Cerpen Oleh: Irfan Anas
Selain seorang anak kecil, yang
kutau aku hanyalah anak seorang janda yang hidup di sebuah kampung. Tak seperti
teman-temanku, aku dan ibuku tinggal di sebuah rumah tua yang telah reyot.
Orang-orang menyebutnya gubuk. Sudah hampir tiga tahun ayahku pergi
meninggalkan ibuku, tak tau kemana. Padahal dulunya ibuku adalah bunga desa di
sini. Tentu saja banyak lelaki yang memasang umpan untuk menjerat hati ibuku.
Namun ayahku datang sebagai pemenang.
Sebelum ayahku pergi, dulu kami
hidup dengan bahagia. Ayahku seorang petani dengan beberapa ladang peninggalan
kakek, ayah ibuku. Memang, ayahku bukan orang kampung ini. Ia berasal dari
kampung sebelah tetapi orang tuanya telah lama mati. Ia sebaya dengan ibuku, ia
juga tampan. Aku tak heran mengapa ibuku menaruh hati padanya.
Aku teringat dengan percakapan ayah
dengan ibuku sebelum ia pergi, jauh hampir lima tahun yang lalu.
“Mas benar akan ke kota?.” Tanya
ibuku berat melepas.
“Sudah jelas iya, aku akan mencari
pekerjaan yang lebih layak di sana.” Jawabnya sambil menutup tas ransel biru
yang warnanya sudah mulai luntur,
compang-camping.
“Lalu bagaimana nasibku dan anakmu
di sini mas?.” Tanya ibuku yang mulai meneteskan air mata. Ia memegang erat
tangan ayahku yang yang hendak mengangkat tas ranselnya.
Ayahku memegang bahu ibuku, menatap
dalam matanya, “Jangan khawatir, setiap bulan akan kukirimi kalian uang lewat
pos. Nanti kalau aku sudah sukses di kota dan bisa membeli rumah, akan kuboyong
kalian ke kota. Ikut bersamaku.”
“Tapi mas...” Belum genap apa yang
ingin dikatakan ibuku, ayahku bergegas keluar dari rumah dan beranjak pergi.
Aku dan ibuku berdiri di antara
gawang pintu. Ibuku menangis tersedu, sedang aku hanya diam tak tau apa yang
sebenarnya tengah terjadi. Aku terlalu kecil untuk tau.
Di kejauhan sosok ayahku semakin
merabun hingga akhirnya ia lenyap ditelan kegelapan malam. Di kampungku tak
begitu banyak ada lampu sebagai penerangan jalan.
Kini aku telah cukup dewasa, usiaku
sudah hampir 18 tahun. Selama belasan tahun setelah ayahku pergi, aku hanya
hidup berdua dengan ibuku. Ibuku menjual gorengan dengan berkeliling kampung
tiap sore, aku selalu membantunya. Aku bisa sekolah bukan karena kiriman
ayahku, ia hanya berjanji saat itu. Bukan pula dari hasil jualan gorengan ibuku, ladang peninggalan kakekku hanya tersisa satu yang saat ini tengah kutanami
padi. Yang lain telah terjual untuk biaya sekolahku, juga untuk makan
sehari-hari termasuk membenahi rumahku yang hampir roboh dua tahun lalu.
Ayahku? Tak tau kemana ia pergi, tak
tau ia seperti apa sekarang. Aku dan ibuku saja tak tau, apalagi orang-orang
kampung. Sebenarnya ayah dan ibuku tidak bercerai, hanya karena begitu lamanya
ayahku pergi, orang-orang menyebut ibuku rondo deso. Sebenarnya selama
ini banyak orang datang ke rumahku, bermaksud melamar ibuku. Tapi ibuku selalu
menolaknya, ia masih menunggu ayahku pulang. Kasian ibuku, tak pernah kujumpa
dan dengari tiap malam kecuali hanya tangisan ibuku.
Malam ini sama seperti biasanya,
ibuku merintih dalam tangisan. Aku paham betul bagaimana perasaannya.
“Ibu, mengapa ibu tak pernah lelah
menangis?.” Aku datang memeluk ibuku, lalu duduk di hadapannya sambil mengusap
air matanya.
Sambil terisak, “Tidak apa-apa nak,
ibu hanya sedikit rindu pada ayahmu. Ibu khawatir nasibnya tak lebih baik dari
kita di kota.”
Aku hanya diam dalam keterenyuhan,
matanya merah terlalu banyak menangis, hidupnya hanya untuk itu. Pipinya tak
seberisi dahulu, badannyapun sama, semakin kurus. Kecantikannya mulai memudar
oleh aliran air mata di wajahnya. Aku tak bisa hanya terus membiarkan seperti
ini! Tegasku dalam hati.
