ayah itu. Aku tak tega pada ibuku, bagaimana jika ia tau kebenaran ayahku selama meninggalkan kampung. Aku akan berbohong pada ibuku, agar hatinya tak semakin mengering lalu semakin retak. Aku tak tega.


Malam ini aku menginap di salah satu kamar pegawai yang ada di bagian belakang rumah makan. Ayahku menemaniku, tadi ia telfon istri barunya juga anaknya yang saat ini sudah SMP, ia tak bisa pulang malam ini. Ada urusan katanya.

Sebenarnya sama sekali aku tak bisa memaafkan ayahku yang bagiku sangat kejam, melebihi kekejaman tokoh antagonis dalam cerita-cerita fiksi. Akupun pulang di tengah kepulasan tidur ayahku. Kukatakan dalam hati, tak kan kutemui lagi ia. Akan kubahagian ibuku di kampung dengan jerih payahku nanti. Akan kukatakan pada ibu bahwa aku tak dapat menemukan ayahku di kota, dan kubuatnya lupa akan ayahku.


SELESAI

Yogyakarta. 18 Oktober 2015

1 komentar:

Azzam Mujaddid mengatakan...

Syahdu (y) Bagus~

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.