“Baiklah bu, besok aku akan coba ke
kampung sebelah, barangkali kawan ayah ada yang tau di mana ayah sekarang. Akan
kucari ayah bu.” Jawabku dengan tekad, menenangkan hati ibuku yang semakin
keronta.
Benar, dengan bekal seadanya aku
pergi mecari tau kabar ayahku. Kudengar dari orang di kampungnya, kini ayah
tinggal di Surabaya. Hanya itu yang kudapat. Sangat kurang sekali sebagai bahan
untuk melacak keberadaan ayahku. Tanpa pikir panjang, aku pergi ke Surabaya
yang cukup jauh dari kampungku. Bis antar kota mengantarkanku. Semoga aku bisa
bertemu ayahku nanti, harapku sambil memandangi foto ayahku yang mulai
menguning oleh waktu.
Tak terasa, sudah dua hari aku di
Surabaya. Hanya mondar-mandir sambil bertanya pada tiap orang yang kutemui,
apakah ia mengenal orang yang ada di foto yang kutunjukkan? Semua orang
berkata, “Tidak!!.”
Hari ke-empat pencarianku. Siang itu
aku berada di sebuah masjid di tengah kota. Setelah usai sholat dhuhur, aku
rebahkan badanku di teras samping kanan masjid. Foto ayahku masih dalam
genggamanku. Akupun tertidur oleh rasa lelah yang terlalu banyak menumpuk.
“Mas.. mas... waktunya ashar!.”
Suara itu membangunkanku.
Akupun bangun dan segera mengambil
air wudhu lalu ikut sholat di dalam. Setelah sholat, aku keluar dan duduk di
teras depan masjid, kurenungi jalan yang ada di depanku. Tiba-tiba ada yang
menepuk pundakku dari belakang, dengan kaget aku melihat ke belakang.
“Tadi saya lihat mas memegang foto
seorang pria ya?.” Tanya seorang pemuda yang kira-kira lebih tua beberapa tahun
dariku.
“Eh iya mas, apa mas mengenalinya?.”
Tanyaku penasaran, pemuda itu duduk di sampingku.
Ia pakai topi coklat yang tadi hanya
dipeganginya. Ia berkata,”Dulu saya pernah bekerja kepada orang itu mas,
sebagai pelayan di rumah makan miliknya.”
Tersontak aku dengan apa yang
dikatakan pemuda itu, setengah percaya setengah juga tidak aku kembali
bertanya, “Maaf sekali mas, apa mas masih ingat alamat rumah makan itu?.”
Jika pemuda ini masih ingat di rumah
makan sebelah mana ia dulu pernah bekerja dan katanya ayahku pemilik rumah
makan itu, maka aku akan segera mencarinya. Sendiri! pikirku.
“Pak Hendra itu yang punya rumah
makan itu. Rumah makan jawa, kira-kira dua blok dari sini, mas.” Jawabnya.
Benar itu nama ayahku, aku semakin
yakin bahwa itu ayahku. Tanpa berpikir panjang, kuberikan sesobek kertas dan
pensil kecil padanya.
“Maaf mas, bisa mas tulis
alamatnya?.” Pintaku pada pemuda itu.
Setelah ia tuliskan alamat rumah
makan yang katanya milik pak Hendra itu, ayahku. Tanpa berpikir panjang aku segera
pergi ke alamat itu.
Aku sampai di depan rumah makan itu.
Cukup besar juga rumah makannya, ternyata selama ini ayah telah sukses,
pikirku.
“Mas mau makan?.” Tanya seorang
pelayan wanita padaku yang dari tadi hanya berdiri dan memandangi rumah makan
itu.
“Emmmmm iya mbak.” Jawabku, aku
memang belum makan sejak pagi. Aku lupa akan rasa laparku, yang kuingat hanya
untuk mencari ayahku.
“Ini mas piringnya, silahkan ambil
sendiri makanannya, minumnya juga sudah ada di dekat kasir.” Tegas si pelayan
wanita sambil memberikan sebuah piring padaku.
Setelah aku mengambil makan, hanya
nasi sayur dan dua tempe yang kuambil. Aku segera berjalan ke arah kasir,
hendak mengambil minum. Aku terdiam, tak percaya dengan apa dan siapa yang
kulihat saat ini. Seperti patung, aku memandang ke arah penjaga kasir. Aku
hampir tak percaya, ayahku duduk di meja kasir. Ia sibuk mengkalkulasi entah
penghasilannya hari ini atau apa. Aku menghampirinya.
“Ayah?????.” Sapaku dengan sangat
bahagia padanya.
Ayahku hanya terdiam, setelah sadar
dengan apa yang dilihatnya. Mungkin ia tak percaya, anaknya yang belasan tahun
ia tinggalkan itu saat ini sudah cukup besar dan berdiri di hadapannya. Aku
sendiri juga tak begitu yakin sebenarnya, apakah ayahku mengenaliku setelah
belasan tahun ini?.
“Ayah???.” Kembali mulutku berkata
itu karena ayahku hanya diam menatapku, kosong.
“Nak... nak.... bagaimana kau bisa
sampai sini?.” Akhirnya ia mulai membuka mulutnya.
Aku dan ayahku duduk di salah satu
meja makan yang ada di rumah makan itu. Sambil menyendok makananku, kami
bercakap-cakap. Pembicaraan kami kemana-mana, ayahku menceritakan semua yang
terjadi padanya selama ini. Akupun juga menceritakan semua yang aku dan ibu jalani
di kampung setelah ayahku pergi.
Ternyata dulu awal hidup di kota
ini, ayahku bekerja sebagai pelayan di rumah makan ini. Setelah beberapa lama
ia bekerja, anak gadis pemilik rumah makan ini terpikat atas ketampanan ayahku.
“Lantas bagaimana setelah itu yah?.”
Tanyaku, kuletakkan kembali sendok yang tadinya kupakai untuk makan. Nafsu
makanku sedikit hilang oleh cerita ayahku.
“Ayah bisa apa nak, ayah khilaf
dengan menelantarkanmu dengan ibumu di kampung. Karena keputusasaan atas
kemiskinan yang mendera keluarga kita di kampung, ayah menikah dengan gadis
pemilik rumah makan ini. Maaf nak, ayah memang tak tau malu.” Terang ayahku, ia
mulai menangis. Tak peduli orang-orang yang ada di rumah makan itu melihat.
Aku hanya diam, tak menyangka ayahku
setega itu padaku, pada ibuku.
“Awalnya ayah juga teringat denganmu
nak, dengan ibumu. Tapi uang nampaknya telah membutakan ayah saat itu. Ayah
mengaku sebagai perjaka, lajang, pada pemilik rumah makan ini. Akhirnya dengan
paksaan anaknya, ayah menikah dengan anak gadis pemilik rumah makan ini.”
Ayahku semakin terisak.
“Lantas ayah lupakan begitu saja
kami di kampung yang tiap hari selama belasan tahun ini menunggu kepulangan
ayah? Tak taukah ayah, ibu tiap harinya hanya dihabiskan dengan menangis?
Menangisi kabar ayah? Dan ternyata ayah di sini bersenang-senang bahkan sampai
menikah dengan wanita lain!.” Kataku dengan nada semakin mengeras. Aku juga
semakin tak peduli dengan orang-orang yang mungkin tengah memperhatikanku.
“Bukan begitu nak, bu.....”
Perkataan ayahku terhenti karena tangisannya makin menjadi.
Aku dan ayahku kini sama-sama hanyut
dalam tangisan, aku sendiri sangat tak menyangka ayahku bisa setega itu pada
ibuku, ibuku dibuatnya menjanda walau sebenarnya ia bukan janda. Sisa umur
ibuku hanya digunakan untuk menangisi lelaki kejam suaminya yang kupanggil ayah
itu. Aku tak tega pada ibuku, bagaimana jika ia tau kebenaran ayahku selama
meninggalkan kampung. Aku akan berbohong pada ibuku, agar hatinya tak semakin
mengering lalu semakin retak. Aku tak tega.
Malam ini aku menginap di salah satu
kamar pegawai yang ada di bagian belakang rumah makan. Ayahku menemaniku, tadi
ia telfon istri barunya juga anaknya yang saat ini sudah SMP, ia tak bisa
pulang malam ini. Ada urusan katanya.
Sebenarnya sama sekali aku tak bisa
memaafkan ayahku yang bagiku sangat kejam, melebihi kekejaman tokoh antagonis
dalam cerita-cerita fiksi. Akupun pulang di tengah kepulasan tidur ayahku.
Kukatakan dalam hati, tak kan kutemui lagi ia. Akan kubahagian ibuku di kampung
dengan jerih payahku nanti. Akan kukatakan pada ibu bahwa aku tak dapat
menemukan ayahku di kota, dan kubuatnya lupa akan ayahku.
SELESAI
Yogyakarta. 18 Oktober 2015
1 komentar:
Syahdu (y) Bagus~
Posting Komentar